Kakiku melangkah gontai di sepanjang lorong rumah sakit. Aku terpaksa ke tempat ini lagi. Bukan untuk menjenguk papaku pastinya karena ia sudah pulang tadi pagi, tapi untuk mencari tubuh Livy. Hantu itu mengikuti langkah kakiku dari belakang.
Aku tak bicara sepatah kata pun karena aku tak mau menarik perhatian orang dengan tingkahku yang pasti akan dianggap gila oleh mereka. Lalu kakiku menghampiri meja resepsionis.
“Maaf, apa di sini ada pasien yang bernama Thalita Livya?” tanyaku pada resepsionis yang sedang menunduk.
Dia mendongak sejenak. “Thalita Livya? Sebentar saya periksa dulu,” ucapnya lalu mengetikkan nama Livy di keyboard komputernya.
“Ruang melati IV. Dari sini lurus sampai ujung, kemudian belok kiri. Kamarnya nomor 208,” ucapnya setelah menemukan nama Livy.
“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum. Dia mengangguk dan balas tersenyum.
Aku lalu melanjutkan langkahku ke kamar yang dimaksud resepsionis tadi. Sampai di kamar itu, aku membuka pintunya dengan ragu. Wangi bunga lili seketika menyambutku. Kamar itu sepi. Satu tempat tidur pasien terletak di tengah ruangan. Tak ada satu pun anggota keluarga yang menemani pasien itu.
Aku mendekati ranjang itu dan sekatika menutup mulutku agar tidak memekik kaget. Livy ada di sana, berbaring dengan selang infus menancap di punggung tangannya. Tubuhnya memakai alat bantu pernapasan dan alat pendeteksi detak jantung tertanam di tubuhnya.
Jantungnya masih berdetak. Tubuh gadis ini adalah wujud asli dari hantu yang selalu menemuiku beberapa hari belakangan ini. Tubuhnya kaku, tidak terlihat tanda kehidupan di sana.
“Livy,” bisikku pelan. Dia berdiri di sampingku menatap tubuhnya sendiri.
“Tubuh gue. Apa yang terjadi sama gue, Dey? Kenapa jiwa gue berkeliaran? Gue pikir gue udah meninggal,” ucapnya.
“Lo koma, Vy. Jantung lo masih berdetak.”
Dia hanya diam menatap badannya dengan sedih. Aku menatapnya prihatin. “Vy, kenapa lo gak coba masuk lagi ke tubuh lo?” tanyaku. Dia seakan tersadar lalu mengangguk dan mencoba berbaring di atas tubuhnya.
Satu menit, dua menit… lima menit, tak ada yang berubah pada tubuh gadis itu. Tubuhnya masih terdiam kaku. Jiwa Livy kembali duduk dan beranjak dari tubuhnya. Dia menggeleng sedih.
“Gak bisa, Dey. Gue gak bisa masuk. Sepertinya memang belum saatnya gue sadar. Tapi apa yang bikin gue di sini?” tanyanya bingung.
Seorang suster masuk ke dalam kamar Livy dan menatapku sambil tersenyum.
“Saudaranya?” tanyanya padaku.
Aku mengangguk ragu. “Suster, apa yang terjadi sama Livy?” tanyaku.
“Kamu gak tahu apa yang terjadi sama saudaramu sendiri?” dia bertanya bingung.
“Saya udah lama gak ketemu dia. Saya baru tahu hari ini kalau dia sakit. Tante gak ngomong apa-apa sama saya,” aku berpura-pura. Kalian harus ingat kalau aku ini anak teater. Akting itu makananku sehari-hari.
“Livy sudah koma sejak tiga bulan yang lalu. Beberapa minggu sebelum dia ujian kenaikan kelas. Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi padanya, saya hanya tahu dia dibawa ke sini oleh pihak sekolah. Semenjak itu, saya sangat jarang melihat keluarganya menjenguk. Hanya ibu dan pacarnya yang sering datang ke sini,” jelasnya.
“Pacar? Kapan dia biasanya datang, Sus?”
Dia terlihat berpikir sejenak. “Biasanya tak tentu. Terkadang setiap pulang sekolah dia sudah di sini. Harusnya sekarang dia yang ada di sini, makanya saya kaget karena justru kamu yang ada di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 4 | Love Stuck in The Past
Teen FictionBagi Dea, hidup itu terlalu indah untuk dilewati. Baginya semua masalah bisa terselesaikan. Tersenyum dan memiliki banyak teman adalah keharusan bagi jiwanya yang ceria. Gadis periang yang mudah dekat dengan semua orang ini pun menjadi incaran banya...