12

34.3K 2.4K 14
                                    

Tiga tahu lalu ...

      Di luar hujan turun dengan deras. Sira memperhatikan rintik-rintik air yang turun seperti berkejeran dari atas langit. Dia sedang berada di minimarket untuk membeli keperluan bulanannya. Maklum, sebagai anak kos yang tinggal sendiri Sira kadang suka lupa kalau bahan makanannya telah habis.

   Terjebak hujan bukan perkara yang menyenangkan. Sira lelah berdiri di depan minimarket dengan satu tangan menenteng kantong belanjaan. Belum lagi hawa dingin menusuk yang terasa tidak nyaman di kaki Sira.

     Sekitar sepuluh menit berlalu dengan lama, dan hujan tak kunjung berhenti, malah makin deras saja. Sebuah mobil mewah menepi di bahu jalan. Pemiliknya berlari dengan tergesa-gesa ke minimarket. Sira mengenalnya.

   Namanya Dion. Dion Hartanto. Salah satu cowok populer sekolah, bukan hanya karena ketampanannya, tapi keaktifannya di berbagai organisasi dan juga nama marfa Hartanto yang disandangnya. Setidaknya hanya itu yang Sira tahu. Ditambah kenyataan kalau Dion itu playboy. Meluluhkan hati cewek-cewek se-angkatan mereka, adik kelas bahkan kakak kelas hanya dengan sekali senyum maut.

     Sira tidak terlalu mengenalnya. Mereka hanya pernah sekali berkenalan dan Sira pernah mendapat sms dari lelaki itu. Waktu itu ia bertanya tentang tugas sekolah.

      Saat Dion keluar dari minimarket dan mendekat ke arahnya, tubuh Sira mendadak kaku. Ia bukan tipe cewek bebas yang biasa bergaul dengan laki-laki.

"Nuggu hujan?"

  Sira mengangguk kaku.

"Udah lama?"

"Lumayan" lalu Sira menatap lurus ke depan. Menghindari mata lelaki itu yang terkesan mengintimidasi.

"Lo kuliah di Bandung juga? Baru tau. Tinggal dimana?"

"Ngekos, kok"

Dion menyunggingkan senyum manis.

"Kok kita nggak pernah ketemu, ya?"

"Emm ... mungkin karena beda fakultas"

Dan selanjutnya hanya hening yang mengisi. Sira bingung mengapa Dion tak kunjung pergi padahal ia bisa saja menembus hujan dengan mobilnya.

"Butuh tumpangan"

Sira mengedarkan pandangannya. Takut kalau ia salah mengira maksud Dion.

"Aku?"

Lelaki itu tergelak.

"He'em. Nih hujan kayaknya bakal lama"

   Sira bingung. Menumpang pada lelaki itu bukan kebiasaan Sira. Tapi malam yang semakin larut membuat Sira mengangguk.

"Tapi nggak ngerepotin, kan?"

"Bukan masalah"

○○○

   Disitu awalnya. Awal dari semua malapetaka yang menimpa diri Sira. Air mata Sira makin mengalir deras, dengan sekuat tenaga bergerak tanpa menimbulkan suara. Kewanitaanya terasa perih, sakit sekali dan noda darah di sprei makin membuat kalut. Bajunya dan baju Dion semalam berserakan di lantai.

   Lelaki brengsek itu masih disana, di atas ranjang laknat dan tertidur dengan nyenyak. Dengan hati yang hancur Sira memungut semua pakaiannya. Memakainya dengan air mata yang tak hentinya turun. Seluruh badannya terasa sakit, pergerakannya terbatas tapi ia harus pergi sebelum lelaki itu bangun.

○○○

   Sudah hampir sebulan kejadian nahas itu terjadi, tapi Dion tak kunjung menemui Sira. Sira memukul pipinya sendiri, apa yang ia harapkan kalau lelaki itu menemuinya? Pertanggung jawaban? Tentu saja lelaki itu tak akan mau.

Janin yang sedang tumbuh dalam rahimnya biar jadi milik Sira saja. Bahkan lelaki iu tak perlu tahu kalau ia ada.

Sira menatap ponselnya sekali lagi, benarkah yang ia putuskan ini? Bagaimana kalau nanti ayah dan ibu kecewa? Tapi Sira juga tak bisa menanggungnya sendiri. Umurnya baru dua minggu, belum membuat perut Sira membuncit. Tapi kalau nanti ia tumbuh, akan Sira sembunyikan dimana perut besarnya?

Takut-takut ia menekan tombol panggilan. Lama hingga suara ibunya menyahut di sebrang sana. Sira mendadak kaku. Ibu menyapanya dengan hangat, seperti biasa. Dan Sira menceritakan semuanya. Kejadian di malam itu. Ibunya menangis, mematikan sambungan telepon. Kemudian nomor ayah yang menelpon balik. Beliau marah besar, bahkan menyuruh Sira pergi dari hidup mereka. Begitu saja.

Tanpa bertanya apakah Sira baik-baik saja, janinnya sudha berumur berapa bulan, atau mungkin ...

Siapa ayah dari anaknya.

Tapi tidak, mereka membuang Sira dengan begitu mudah.

○○○

Hari-hari selanjutnya berjalan sulit karena ayahnya tak lagi mengirim uang bulanan. Sira diusir dari kos-kosan karena menunggak terlalu lama. Ia berhenti kuliah.  Rasanya ia menjadi orang yang paling menyedihkan di dunia. Seketika, ingatan itu datang.

Hidup Sira baik-baik saja, sebelum Dion datang. Lelaki itu pembawa bencana. Pembawa masalah.

Sekarang kemana Sira harus pergi? Ia tak punya tempat tinggal. Sepeser uang juga tak ada. Hanya tas berisi baju yang teringgok dekat kakinya.

Sira menangis.

Dan seolah ikut bersedih, langit juga menumpahkan airnya di malam itu. Sira makin menangis, matanya mengabur. Bulir-bulir air yang jatuh itu. Dari sana awalnya Dion menemukan dirinya.

Sira terkesiap. Sadar sekarang ia berada di emperan toko. Memeluk lengannya sendiri. Hujan turun makin deras. Melihat mobil sport berhenti membuat Sira meringkuk ketakutan. Seseorang keluar dan lari tergesa-gesa menuju restoran di samping toko tempat Sira duduk.

Tetiba, mobil mewah lainnya datang. Di susul mobil-mobil yang di mata Sira sangat mirip dengan mobil Dion. Sira semakin ketakutan, dia memeluk dirinya sendiri diiringi tangis tersedu-sedu

Beberapa pasang mata melihat bingung kearahnya. Menganggap perempuan itu mungkin orang gila.

Sampai seorang ibu-ibu mendekatinya, mengajak Sira berbicara dan menawarkan sebuah kehidupan baru.

Benar-benar baru ...

○○○

Ketika Kamu Kembali [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang