"Itu mainannya punya kakak!" Suara nyaring itu menggema memenuhi ruangan.
Boneka barbie dengan rambut krem itu berpindah tangan lagi.
"Unya ade, balbienya unya ade""Bukan, ini punya kakak, ade!" anak perempuan usia delapan tahun itu berusaha merebut mainannya lagi.
"Barbie-nya ade, kan udah dibuang kemarin karena ade botakin"
Sang adik, baru berusia empat tahun, memanyunkan bibirnya, matanya perlahan berkaca-kaca, dan tinggal hitungan detik adiknya itu akan ...
"Huaa huaaa"
... menangis.
Sudah Syifa duga.
Mamanya dengan celemek dan sendok menghampiri mereka. Beliau dari dapur, memasak makan malam walau Syifa tahu banyak pembantu yang sigap melayani.
"Kakak, adenya kenapa bisa nangis?"
"Balbie, balbie" Salsha, yang biasa Syifa sederhanakan jadi Caca itu tengah menggapai-gapaikan tangannya ke udara. Bibirnya masih manyun, air mata Caca berhenti tapi masih menggenang di pelupuk matanya.
Kalau Syifa bilang, Caca sekarang imut sekali dengan bibir mungilnya dan air di pelupuk matanya. Tapi Syifa tetap saja tidak rela kalau boneka barbie hadiah ulang tahunnya yang ke lima sampai jadi korban tangan jahil Caca.
"Ade, boneka ade, kan udah dibotakin. Yang ini boneka barbie punya kakak"
"Oh, jadi barbie yang kepalanya gundul kemarin itu gara-gara ade? Yang izinin ade megang gunting siapa kakak?" Sira berbalik menatap penuh tanya ke arah Syifa.
"Em... itu, guntingnya ..."
"Guntingnya kemarin dari ayah. Nggak sengaja dipegang sam Salsha"
Dion muncul dari balik lemari sekat ruang tamu dan ruang keluarga. Penampilannya seperti biasa, jas kantor yang disampirkan di bahu, dasinya yang sudah tidak ditempat -Sira tebak, Dion melupakannya lagi di kantor- dan tas kerja yang ia jinjing di tangan kanannya.
Sira menghela napas, lega sendiri. Ia kira, Syifa yang memberi gunting itu kepada Salsha.
Selalu begitu, kan? Sira menjalani peran sebagai ibu yang overprotektif terhadap putri-putrinya, Dion sebagai ayah yang kelewat santai dan selalu memanjakan anak-anaknya. Syifa, kakak yang bertanggung jawab dan selalu menyimpan barang-barangnya dengan apik. Begitu rapi dan pembersih. Padahal usianya baru delapan tahun. Dan -mungkin- terakhir, Salsha, si bungsu yang manjanya makin menjadi.
Melihat sang ayah pulang, tangan mungil Caca yang mengarah ke boneka Syifa refleks berubah haluan. Gadis kecil itu merengek minta digendong.
Sira dengan sigap mengambil Caca, "ayahnya mandi dulu yah ade, ayah kan, baru pulang kantor, masih bau"
"Au? Aya au?" Mata Caca berbinar, sekejap Syifa melupakan barbie-nya dan meraih tangan Caca.
"Iya, ayah bau keringet abis dari kantor. Hih," katanya sambil menutup hidung.
Caca dengan polosnya juga ikut bergumam, "Hiiiiiih" yang membuat semuanya jadi terkikik.
"Awas yah, kalau ayah habis mandi, ayah nggak ngajak jalan-jalan lagi kakak, jalannya sama ade aja"
"Loh? Kok cuman kakak sih, yah? Kan ade Caca juga ikutan bilang 'Hiih' tadi, malah lebih panjang"
"Karena kakak ngajarin ade yang engga baik"
"Yaudah, ade Caca jangan ikutin kakak, nanti kakak enggak diajak jalan-jalan lagi sama ayah"
"Alan? Alan-alan!" Caca berseru semangat. Syifa menepuk dahinya, "cepet gede, ya dek. Biar nanti kakak enggak pusing kalau mau ngomong sama ade Caca"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kamu Kembali [COMPLETED]
ChickLitKarena dia, Sira kehilangan semuanya. Kehilangan keluarga, orang-orang yang ia sayang bahkan suatu hal paling berharga dalam hidupnya. Satu-satunya alasan Sira bertahan hidup adalah nyawa yang kini dititipkan Tuhan padanya. Sebab sejak masa it...