9. Ada Apa Denganmu?

109 10 0
                                    

"Gimana nih?" tanyaku meliriknya. Jangankan menjawab, menatapku saja tidak.

"Wissh, Mbon! Bukain dong." Dia terlihat akrab dengan Ambon. Wajah melas sedikit memohon dia tunjukkan pada Ambon.

"Wahh Mas Xenon telat ini, udah bel daritadi."

"Kayak nggak tau saya aja, saya nggak pernah telat lho. Ini tadi ban sepeda bocor. Masa nggak kasian?" Xenon mencoba merayu si satpam sekolah ini.

"Iya, Mbon. Lagian baru berapa sih, palingan telat 5 menit doang." imbuhku.

"Yaudah yaudah, buru-buru masuk kelas sana. Cepet cepet!" Ambon akhirnya membukakan pintu gerbang untuk kami berdua.

"Thanks, Mbon!" Xenon menepuk pundak Ambon. Kami segera berjalan cepat menuju kelas masing-masing.

"Kok bisa sohib gitu sama Ambon?" tanyaku dalam perjalanan menuju kelas.

"Sering nongkrong, di warung."

"Ngopi?"

"Kadang."

"Ngrokok?"

"Nggak lah!"

"Bagus!" Ku tepuk-tepuk pundaknya. Selama obrolan singkat itu, dia sama sekali tidak menatapku.

Aku telah sampai di bangku ku. Untung saja Bu Eni belum masuk kelas. Kalau saja Bu Eni lebih dulu datang, mungkin aku akan disuruh berlari ke guru piket untuk meminta surat keterlambatan dan bisa jadi akan diberi tugas sejarah yang tidak ku mengerti sama sekali, merepotkan.

"Xenon kemana ya? Udah seminggu ini nggak keliatan batang idungnya." Asha bertanya sambil menyeruput kuah soto.

"Tadi sih pas berangkat bareng aku." jawabku.

"Biasanya dia ngusilin kita. Sepi juga dia nggak ada." Asha cemberut memandang semangkuk soto ayam didepannya.

"Xenon!" seru Asha melambaikan tangan sebagai isyarat mengajak Xenon bergabung dengan kami.

Xenon hanya tersenyum tipis. Dia berjalan terus dan memilih duduk bersama Fandy dan beberapa teman lainnya.

"Kamu tadi berangkat bareng Xenon?" Tiba-tiba Elang duduk didepanku dengan tangannya membawa segenggam jus mangga.

"Kata siapa?"

"Ada, temenku yang bilang."

"Cemburu ya?" godaku padanya. Dia memasang wajah cemberut.

"Iya, sama Bunda juga. Soalnya tadi aku ketemu Xenon, eh ban sepedanya bocor. Terus diajakin Bunda deh."

"Gitu ya? Ntar pulang bareng ya?"

"Siap!" jawabku terkekeh.

Entah kenapa, aku juga tidak mengerti. Sudah seminggu ini, Xenon terkesan menjauh dariku. Entah memang benar begitu, atau hanya sebatas perasaanku saja. Dia terus menghindar ketika ku sapa, tak pernah lagi mengobrol denganku seperti biasanya, bahkan ketika kami hendak berpapasan dia malah berbalik arah.

*

"Ntar malem jalan yuk! Aku pengen nonton." ucapku pada Elang lewat telepon.

"Maaf, Nad. Aku udah ada janji sama temen-temen. Maaf ya."

"Nggak bisa dibatalin?"

"Kan udah janji, masa dibatalin? Besok siang deh kita nonton, pulang sekolah. Gimana? Setuju?"

"Promise?"

"Iyaa."

*

Esok harinya, aku berangkat agak kesiangan. Ku lihat Asha mondar-mandir di depan pintu kelas. Begitu melihatku, Asha langsung berlari dan memelukku.

"Xe..non.. sama Elang.." ucapnya terbata-bata seakan menahan air mata yang tak ingin ia teteskan.

Begitu ku dengar nama Xenon dan Elang, deg. Jantungku berasa meledak. Seperti sesuatu yang buruk sedang terjadi pada mereka.

"Oke. Kalem. Tenang. Ada apa?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Mereka kecelakaan. Tadi dini hari." tangis Asha pecah seketika. Begitu juga denganku. Ku coba untuk menahannya, tetap tidak bisa ku bendung air mata ini.

"Kita harus ke rumah sakit! Kita harus ke rumah sakit!" aku sedikit berteriak ingin segera bertemu dengan mereka.

"Ayo, naik mobil Fandy."

Tak ku pedulikan tentang sekolah. Aku juga tidak peduli hari ini ada ulangan harian matematika. Segala pikiranku hanya terfokus pada mereka. Apa yang terjadi dengan mereka? Bagaimana keadaannya sekarang? Apa mereka selamat? Semua pikiran negatif terus membelenggu kepalaku. Tangisan dan air mata tak hentinya membasahi kedua pipiku.

Aku bergegas menuju rumah sakit, ditemani Asha dan Fandy yang duduk di bangku pengemudi. Aku berlarian, segera ku paksakan kakiku yang lemas menuju kamar tempat Elang dirawat. Asha setia berada disisiku. Dia menenangkanku sebisa mungkin. Sedangkan, Fandy menuju ujung kamar untuk menemui Xenon.

"Tante, Elang gimana?" tanyaku tersedu-sedu memegang erat tangan Tante Dinar, mamanya Elang.

"Nggak papa, Nadine. Elang baru selesai dioperasi, jadi nggak bisa ditengok dulu. Udah ya, jangan nangis." Tante Dinar berusaha menenangkanku. Kami bertiga hanya bisa duduk di kursi depan kamar rawat.

Menurut cerita dari Tante Dinar, Elang dioperasi karena kaki kanannya patah sehabis kecelakaan. Sejak tadi malam, Elang sedang drifting bersama teman-temannya. Aku benar-benar sedih. Aku menyesal. Andaikan aku memaksa Elang untuk nonton di bioskop, pasti tidak akan seperti ini jadinya.

Beberapa jam kemudian, Aku dan Tante Dinar masuk ke ruang rawat. Sementara Asha, beralih ke ruang rawat Xenon bersama Fandy.

Ku genggam erat tangan Elang. Tak berhenti mataku menatapnya. Berharap agar dia segera sadar. Tak ku sadari, hari sudah mulai malam. Asha dan Fandy telah pergi sejak tadi siang. Sedangkan aku belum beranjak dari sisi Elang.

"Nadine, kamu pulang aja ya, Nak. Udah malem. Besok harus sekolah, kan? Ada tante yang jagain Elang." pinta Tante Dinar padaku.

"Iya tante, Nadine pamit dulu ya. Kalo ada kabar baik, cepet-cepet telfon Nadine ya." ucapku sembari mencium tangan beliau.

Aku pulang memesan ojek online. Aku pulang, aku bahkan belum mengetahui bagaimana keadaan Xenon. Aku hanya mengkhawatirkan tentang Elang, dan hanya Elang.


TERIMA KASIH TELAH MEMBACA☺️☺️
please, give me your vote and comment😉😉😉

Don't forget to add to your reading list! 🖤

-Azzahra

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang