Paginya saat Sira bangun, aroma margarin yang dilelehkan sudah memenuhi indra penciumannya. Tempat di sebelahnya kosong bahkan sudah dingin pertanda cukup lama ditinggal.
Sira bangkit, mencuci wajah dan menyikat gigi lalu keluar dari kamarnya yang langsung terhubung dengan ruang tengah dan menuju dapur.
Rumah Sira sederhana, maklum dulu rumah ini dibeli dengan harga yang cukup murah. Itupun dibantu dengan tabungan Vanya.
Begitu tiba di dapur, Sira dikejutkan dengan kehadiran Vanya. Gadis itu dengan celemek berwarna kuning cerah sedang memasak bersama mba Sum sambil bersenandung ceria.
"Vanya? Kamu kapan datangnya?"
Sira menarik kursi makan, lalu menjatuhkan dirinya. Bukan hal baru kalau Vanya sering berkunjung, tapi pagi ini tampak begitu tiba-tiba. Biasanya Vanya akan datang dua minggu sekali atau bahkan sekali sebulan karena kesibukannya mengurus butik.
"Sebelum kamu bangun," balas Vanya lalu berbalik menghadap Sira, masih dengan celemek kuning cerah dan spatula di tangannya, "Dasar kebo, ya! Masa bangun pagi aja kalah cepet sama Syifa"
"Hehehe" Sira hanya bisa nyengir, tak mungkin ia bercerita kalau semalam badannya pegal karena pingsan di lobi sekolah lalu ditemukan Ibu Kepsek. Bisa-bisa Vanya menyeretnya lagi ke psikiater, tempat yang mati-matian Sira hindari. Sira hanya tak ingin dirinya dan Syifa membebani Vanya, gadis iu sudah terlalu banyak membantu hidup Sira hingga ia masih bisa berdiri sekarang.
"Kata mba Sum kemarin kamu pulang diantar Reihan? Anak Ibu Kepala Sekolah?"
Duh, harusnya Sira tahu serapat-rapatnya ia menutupi kebohongan pasti akan ketahuan juga. Apalagi mba Sum yang kadang lebih suka berpihak pada Vanya
"Iya" akhirnya Sira pasrah.
"Gimana ceritanya?"
Tiba-tiba saja Vanya menjadi antusias. Dia melepas celemek kuning cerahnya dan duduk manis di depan Sira.
"Emm ... cerita apa?"
Hanya kata itu yang mampu lolos dari bibir Sira. Ia benar-benar bingung sekarang.
Kening Vanya mengkerut dalam, "Kamu bohong, kan?"
"Aku mencium bau-bau tidak beres disini"
"Enggak ada. Yang ada bau nasi goreng"
Semoga Vanya tak sadar.
"Jangan alihin pembicaraan!"
Pupus sudah!
"Emm ... itu, sebenarnya aku ..."
"Huaaaa-huaaa"
Suara tangis Syifa di ruang tamu memotong pembicaraan mereka. Sira dan Vanya sama-sama langsung berlari, lupa kalau tadi Sira sedang diinterogasi.
"Syifa kenapa, sayang?" tanya Sira lembut. Bocah dua tahun itu menunjuk barisan semut merah di dekat mainannya.
"Uhh cemut melahnya nakal sama Cipa?"
Syifa mengangguk.
Sira cekikikan sendiri dalam hati, merasa lucu melihat Vanya yang berbicara dengan aksen (sok) imut seperti tadi.
"Yaudah, sekarang Syifa ikut bunda ke dalam. Kita sarapan" putus Sira. Ia mengangkat tubuh tambun Syifa dan mendekapnya dalam pelukan.
"Jangan kira aku lupa, ya. Ceritain sekarang!"
Yah, padahal Sira kira Vanya telah lupa.
"Nggak ada apa-apa, kok. Sebenarnya kemarin itu ..." sebuah map biru di atas kulkas nampak berkilauan. Buku kontrol siswanya!
"Aku kemarin ke rumah Ibu Kepsek buat ngurusin nilai anak-anak. Kan, sebentar lagi semester baru"
Alasan yang masuk akal!
Mata Vanya memicing dengan curiga, "Bener?"
Sira mengangguk, "He'em"
"Udah, deh. Makan yuk. Aku udah lapar nih!"
"Kok aku masih nggak percaya, sih"
"Ya kan kamu orangnya emang gitu. Curigaan!"
"Yee!"
Pagi itu mereka makan dengan lahap. Kebetulan weekend ini Vanya punya jadwal kosong dari rutinitas kantornya yang padat. Jadilah mereka pergi berjalan-jalan sebentar ke luar.
Yang tak mereka sangka adalah bahwa takdir menyiapkan sesuatu yang besar begitu mereka melangkah keluar rumah ...
○○○
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kamu Kembali [COMPLETED]
ChickLitKarena dia, Sira kehilangan semuanya. Kehilangan keluarga, orang-orang yang ia sayang bahkan suatu hal paling berharga dalam hidupnya. Satu-satunya alasan Sira bertahan hidup adalah nyawa yang kini dititipkan Tuhan padanya. Sebab sejak masa it...