Tepat seminggu kejadian di kedai es krim itu berlalu. Sira sudah kembali ke rutinitasnya seperti biasa, menjadi guru tk dan menjalankan bisnis online shopnya. Walaupun di tiga hari pertama ia masih merasa was-was tiap akan keluar rumah.
Jika akan pergi ke sekolah untuk mengajar, Sira tak lagi mnggunakan angkutan umum. Ia memesan taksi, lalu berjalan keluar begitu taksi pesanannya tiba di depan rumah. Ia tak mau menunggu di pinggir jalan. Pun saat stok bahan makanan mulai menipis kemarin dulu, ia tak lagi pergi berbelanja bertiga bersama Syifa dan mba Sum. Hanya mba Sum yang berbelanja sendirian.
Ia benar-benar takut. Sejak SMA, Dion dan latar belakang ekonomi keluarganya membuat semuanya menjadi mudah. Menciptakan Dion menjadi orang yang seenaknya, seenaknya datang, berbuat salah, mengacaukan hidup Sira lalu pergi begitu saja.
Sira tak akan lupa bagaimana sakitnya ia dan hatinya saat terbangun di apartemen Dion. Saat ia diusir dari rumah karena Dion, bahkan saat ia kesepian, sendirian di jalanan karena Dion.
Kenapa ia kembali saat semuanya telah kembali baik-baik saja? Dasar lelaki!
"Bu gulu, bu gulu kenapa melamun?" Tangan mungil itu menepuk-nepuk lengan Sira. Dia menoleh dan menemukan Bulan, anak perempuan cadel yang menjadi anak perwaliannya di tk ini.
"En.. enggak ko sayang" Sira berkata dengan lembut, "udah selesai gambarnya? Coba sini ibu guru periksa"
Bulan menyerahkan buku gambarnya ke tangan Sira. Kertas putih itu penuh coret, lalu tangan mungil bulan lagi-lagi menyadarkannya saat Sira masih mencoba memahami gambar abstrak ini.
"Ini papa Bulan" dia menunjuk gambar kepala yang tersenyum, "lalu ini mama Bulan"
Oh, Sira mulai paham,
"Lalu ini?" Sira menunjuk gambar kepala yang lebih kecil, terletak agak jauh dari gambar papa dan mama Bulan, seolah ada jarak.
"Yang ini Bulan bu gulu"
"Loh kok jauhan sama papa sama mama?"
Anak itu tersenyum sedih, "soalnya papa sama mam sibuk kelja, Bulan kadang di lupain. Jadi gambar Bulan di taluh jauh disini," jelas anak itu, bibirnya melengkung kebawah.
Sira merengkuh Bulan ke dalam pelukannya. Kadang, anak didiknya yang satu ini memang cengeng. Apalagi kalau tentang Papa dan Mamanya. Pernah sekali waktu Sira meminta anak didiknya menceritakan tentang keluarga mereka.
Bulan yang saat itu duduk di tengah tidak mau maju. Bahkan saat siswa lain telah selesai, ia tersisa sendirian.
Saat Sira tanya, jawaban Bulan membuat Sira terdiam. Kasian anak ini, papanya sibuk kerja dan mamanya sibuk dengan acara sosialnya. Biasa, ibu-ibu pejabat. Kakak-kakak Bulan yang lain juga sibuk sekolah.
Jadi saat dipaksa maju kedepan, Bulan hanya berbicara,
"Bulan nggak tahu apa-apa soal kelualga. Yang Bulan tahu, Papa pulangnya kalau minggu, mama di lumah kalau malam, kak Lin sama kak Luna ke lumah temen telus. Jadi Bulan bingung mau celita apa soal kelualga Bulan."
"Terus gambar kak Lin sama kak Lunanya mana?" Sira kembali menatap buku gambar Bulan.
Bulan menepuk jidatnya, membuat Sira gemas.
"Oh iya, lupa" lalu Bulan kembali mengambil buku gambarnya.
Sira tersenyum melihat potret anak didiknya. Bulan yang kembali duduk dan mulai menggambar. Rian dan Riana, si kembar emas yang sedang berebut crayon biru, Ayi yang diam-diam membuka kotak bekalnya. Sira cekikikan. Sesekali ia pura-pura melihat ke arah lain, lalu tiba-tiba berbalik ke arah Ayi hingga anak itu kaget dan tersenyum malu-malu. Sadar karena ia tertangkap basah.
Baru saja Sira akan menghampirinya, suara ketukan pintu terlebih dulu menginterupsi.
"Iya, bu. Ada apa?" tanya Sira sopan ketika melihat Bu Aisyah. Guru kelas sebelah.
"Saya habis dari kantor ketemu Ibu Kepsek buat ngambil buku, beliau nitip pesan katanya tolong panggilin kamu ke ruangannya dia. Kalau bisa secepatnya ya, Ra"
Sira mengagguk paham, "tapi anak-anak lagi ngegambar, bu"
"Udah, anak-anak biar saya aja yang ngurus"
"Baik, bu. Saya permisi dulu"
Sira berpamitan pada anak didiknya, lalu membuka connection door yang langung terhubung dengan kelas Bu Aisyah disebelah.
○○○
"Jadi saya manggil kamu karena ada perlu"
"Ada perlu apa, bu?"
"Ada yang mau ketemu kamu, tapi dia masih di jal-" ucapan Ibu Kepala Sekolah terpotong oleh ketukan di pintu.
Beliau tersenyum, "orangnya sudah datang"
Ibu Kepsek berdiri membukakan pintu dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Ibu tinggal dulu, ya. Ibu mau keluar sebentar, kalian bincang-bincang saja dulu"
Sira hendak berdiri saat bu Kepsek berkata demikian. Ini, kan tamu beliau, akan sangat lancang kalau ia malah duduk dan mengganggu. Lagipula, Bu Kepsek malah pergi.
"Hai, Sira"
Hanya dua kata, tapi mampu membuat pergerakan Sira terhenti.
Suara itu, suara Dion ...
Sira berbalik dan menemukan lelaki itu disana. Berdiri dengan jas kantoran dan tangan yang dimasukkan ke saku celana.
Sira menelan ludahnya susah payah. Ini situasi yang sulit bagi Sira. Kenapa lelaki itu bisa tahu ia bekerja disini? Pasti dari Vanya. Dasar baskom tumpah! Sira benci mengingat sifat Vanya yang itu.
Perempuan itu melangkah cepat, berusaha meraih pintu bercat putih. Tapi terlambat, tangan kiri Dion mencekal lengannya, lalu kaki kanan lelaki itu mendorong pintu. Tak lupa mengunci pintu itu dengan tangannya.
Tidak lagi!
Sira deja vu, dirinya jelas pernah mengalami hal ini, dengan orang yang sama di tempat yang berbeda.
Telapak tangan Sira mendingin, kakinya bergetar. Ingatan itu kembali. Dion yang memaksanya.
"Dion ... ka-kamu" Sira bahkan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Jantungnya bertalu-talu lagi. Pandangannya mengabur lalu hitam memenuhinya.
Sira pingsan, lagi.
○○○
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kamu Kembali [COMPLETED]
ChickLitKarena dia, Sira kehilangan semuanya. Kehilangan keluarga, orang-orang yang ia sayang bahkan suatu hal paling berharga dalam hidupnya. Satu-satunya alasan Sira bertahan hidup adalah nyawa yang kini dititipkan Tuhan padanya. Sebab sejak masa it...