Nadine Shareena Mecca. Salah satu siswi di SMA Generasi Harapan Bandung. Tinggi. Putih. Smart. Rambut kucir kuda. Berponi. Walaupun masih kelas 1 SMA, aku sudah jadi cewek populer di sekolah. Ya, begitulah secerca deskripsi singkat tentang diriku.
Oh ya, perlu kalian ketahui, meskipun aku ini populer, aku bukanlah pribadi dengan banyak teman di sekelilingku. Aku cukup sulit bersosialisasi. Susah akrab dengan orang lain. Bukan, bukan individualis, apalagi anti-sosial. Kalau orang zaman sekarang menyebutnya, introvert.
"Nadine!" seru seorang gadis manis dengan rambut terurai menghampiriku.
Asha! Teman baikku sejak duduk di kelas X MIA 7. Entah kenapa, saat pertama kali bertemu Asha, aku dan dia langsung begitu akrab. Sejujurnya, kepribadian kami benar-benar berbeda. Asha memiliki banyak teman. Kemana-mana selalu menyapa dan disapa orang. Dia banyak bicara dan selalu membuat orang tergelitik perutnya. Mungkin, karena sama-sama menyukai k-pop kami jadi akrab begini? Ah entahlah, aku cukup bersyukur memiliki Asha.
"Yuk ah keluar! Bentar lagi giliran kelas kita main nih!" katanya menarik tanganku.
"Oke. Hayuk!"
Hari ini memang sedang diadakan classmeet, lomba-lomba antar kelas sebagai penutup di semester 1 ini. Kami bergegas menuju lapangan karena tidak ingin melewatkan pertandingan basket final antara kelasku melawan kelas sebelah.
"Sreeeettt!!"
Kagetku. Kucirku terlepas membiarkan rambutku terurai begitu saja. Ish! Aku tahu ini kelakuan siapa. Xenon. Bukan, yang kumaksud bukan unsur kimia dalam tabel periodik. Muhammad Arxenon Pratama. Sudah pasti! Si jahil dari kelas sebelah yang selalu menggangguku tiap kali ada kesempatan.
"Xenon!" teriakku kepadanya.
Mentang-mentang dia lebih tinggi dariku, dia mengangkat kucir itu melebihi jangkauanku. Mana bisa aku menggapainya?
"Kembaliin!" teriakku terus berusaha menggapai tangannya.
Aku jadi tidak fokus menonton pertandingan basket. Entah sudah berapa kali mereka memasukkan bola ke ring lawan. Di hadapanku hanya ada Xenon. Segalanya yang ku lihat tertuju pada Xenon.
*
Singkat cerita, semester 2 di mulai pagi ini. Tak begitu cerah, karena sang surya berlindung di balik awan hitam. Oh ya, bagi kalian yang penasaran tentang tragedi kucir kudaku, tenang saja, aku berhasil mendapatkannya kembali. Sesaat setelah itu, Asha yang mengadukan Xenon pada Pak Edy. Hahaha. Terdengar kekanakan memang. Tapi memang itu satu-satunya cara membuat Xenon menyerah. Kalau diingat-ingat, lucu juga. Tertawa kecil aku dibuatnya.
"Nadine, kantin yuk? Laper nih." ajak Asha menunjukkan wajah melasnya.
"Ayuk deh, pengen makan siomay Mang Dede." kataku menyetujuinya.
Baru sampai di depan pintu, ternyata Xenon sudah berdiri menyambutku, dengan tangannya yang terlipat menyelipkan sesuatu di jemarinya.
"Nih." ucap Xenon memberikan sebungkus roti dorayaki rasa cokelat.
"Mau ke kantin, kan? Nggak usah. Ini roti sebagai permintaan maaf, waktu itu udah jahilin kamu. Dimakan yah!" ucapannya begitu manis diikuti tangan lembutnya mengusap-usap rambutku, dia pun berlalu pergi.
"Hah? Tumben banget Xenon jadi baik begini. Jangan-jangan dia naksir sama kamu lagi?" pikir Asha kebingungan.
"Naksir apanya, sih. Nih lihat!" bantahku menunjukkan adanya jamur yang melapisi roti tersebut.
"Astaga Xenon! Haduh itu anak ya! Ya ampun! Bikin naik darah aja! Kalo kamu makan terus keracunan gimana? Nggak mikir apa dia! Coba aja kalo bukan cowok, udah aku ajakin berantem dia di lapangan depan!" gerutu Asha seakan ingin melahap Xenon.
"Udahlah, emang dasarnya jahil, ya jahil terus tuh anak." sahutku kalem.
10.00 a.m. Sudah waktunya istirahat. Kantin penuh sesak dengan anak-anak. Menjajakan uangnya, demi terpuasnya lapar dan dahaga. Ku lupakan tentang Xenon dan roti berjamurnya. Aku memesan siomay Mang Dede satu porsi, sedangkan Asha, ku pesankan mie ayam.
Ada yang aneh. Ada yang berbeda. Wajah asing yang ku lihat. Benar-benar mencuri perhatian.
Thank you for reading! 💙
-Azzahra
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumit
Teen FictionNadine, seorang remaja dengan lika-liku kehidupan yang rumit. Elang, orang yang spesial, tentunya. Tapi itu dulu. Xenon. Awalnya ia hanya teman biasa bagi Nadine. Lalu sekarang? Orang yang istimewa? Entahlah. Kalian sendiri yang menilainya.