Chapter 2 - Disappear

170 14 8
                                    

Semenjak kejadian di kamarku beberapa waktu lalu, "dia" semakin sering menampakkan diri. Bukan. Bukan dengan muncul tepat di hadapanku. Tapi aku semakin sering merasakan kehadirannya yang terlihat dari sudut mataku. "Dia" tak melakukan apapun selain memperhatikanku tanpa mengeluarkan suara. Apakah aku takut? Tentu saja. Makhluk apa dia itu sebenarnya? Apa yang dia inginkan dariku? Apakah dia berbahaya? Aku hanya mencoba bersikap tenang karena enggan mempedulikannya.

Tapi berbeda dengan hari ini, aku sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Aku juga mulai merasa ada yang berubah dengan diriku dan orang-orang di sekitarku. Aku merasa lebih nyaman dengan diriku yang sekarang. Begitupun orang-orang itu, mereka tidak lagi melihatku dengan pandangan aneh dan takut.

"Hai Jeff!" terdengar teriakan seseorang memanggilku. Suara perempuan. Tunggu, aku tidak asing dengan suara itu.

"H-Hai?" aku membalas sapaannya dengan gugup. Benar saja, itu Sarah. Sahabatku (dulu).

"Senang melihatmu kembali Jeff" Sarah tiba-tiba memelukku.

"Aku tidak kemana-mana" kataku tetap diam. Apa yang harus aku lakukan, melepas pelukannya? Itu akan terkesan kasar. Membalas pelukannya? Ya, aku akhirnya memutuskan untuk membalas pelukannya sambil sedikit mengacak-acap rambutnya yang halus itu. Jujur, aku sangat merindukannya. Walaupun aku sendiri masih ragu apakah dia tulus berteman denganku lagi atau hanya berpura-pura.

"Memang, tapi dirimu yang asli sepertinya baru kembali" jawab Sarah seraya melepaskan pelukannya.

"Mm-Maksudmu?" aku tak mengerti.

"Entahlah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kamu ada di sini" aku menatapnya bingung. Bagaimana bisa aku tidak memikirkannya? Jelas-jelas barusan Sarah bilang diriku yang asli sepertinya baru kembali. Berarti bukan hanya aku saja yang merasa seperti itu.

Kemudian hening. Aku tidak ingin melanjutkan pertanyaanku. Sudah cukup hanya "dia" yang memenuhi kepalaku sedari tadi. Aku tidak mau perkataan Sarah ikut menjadi penghuni di pikiranku yang sudah runyam ini.

Saat itu kami sedang duduk berhadapan di bangku taman belakang Sekolah. Tersadar sedang diperhatikan, aku mengangkat sedikit kepalaku untuk selanjutnya bertemu dengan kedua mata Sarah yang sedang menatapku. Tatapan itu tidak hanya berhenti di bola mataku, melainkan terus menembus ke dalam seperti mencari sesuatu. Aku paham betul maksud dari pandangannya. Itulah yang disebut pandangan seorang pemerhati.

Hei, bukannya selama ini aku yang selalu menggunakan pandangan itu? Aku yang seharusnya menembus bola mata Sarah untuk mengetahui alasan kenapa dia kembali mendekatiku. Untuk memastikannya, aku mengalihkan pandanganku dari Sarah. Mengamati setiap orang yang sedang sibuk menjalankan aktifitasnya di sekitar taman belakang Sekolah. Saat itu sedang jam istirahat. Sebagian besar siswa dan guru pasti berada di kantin untuk makan siang. Hanya segelintir orang yang berlalu lalang di taman ini.

Aku coba memahami maksud dari tatapan mereka. Kenapa mereka berubah menjadi tidak peduli? Bukan lagi memandangku dengan tatapan aneh atau takut. Tapi aku tidak mendapatkan apa-apa selain itu. Aku tidak mendapatkan hal yang selalu aku dapatkan setiap kali mengamati seseorang. Aku tidak mendapatkan jawaban apapun.

"Jeff, bagaimana kalau kita merayakannya?" ucap Sarah setelah beberapa saat.

"Merayakan apa?" aku balik bertanya.

"Merayakan bahwa kau sudah kembali" jawabnya antusias.

"Baiklah" aku menyetujuinya. Bukan karena aku juga ingin merayakannya. Aku hanya ingin mengalihkan pikiranku dari sesuatu yang baru saja aku sadari. "Bagaimana kita merayakannya?" tambahku.

Tanpa ragu Sarah langsung menarik lenganku, lalu berlari ke arah kantin. Tunggu!

"Kita harus merayakannya bersama teman-temanku yang lain. Mereka harus tahu bahwa sahabatku sudah kembali. Aku yakin, setelah ini kau akan memiliki banyak teman" kata Sarah seperti mendengar teriakanku. Dia masih berlari ke arah kantin sambil tetap menarik lenganku.

Sarah sontak berhenti saat aku melepas genggamannya. "Aku tidak mau merayakannya bersama teman-temanmu" jelasku.

"Kenapa tidak?" Sarah menatapku bingung.

"Saat ini aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua bersama sahabat terbaikku"

Sarah tersenyum mendengar alasan yang aku berikan. Padahal aku tidak benar-benar tulus saat mengucapkannya. Untuk apa? Bukannya dia sendiri yang menghilang ketika aku berada di titik terendah? Cukup dengan Sarah, tak usah ditambah dengan topeng-topeng lainnya.

"Baiklah, ayo!" kata Sarah pada akhirnya.

Aku tiba-tiba tersentak. Bukan karena ajakan terakhir Sarah. Tapi karena semua perkataanku hari ini yang terlontar murni dari pikiranku sendiri. Bukan hasil perdebatan dengan suara yang selalu muncul di kepalaku. Ya, suara itu. Aku tak lagi mendengarnya. Pergi ke mana suara itu?

to be continued......

SUPERVISEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang