8-Duhai 2

28 3 0
                                    

Aku berjalan
Menyisir taman kota
Yang lembut ditimpa cahaya senja
Kali ini terasa berbeda. Seperti ada yang menemaniku di sini, di sore hari ini. Ku sebut saja ia Putri Senja.

Di tempat ku berdiri sekarang, ku lihat di kejauhan, ada sepasang kekasih sedang bertengkar. Lalu aku melanjutkan jalan dan tak mempedulikan. Kali ini, ku lihat seorang gadis kecil duduk di kursi roda, melihat merpati terbang merendah, mendekati kursi roda miliknya, hingga ia meledak tertawa gembira. Gadis kecil berkursi roda, yang matanya indah mempesona.
Dibelakang kursi roda, duduk seorang perempuan tua. Ku pikir itu adalah nenek nya. Sudah memegang tokat di sisi kanannua. Perempuan tua itu kemudian duduk, dikursi taman yang memiliki ukiran indah, menjaga gadis kecil berkursi roda yang sedang gembira. Aku lewat di depan gadis kecil dan tersenyum kepadanya, juga kepada perempuan tua. Mereka balas senyuman dan mengangguk.

Aku berlalu begitu saja. Sampai di ujung sebelah timur taman, ku duduk di kursi yang penuh ukiran. Pikiran ku melayang, tak menyatu dengan badan. Sayup-sayup ku mendengar pertengkaran. Ah, ternyata sepasang kekasih itu lagi. Mereka masih saja bertengkar. Sejak tadi aku berdiri di seberang taman. Ku dengar sedikit percakapan mereka. Si gadis bilang akan membenci pria karena telah membohongi nya, si pria melotot dan meredam wajahnya yang mulai memerah. Tak tahan dengan si gadis ini. Mereka bertengkar dengan topik kebohongan. Ah rasanya di negeri ini, beberapa orang senang membohongi dan yang lain senang di bohongi.

Lamat-lamat aku menatap ujung pohon cemara di sebelah barat taman. Kesiur angin mendayung dahannya ke kanan dan ke kiri. Memang sengaja aku memilih duduk di sisi ini. Karena aku akan menyaksikan sang mentari pergi dari hari ini.

Ku mendongak ke atas, menatap langit cerah dengan mega merah menghiasi nya. Putri akan mulai terlihat. Sedari tadi, hanya bisa dirasakan lembut cahaya nya. Sebentar lagi akan terlihat keindahannya.

Ku tatap lagi arah barat. Kemudian menatap kebawah. Ku lihat sebuah koloni semut sedang berangsur-angsur memasuki sarangnya. Ku tengok lagi sisi barat taman. Sang putri tampaknya mulai bersiap untuk tidur hari ini. Dan akan digantikan tugas nya oleh Sang Dewi. Tugas menghiasi langit di bumi.

Aku menunduk lagi. Ku buka ransel yang sedari tadi tak lepas dari pundakku. Ku keluarkan sebuah buku biru. Buku kesayanganku. Tempat berkelut dengan semua memoriku. Tempat berkelut dengan hatiku. Aku mulai menulis sebuah... aku tak bisa menjelaskannya.
Sang putri telah tidur untuk hari ini.

Denting piano terus mengalir indah
Iringan musik klasik di ruangan ini meredam berisik nya suara hujan diluar sana
Aku menatap ke luar jendela
Rintik hujan mulai mereda
Dikejauhan kulihat setitik cahaya
Semakin lama semakin mendekat
Membuat diriku terpaku sempurna

Ternyata seekor kunang-kunang
Dengan cahaya remang-remang
Meliuk-liuk terbang dengan tenang
Menenangkan juga diriku yang sedari tadi tegang

Sejak tadi,
Aku masih berdiri disini
Dibalik kaca jendela yang jernih
Menatap kunang-kunang itu pergi

Aku mulai kacau
Mikirkan masalah yang kuhadapi tadi
Masalah yang menimpa diri ini
Tak pernah ada habisnya sampai mati

Di negeri yang terbilang indah ini
Aku dibesarkan dan dihidupkan
Berani tampil cerdas cendekiawan
Sederhana dan banyak kawan

Hari ini,
Aku mengerti
Di negeri yang indah ini
Beberapa orang senang membohongi
Dan yang lain senang di bohongi
Beberapa orang senang memaki
Dan yang lain senang di maki-maki

Di negeri yang indah ini
Beberapa orang senang menguasai
Dan yang lain senang dikuasai
Beberapa orang senang tidak peduli
Dan yang lain senang tidak ada yang peduli

Di negeri yang indah ini
Uang laksana raja yang tak terganti
Padahal uang bisa dicari
Yang ber-uang dihormati
Yang cerdas merasa di pungkiri
Yang ber-uang di sanjung tinggi
Yang jujur jauh terhempas ke dalam bumi

Duhai
Benar sekali ungkapan ini
Alangkah lucunya negeri ini

Tinggal ku seorang diri di taman. Hari mulai beranjak malam. Cahaya Sang Dewi mulai berpijar. Ditemani bintang-gemintang. Malam terasa gelap mencekam. Rasanya seperti ada yang berbeda. Ada yang sedang mengintai. Di belakang kursi dengan ukiran, sepasang mata menatap ke arahku. Mata yang dingin dan menusuk tajam. Sontak aku beranjak pergi meninggalkan taman.

Dimana Sebenarnya Negeriku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang