Part 4 : He's so cool

194 14 0
                                    

Aku berjalan santai memasuki sekolahku pagi ini. Senyum menghiasi wajahku seperti pagi sebelumnya. Bagiku hidup itu terlihat lebih mudah bila diawali dengan senyuman. Itu lah sebabnya aku selalu tersenyum saat tiba di sekolah tanpa perlu tatapan aneh dari murid-murid lain.

“Hai, Dey, pagi,” sapa temanku di ekskul teater. Aku membalas sapaannya sambil tersenyum.

Banyak sapaan yang harus ku jawab sebelum sampai di kelas. Kalau kalian pikir aku populer, aku takkan mengelak. Aku cantik? Hmm, biasa saja. Mungkin karena aku sosok ceria dan ramah membuatku mudah dikenal di sekolah ini.

Aku sering mendengar dari teman-temanku kalau banyak cowok di sekolah ini yang menyukaiku. Awalnya aku tak percaya, tapi setelah Fadli sempat menembakku dulu—yang pastinya tidak diketahui keempat sahabatku yang lain—aku baru percaya kalau memang banyak cowok yang mencoba mengincarku. Sempat aku mencoba menjauhi mereka semua karena takut mereka salah mengerti akan sikap ramahku pada mereka, tapi setelah dipikir-pikir ini bukan salahku. Kalau mereka sampai salah mengertikan sikapku, itu urusan mereka.

Ya, karena merasa tak pernah diabaikan sama sekali oleh makhluk berjenis pria ini, aku sedikit merasa kesal saat Adit mengabaikanku kemarin. Dia tau gak sih siapa yang baru aja diabaikannya?

“Pagi semua,” sapaku pada keempat temanku ditambah Arin yang tidak seperti biasanya sudah berkumpul di kelas. Mereka hanya menatapku tanpa berniat membalas sapaanku. Aku meletakkan tas di mejaku, tepat di depan meja Adit, dan melihat cowok itu sedang berkutat dengan bukunya sendiri.

“Pagi, Adit. Lagi baca novel, ya? Novel apa?” sapaku sambil tersenyum manis.

Ia mendongak sambil menatapku dingin. Kalau kau bukan aku, percayalah tatapan itu akan membuatmu ketakutan dan berusaha untuk tak menyapa cowok sialan ini lagi. Sayangnya, ini aku. Otakku bebal, tak mempan hanya dengan tatapan dingin atau pelototan sekali pun. Memangnya dia pikir semudah itu mengusirku? Dipandang sedingin es? Diancam secara langsung? Oh, itu tak berlaku dalam kamus hidupku.

Cowok itu dengan cueknya langsung memandang kembali novel di tangannya tanpa peduli dengan aku yang masih memberikannya senyuman terbaikku. Aku pun beranjak mendekati sahabatku lagi.

Arin perlahan mendekatiku. “Lo masih mau nyapa dia? Bukannya kemarin dia benar-benar sinis sama lo?” tanyanya heran.

“Gak mempan dia bersikap kayak gitu ke Dea. Liatin aja, sahabat gue yang satu ini gak akan nyerah untuk bersikap baik sama kakak lo itu sampai kakak lo berbalik mengejar dia nanti,” ujar Indri.

Aku melambaikan tanganku pada Arin. “Jangan hiraukan Indri.”

Arin menatapnya lekat. “Lo cantik, Dey. Mungkin lo bisa menaklukkan cowok lain, tapi bukan Adit. Seperti yang Indri bilang, mungkin sikap dingin Adit gak mempan buat lo, tapi sikap ramah lo juga gak akan mempan buat Adit. Terutama sebelum cewek itu benar-benar mati.”

“Mati? Lo nyumpahin cewek yang bikin Adit patah hati untuk segera mati?” tanya Alza.

Arin tersenyum sumbang. “Apa salah gue berharap begitu? Dia merubah kakak gue 180 derajat. Lagi pula gue benci sama dia sejak pertama kali dia nyakitin Adit.”

“Tapi sikap lo yang pesimis kalau Dea bisa bikin Adit berpaling itu seolah kayak lo udah gak mau Adit berhubungan sama cewek lain lagi,” ucap Shinta asal.

Arin mengangguk membenarkan. “Untuk saat ini gue gak mau dia berhubungan sama cewek lain lagi.” Lalu pandangannya menatapku dari atas ke bawah lalu menatap mataku lekat. “Mungkin pengecualian untuk Dea. Gue gak ngelarang lo untuk deketin kakak gue. Gue malah senang kalau dia bisa berpaling ke lo suatu saat nanti. Gue rasa lo cukup baik buat Adit,” akunya.

Sweet Story 4 | Love Stuck in The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang