Tepat pukul empat aku tiba di rumah Arin. Dia telah siap menungguku di depan pagar dengan tas sekolahnya di sampirkan di bahu. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai dan ditutupi topi putih yang pas bertengger di kepalanya. Dia tersenyum manis menyambutku dan baru saja akan naik ke motorku saat suara dingin itu terdengar dari halaman rumahnya.
“Jangan pulang terlalu malam,” Adit muncul di halaman dengan memakai celana jeans pendek abu-abu, yang serasi dengan bingkai kacamatanya, dan kaus putih polos. Hmm, sepertinya kedua anak kembar ini suka warna putih ya? Aduh, kenapa dia jadi makin ganteng sih kalau kayak gini.
“Ng, Dey? Udah selesai merhatiin kakak gue?” tanya Arin membuatku tersentak dan tersenyum salah tingkah. Bodoh, di sini bukan hanya ada lo dan Adit, ingat ada Arin juga.
“Tenang aja, biasanya kita jam delapan udah selesai, kok. Nanti gue akan antar adik lo lagi ke sini.” Aku berpikir sesaat. “Atau lo mau ikut aja? Gabung aja sama kita, gak apa-apa kok,” tawarku sambil memamerkan senyum manisku.
Ia menggerlingkan matanya lalu pergi meninggalkan kami dengan sangat acuh. Oke, dia selalu saja membuat gue malu. Lo kira gue akan nyerah secepat itu?
Arin menyenggol bahuku pelan untuk menyadarkanku. “Lo masih gak nyerah deketin Adit? Dengan sikap cueknya itu?” tanya Arin tak percaya.
Aku tersenyum penuh keyakinan. “Gue gak akan nyerah dan berhenti dekatin dia sampai dia nyerah dan berhenti untuk bersikap dingin ke gue.” Dia hanya geleng-geleng tak percaya dan segera naik ke motorku tanpa banyak tanya lagi.
Setibanya di sana, aku melihat motor kak Reno sudah terpakir rapi di halaman rumah Alza. Sepertinya acara belajar bersama telah dimulai tanpa menunggu kehadiranku dan Arin. Sudahlah, biarkan saja.
Aku masuk ke dalam rumah itu diikuti Arin dengan santainya seolah itu adalah rumahku sendiri. Aku sudah sangat terbiasa bermain ke sini. Lagi pula aku tak melihat ada mobil mamanya Alza di depan, jadi kemungkinan hanya ada Alza dan yang lainnya di dalam. Tak perlu sungkan untuk bertemu teman sendiri, kan?
“Hai, semuaaa” teriakku saat telah tiba di ruang tamu tempat kami biasanya belajar bersama.
“Elu kalau masuk kagak bisa ketok pintu apa? Ngagetin aja,” ucap Indri. Aku hanya tersenyum tanpa dosa.
“Oh, iya, Kak, ini temen baru kita. Namanya Arin. Gak apa-apa kan Kak kalau gue ajak juga?” tanya Alza terlihat ragu-ragu.
Reno tersenyum manis hingga membuatnya terlihat lebih tampan lagi. Tak heran kalau Alza bisa tergila-gila padanya dulu. “Gak apa-apa, kok. Asal dia bisa ngerti kegilaan gue aja,” ucap cowok itu.
“Udah, Rin, santai aja sama kita semua di sini. Ini Kak Reno, senior kita dulu. Lo gak perlu takut lah belajar sama dia, soalnya dia gak doyan cewek juga,” ucapku dengan santai lalu duduk di samping Ana yang mengulum senyumnya.
Reno melempar pulpen di genggamannya tepat mengenai kepalaku sehingga semua temanku refleks tertawa. “Lo gak bisa bagusin kakak kelas lo dikit aja apa?”
Aku memasang tampang innocent. “Emang gak ada yang bagus, apa yang harus gue bagusin?” tanyaku. Dia hanya mengabaikan ledekanku. Arin mengikuti duduk di sebelahku.
Kami mulai belajar setelah itu. Seperti biasa, orang-orang seperti kami sama sekali tidak betah untuk belajar serius berlama-lama. Jadi, bisa dipastikan kalau frekuensi bercanda kami jauh lebih banyak daripada porsi belajarnya.
Untung saja guru kami Reno, jadi tidak terlalu kaku karena murid dan pengajarnya sama-sama gila. Arin yang sempat bertahan dalam diam akhirnya bisa menemukan tempatnya sendiri setelah hampir satu jam kami bercanda. Aku pun bisa tersenyum lega karena diamnya justru membuatku bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 4 | Love Stuck in The Past
Teen FictionBagi Dea, hidup itu terlalu indah untuk dilewati. Baginya semua masalah bisa terselesaikan. Tersenyum dan memiliki banyak teman adalah keharusan bagi jiwanya yang ceria. Gadis periang yang mudah dekat dengan semua orang ini pun menjadi incaran banya...