Chapter 6 - You'll Die

90 16 2
                                    

"Hyung, hari ini ya. Menurut jadwal kami akan sampai di sana pukul 9 pagi. Pastikan datang tepat waktu dan jangan buat kami menunggu. Tolong kirim pesan ke nomer ini mengenai detail tempat hyung menunggu. Oh ya, tidak usah membawa placard..."

Kwangsoo sedang menghubungi kakaknya melalui sambungan telpon milikku. Ya, menurut rencananya kami akan berangkat ke Korea hari ini. Setelah dua hari kemarin aku sibuk mengurus semua keperluan dan izin ini itu, akhirnya aku bisa beristirahat sejenak sebelum beberapa jam lagi harus pergi ke Bandara. Tidak mudah mengurus izin anak di bawah umur delapan belas tahun untuk pergi ke luar negeri tanpa pendampingan orang tua. Ada beberapa ketentuan dan form yang harus diisi agar aku bisa pergi. Jika diizinkan melawan, aku ingin sekali menghajar Kwangsoo. Tapi itu tidak mungkin, karena saat digebraknya saja aku sudah bergidik.

Aku berani bertaruh, ini akan menjadi perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Perlu waktu sekitar sebelas jam untuk sampai ke Korea Selatan. Itu bukan masalah, karena ini bukan kali pertama aku pergi ke sana. Masalahnya adalah Kwangsoo. Bayangkan saja, apakah kau masih dapat bersikap tenang saat dipaksa pergi ke Negara orang bersama sosok misterius tanpa tahu tujuan? Aku tak bisa menebak apa yang akan dilakukan Kwangsoo di sana. Yang aku tahu hanyalah kita akan dijemput seseorang di Bandara.

"Hmm" aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan harapan bisa membuat tubuhku menjadi lebih rileks. Tidur Jeff! Jangan terlalu memikirkannya. Daripada diambil pusing, lebih baik anggap saja semua ini sebagai hadiah liburan. Kapan lagi coba kamu bisa berlibur di tanggal dengan warna hitam?

Biar saja, sekali-kali kita memang harus membebaskan diri dari semua rutinitas membosankan yang kita sendiri tidak tahu untuk apa. Selama ini aku memang hidup tanpa arah. Aku belum memiliki pemikiran akan bagaimana aku nanti di masa depan. Yang pasti adalah aku ingin selalu menulis. Selama masih bisa, aku akan selalu menuangkan pemikiranku melalui tulisan. Dunia harus tahu siapa aku. Aku ingin pergi untuk dikenang, bukan pergi tanpa meninggalkan kesan apapun dan hanya dianggap angin lalu.

***

Pesawat yang aku tumpangi akan takeoff pukul satu tepat. Itu artinya kami hanya memiliki waktu kurang dari dua jam untuk sampai ke Bandara. Untungnya pada jam kerja seperti ini jalanan menjadi lebih lengang dan aku pun sampai ke Bandara tepat waktu.

Dan entah kebetulan atau bagaimana, kursi di sampingku kosong. Begitu juga dengan beberapa kursi lainnya. Mungkin karena ini bukan hari libur, jadi hanya segelintir orang yang dapat bepergian. Dengan begitu Kwangsoo juga memiliki tempat duduknya sendiri tanpa harus menumpang di tubuhku.

"Hei, aku yang seharusnya duduk di situ" kata Kwangsoo menunjuk kursi yang berada di sisi jendela.

Kenapa dia ini? Orang lain kan tidak bisa melihatnya. Bukankah akan terlihat aneh saat ada tiga kursi kosong, tapi kita malah memilih untuk duduk di tengah atau di sisi dekat jalan?

"Memangnya kenapa?" aku menjawabnya sambil berbisik. Takut-takut penumpang lain melihatku dan menganggap aku gila karena berbicara dengan angin.

"Bukankah kamu sudah sering bepergian naik pesawat?"

Aku mengangguk. "Iya, lalu?"

"Aku belum pernah. Jadi biarkan aku menikmati perjalanan ini sekali saja dengan duduk di dekat jendela" kata Kwangsoo menjelaskan. "Lagipula, kau bisa terbebas dari ujian sejarah hari ini karena aku kan?" tambahnya.

Aku hanya mendengus kesal sambil berpindah ke kursi tengah. Lagipula, kau bisa terbebas dari ujian sejarah hari ini karena aku kan? Siapa juga yang meminta dia melakukannya. Yang ada aku harus menguras hampir seluruh isi tabunganku untuk perjalanan ini.

Dia terlihat sangat senang saat aku membiarkannya duduk di sisi jendela. Bukankah dia sebenarnya bisa mencoba naik pesawat kapan saja dia mau? Tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya kan? "Soo, aku tau kalo aku harus menyimpan pertanyaan ini untuk nanti. Percayalah, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku untuk tidak membantumu. Tapi ada satu pertanyaan yang benar-benar tidak bisa aku tahan. Apa yang akan terjadi padaku jika aku menolak untuk membantumu?"

Kwangsoo tersenyum mendengar pertanyaanku. Ternyata Bukan amarahnya saja yang mengerikan, tapi juga senyumannya. Kau tahu senyuman seorang psikopat dalam drama Korea berjudul I Remember You? Ibuku tak pernah ketinggalan menonton serial itu. Jika kau tahu, seperti itulah senyuman Kwangsoo saat ini.

"Ke-kenapa kau malah tersenyum?" suaraku bergetar melihat senyumannya.

"Tidak apa-apa, aku hanya senang kau memanggilku Soo. Itu terdengar lebih bersahabat" jawabnya masih dengan senyuman yang sama. "Kau benar-benar ingin tahu?" Kwangsoo kembali bertanya.

Aku menjawabnya dengan anggukan.

"Jika kau tidak mau membantuku, kau akan mati" tubuhku bergidik mendengar ucapannya yang terdengar tajam dan dingin. Wajahnya berubah menjadi datar. Terlihat sangat serius.

"Kau ingat kejadian tiga tahun lalu?"

Dahiku berkerut, membuat kedua sisi alisku saling bertemu. Aku sedang mencoba untuk menggali memoriku tentang kejadian apa yang dia maksud. Belum sempat menjawab, Kwangsoo lebih dulu menggenggam telapak tanganku. Membuat tubuhku seperti terhempas ke suatu tempat. Terang. Semakin terang. Tubuhku seperti berseluncur di lorong cahaya, hingga akhirnya mendarat di depan gerbang sebuah Sekolah. Aku melihat, Ayah? Dia berdiri di samping mobilnya yang terparkir di sebrang sekolahku sambil membawa kotak besar dengan bungkus bermotif transformers di pelukannya.

"Saat itu hari ulang tahunmu yang ke-12" aku mendengar suara Kwangsoo. Tapi dia tidak ada di sekitarku. Hanya suaranya yang seperti datang dari kejauhan.

Ayahku melambaikan tangannya ke arahku. Aku bermaksud untuk menghampirinya, tetapi seorang anak laki-laki lebih dulu berlari menyebrang jalan tanpa melihat bahwa ada mobil truk yang sedang melaju kencang ke arahnya. Dalam hitungan detik tubuhnya terpental sejauh sepuluh meter sebelum terkapar di atas aspal dengan darah yang terus mengalir dari hidung, mulut, dan kepalanya.

Aku memejamkan mata sambil menarik nafas panjang saat menyadari bahwa anak laki-laki itu adalah aku tiga tahun lalu. Ya, waktu itu aku sangat senang melihat Ayah yang tiba-tiba sudah menungguku di sebrang Sekolah. Padahal malam sebelumnya dia bilang belum bisa pulang karena tidak diizinkan cuti oleh atasannya.

Begitu aku memutuskan untuk membuka mata, tubuhku sudah kembali duduk di kursi pesawat di samping Kwangsoo. "Kau koma selama hampir 9 bulan. Jika kau seorang ibu hamil, anakmu sudah lahir saat itu" kata Kwangsoo berusaha melucu. Tapi aku tidak tertawa sedikit pun. Kejadian di Sekolah tadi masih membuatku shock.

"Ingat? Kau menyebutnya tidur panjang. Sebenarnya kau hampir mati. Atau mungkin sekarang seharusnya sudah mati, jika aku tidak masuk ke dalam tubuhmu. Menggantikan jiwamu untuk sementara waktu. Jiwamu masih hidup, tapi terlalu lemah untuk bertahan. Oleh karena itu aku diminta untuk menggantikannya sekaligus menjadi supervisor di dalam tubuhmu. Sekarang jiwamu yang asli sudah kembali. Tapi hanya untuk sementara waktu. Jika kau tidak mau membantuku, aku juga tidak akan membantumu. Dan ketika jiwamu yang asli itu benar-benar tak bisa bertahan, kau akan ikut mati bersamanya. You'll Die!" aku menelan ludah yang sedari tadi tertahan di ujung kerongkonganku. Kwangsoo membisikan kalimat terakhirnya tepat di telingaku. Membuat kalimat mengerikan itu menjadi berpuluh-puluh kali lebih mengerikan.

.

.

.

.

But if you die, I'll die.

to be continued....

SUPERVISEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang