Chapter 1 - HAI

199 21 7
                                    

---------------------

Tidak semua orang ditakdirkan untuk memiliki banyak teman. Aku tahu bahwa tak semua takdir bersifat mutlak. Karena takdir tetaplah takdir. Tapi kita sendirilah yang menentukan ke mana arah hidup kita. Yang pasti adalah manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial. Semua membutuhkan teman. Tak ada yang bisa hidup seorang diri. Jika yang terjadi padaku hingga hari ini adalah tidak memiliki seorang pun teman, aku tentu tidak akan menyalahkan takdir. Itu karena bisa jadi aku sendiri yang memilih untuk tidak mempunyai teman. Atau mereka yang memilih untuk tidak menjadi temanku. Walaupun begitu, aku tak peduli. Yang terpenting adalah kami tidak saling merugikan satu sama lain.

Mereka, semua orang termasuk Ayah. Menganggap aku adalah orang yang aneh. Hanya Ibu yang masih memandangku dengan tatapan yang sama. Aku benar-benar tidak tahu kesalahan apa yang telah aku lakukan hingga membuat mereka menjauh. Yang aku ingat adalah saat terbangun dari tidur panjang tiga tahun lalu, semuanya berubah menjadi asing. Aku yang seperti tidak mengenali tubuhku sendiri, dan orang-orang yang sontak menjauhiku. Aku tidak amnesia, karena aku sadar betul dan mengenal lingkungan sekitarku. Hanya saja aku merasa terbangun sebagai orang asing. Asing terhadap tubuhku sendiri.

Walaupun sebelum kejadian itu aku juga tidak begitu memiliki banyak teman, setidaknya aku memiliki dia yang selalu ada di sampingku. Yang sejak kecil aku anggap sebagai sahabat terbaikku. Yeah, I can count on her like "blink" she'll be there. Tapi sekarang dia juga seperti yang lain. Memandangku dengan tatapan yang sama.

Tatapan merendahkan? Bukan.

Tatapan menjijikan? Juga Bukan.

Mereka hanya memandangku dengan tatapan yang berbeda. Aneh saat melihatku dari jauh, tapi berubah menjadi takut saat mereka melihatku dari dekat. Itu seperti saat dari kejauhan kau melihat badut bisa melayang, lalu ketika mendekatinya kau tersadar bahwa itu adalah badut pembunuh.

---------------------
Kata terakhir yang kutulis membuat bulu-bulu halus di sekitar tangan dan belakang leherku berdiri. Pembunuh. Tidak, aku tidak ditakdirkan untuk menjadi pembunuh. Tak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk menjadi pembunuh. Pembunuh hanyalah mereka yang memilih jalan hidupnya untuk menjadi seperti itu. Sedangkan aku? Aku tidak akan pernah memilih jalan itu.

Lalu apa maksud dari tatapan orang-orang kepadaku?

Tubuhku kembali bergidik ketika merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangku. Tanpa berpikir panjang aku segera membalikkan badan untuk memastikan bahwa itu hanyalah Ibu yang sedang memegang kue untuk merayakan hari kelahiranku. Perayaan ke lima belas. Tapi tidak ada siapa-siapa saat aku berbalik. Pintu kamar pun masih dalam posisi tertutup dengan kuncinya yang masih tergantung di sana.

"Mom?"

Mungkin Ibuku masuk secara diam-diam, mengunci pintunya lagi, lalu bersembunyi di balik lemari. Saat akan mengeceknya, langkahku terhenti ketika memergoki seseorang duduk di atas tempat tidurku. Aku yakin sekali melihatnya dari sudut mataku. Dia duduk di sana sambil memandang ke arahku. Dan lagi, aku tak menemukan siapa pun di atas tempat tidur atau pun di dalam lemari.

Kali ini aku tak berniat memanggil Ibu untuk yang kedua kalinya. Karena aku tahu itu bukan dia. Atau mungkin Ayah? Kemungkinannya hanya 0,01%. Jangan tanya kenapa, karena kenyataannya memang itu tidak mungkin. Bagaimana akan sampai ke kamarku yang ada di lantai dua kalau dia saja tidak mau menginjak tangga menuju lantai atas Rumah kami lagi.

Menyerah, aku pun kembali ke meja belajar untuk melanjutkan kegiatan menulisku. Menulis adalah kegemaranku. Tapi selain itu, menulis merupakan teman baik yang tidak akan pernah menghianatiku. Dia selalu mendengarkan setiap kali aku berkeluh kesah kepadanya. Aku tak perlu orang lain untuk menilai seperti apa diriku. Karena dengan menulis aku justru dapat lebih mengenal siapa diriku.

Selain itu, menulis juga dapat membantuku menghilangkan semua beban dan membuatku menjadi lebih rileks. Semua stres yang aku pikul seharian akan terlepas begitu saja, lalu terperangkap di dalam setiap rentetan kata yang kutulis.

Setelah melalui hari-hari yang melelahkan di Sekolah, serta seperti merasakan kehadiran seseorang di kamarku sendiri. Setidaknya itulah yang aku inginkan saat ini. Aku ingin melepaskan semua beban itu ke dalam tulisan. Tapi yang aku temukan justru goresan tinta berwarna merah menutupi kata terakhir yang tadi kutulis.

"HAI"

to be continued....

SUPERVISEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang