Adit POV
Aku berjalan menuju keluar sekolah untuk pulang saat sebuah tangan menarik lenganku. Aku menoleh dan pandanganku bertemu dengan mata gadis itu lagi.
“Hari ini latihan teater, lo lupa ya?” tanyanya padaku.
“Lo masih mengharapkan gue bantu lo setelah kejadian tadi?” tanyaku dingin.
Dea menunduk tak yakin. “Lo masih marah, ya? Gue minta maaf, gue gak tau kalau lo pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Arin.” Dia terlihat menyesal.
Aku berdecak sebal. “Udah gue bilang dari awal, kan? Lo gak usah sok kenal gue. Liat aja abis ini, Arin akan ngamuk di rumah atas informasi yang lo kasih tadi. Dan, terima kasih telah mengumpankan gue ke dalam masalah.”
Aku berbalik dan beranjak pergi tapi tangan gadis itu menahanku lagi. “Please, Dit, gue bener-bener gak sengaja. Maafin gue. Kalau lo gak ikut latihan, gue gak bisa cari tokoh lain secepat itu. Waktu persiapan kita cuma dua minggu, Dit. Bantu kita, ya?” Dia memohon padaku. Aku ingin tertawa melihat wajahnya memelas seperti itu.
“Oke,” jawabku singkat. Mata gadis itu kembali berbinar riang seperti sebelumnya. Memandang mata itu memberikan kehangatan sendiri bagiku.
Kemudian Dea menarik lenganku pelan dan berjalan dengan semangat. Aku mengikuti langkah kakinya di belakang. Kami menuju ruang aula tempat latihan mereka.
Beberapa murid telah berkumpul di sana. Mereka tersenyum senang melihat kehadiran Dea.
“Lo udah hafal dialognya?” tanya gadis itu padaku. Aku hanya mengangguk singkat. Mataku beralih memerhatikan aula sekolah ini. Tempatnya jauh lebih luas dan lebih glamour daripada aula sekolah lamaku. Sebenarnya sekolah ini cukup elite di Jakarta, tapi aku lihat anak-anaknya bersikap biasa, tidak bersikap sebagaimana orang kaya kebanyakan. Aku cukup nyaman dengan sekolah ini.
Aku kembali menoleh ke arah Dea, tapi gadis itu telah menghilang entah kemana. Aku mencarinya di kerumunan para tim pemain. Beberapa saat kemudian, aku menemukannya di sudut ruangan sedang bercanda asik dengan salah satu temannya.
Aku memerhatikan gadis itu dari seberang ruangan. Gadis itu gadis manis, ceria, gadis yang amat sulit untuk dibenci. Aku selalu menghindarinya sejak kita pertama bertemu karena aku jadi teringat Livy setiap melihatnya. Sikap ceria mereka, mudah bergaul, dan keras kepalanya. Mereka persis sama.
Aku tak mau terlibat dengan gadis periang dan mudah memercayai orang lain seperti mereka lagi. Aku tak mau melihat Dea seperti Livy nanti. Yah, walau mungkin gadis itu lebih beruntung karena mendapatkan teman yang tidak akan menjerumuskannya, tidak seperti Livy. Livy-ku yang malang.
Dea berjalan ceria menyapa kesatuan timnya. Terkadang salah satu dari mereka menahannya lebih lama untuk bercengkrama. Tanpa sadar senyumku mengembang melihat gadis manis itu. Oke, aku terhipnotis karena saat gadis itu mendekat, senyum ini masih juga belum hilang. Dia membalas senyumku dengan mata jail.
“Kok senyum gitu ngeliatin gue? Naksir, ya?” tanyanya. Aku melenguh sambil memalingkan wajahku. Dia tertawa lepas melihat tingkah lakuku.
“Gak mau jujur juga gak apa-apa. Mulai latihan, yuk!” Dia menarik lenganku agar aku mengikutinya dan ia memerintahkan kepada timnya untuk langsung memulai sesi latihannya. Kami berlatih memainkan peran kami masing-masing.
Setelah satu kali latihan full, kami memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Aku memerhatikan Dea yang sibuk berlari dari satu sudut ke sudut lain tanpa lelah, entah apa yang sedang dia kerjakan.
“Dit, udah dapet makanan belum?” tanyanya ketika tiba di depanku. Aku hanya menggeleng.
“Sebentar, ya.” Dia kembali berlari tapi kakinya menyandung kabel perangkat speaker dan tubuhnya terhuyung jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 4 | Love Stuck in The Past
Teen FictionBagi Dea, hidup itu terlalu indah untuk dilewati. Baginya semua masalah bisa terselesaikan. Tersenyum dan memiliki banyak teman adalah keharusan bagi jiwanya yang ceria. Gadis periang yang mudah dekat dengan semua orang ini pun menjadi incaran banya...