Sira memeluk buku murid-muridnya dengan erat. Membawa lembaran putih penuh coretan itu kedalam dekapannya. Telapak tangannya mendadak terasa dingin, tubuhnya kaku tapi lutut dan kakinya bergetar. Hanya rintik air tapi efeknya sungguh dahsyat bagi Sira.
Wanita itu makin merapat pada tembok, mendapati kalau dirinya sendirian di sekolah makin membuat jantung Sira bertalu-talu.
Tidak-tidak, harusnya ia sudah sembuh, harusnya ia tak mendengar suara-suara aneh itu lagi, harusnya mereka sudah lenyap.
Tapi suara tawa itu, ledekan dan hinaan malah makin terdengar, memenuhi telinganya dan menyesakkan dada Sira.
Yang tersisa di mata Sira kini hanya gelap...
... kelam
Hingga akhirnya tubuhnya jatuh pada ubin dingin sekolah...
○○○
Kepalanya didera pening yang mendalam, dan suara-suara bisik-bisik yang terdengar memaksa Sira membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah siluet seorang perempuan. Wajahnya gelap karena membelakangi cahaya, tapi dari kerutan dekat mata dan lengkungannya, Sira tahu perempuan ini tengah tersenyum.
Sira mengalihkan tatapannya, tak kuat menatap cahaya lama-lama. Di sebelah kanan ada jendela besar. Tampak seperti sebuah ruangan, atau erm... kamar? Di luar pemandangan bocah laki-laki yang berlari dengan riang ditemani seorang perempuan muda.
Itu ... Lionel?
Cucu pertama dari ibu kepala sekolah di Taman Kanak-kanak tempat Sira mengajar.Jadi, sekarang ia berada di rumah ibu kepala sekolah? Bukan di rumah sakit?
Sira kembali memandang perempuan paruh baya tadi, kali ini wajahnya jelas karena tak terhalang cahaya lagi. Beliau tengah duduk di samping ranjang yang ditiduri Sira.
Dia benar-benar ibu kepala sekolah!
Astaga Sira? Bagaimana bisa kau bertindak tidak sopan seperti itu?
Sira mencoba bangun, namun dorongan lembut yang terasa memaksa itu menjatuhkan bahu Sira kembali ke pelukan bantal.
"Jangan bergerak dulu, Sira. Saya tak tahu bagaimana keadaanmu dan penyakitmu apa sampai menemukan kamu pingsan di lobi sekolah," ucap beliau, menatap Sira selembut tatapan seorang ibu yang sudah lama tak dirasakan Sira.
"Saya melihatmu sewaktu kembali ke sekolah. Ada rekap nilai murid-murid yang harus saya ambil tapi saya malah menemukanmu pingsan," ucap beliau -lagi- seolah mengerti kerutan di kening Sira.
"Terima kasih, bu. Tapi saya benar-benar tidak apa-apa. Saya hanya sedikit lelah, terlambat makan dan sepertinya terkena hujan. Saya akan pulang saja" Sira berusaha tersenyum, walau mungkin terlihat aneh.
Ibu kepala sekolah menatap Sira lama hingga memutuskan bahwa Sira harus ikut makan malam bersama keluarganya. Ternyata sudah sore, dan Sira, entah mengapa seperi tak dapat menolak ditatap seperti itu.
"Duduklah sambil menunggu Reyhan datang. Dia akan memeriksamu lalu kita makan malam bersama dan kami akan mengantarmu pulang"
Sira mengangguk lemah.
○○○
Hampir pukul sembilan malam ketika Sira diantar pulang oleh anak Ibu Kepala Sekolah, Reyhan dan istrinya.
"Rumah kamu yang mana, Ra?" Reyhan mengemudi dengan pelan, mencari-cari keberadaan rumah Sira diantara komplek perumahan kecil.
"Mba Sira? Rumahnya yang mana?" ulang Reina, istri Reyhan. Lionel di pangkuan Reina juga mulai rewel.
"Eh, maaf-maaf... rumah saya yang itu, warna biru pagar putih"
Begitu mobil Reyhan berhenti, Sira langsung turun dan pamit pada keluarga harmonis itu. Tak lupa mengucapkan terimah kasih.
Kakinya melangkah memasuki pekarangan rumahnya.
Keluarga harmonis?
Sudut bibir Sira terangkat dengan lemah.
Keluarga harmonis, satu-satunya yang tak akan dia dapat.
○○○
Hola!
Cerita baru, hehehe. Jadi cerita ini sebenarnya challenge dari kakak-kakak admin WOA di December Rain. Temanya kenangan, harapan dan hujan.
Semoga suka ya!Cheers
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kamu Kembali [COMPLETED]
ChickLitKarena dia, Sira kehilangan semuanya. Kehilangan keluarga, orang-orang yang ia sayang bahkan suatu hal paling berharga dalam hidupnya. Satu-satunya alasan Sira bertahan hidup adalah nyawa yang kini dititipkan Tuhan padanya. Sebab sejak masa it...