Chapter 3 - It's Back

140 19 1
                                    

Ini sudah hampir sebulan semenjak Sarah kembali menjadi temanku. Itu artinya, sudah sebulan juga sejak suara itu menghilang. Dengan hilangnya suara itu, hilanglah semua kemampuanku. Tak ada lagi kemampuan memahami seseorang hanya dengan mengamatinya. Kemampuanku untuk memahami situasi pun tak lagi sebaik dulu. Entahlah, apakah kemampuan itu memang berasal dari suara di dalam kepalaku? Atau malah sebenarnya aku sudah gila? Tentu saja tidak.

Aku sempat mencurigai bahwa semua ini ada hubungannya dengan Sarah. Ya, aku baru ingat bahwa Sarah juga memiliki pandangan seorang pemerhati. Kemampuan itu muncul di saat aku tidak lagi bisa menggunakannya. Apakah Sarah sebenarnya adalah suara yang ada di dalam kepalaku? Kalau begitu, dia adalah sosok yang selalu muncul di sudut mataku beberapa waktu lalu. Tapi Sarah bilang dia senang melihat diriku yang asli akhirnya kembali. Yang aku tahu, diriku kembali di saat semua keanehan itu telah pergi. Dan saat itu jugalah kemampuan Sarah muncul. Atau mungkin semua keanehan itu malah berpindah padanya?

"Yah, Sarah!" aku tiba-tiba berseru. Sarah yang sedang membaca buku di sampingku menghentikan kegiatannya. Kenapa dia tidak kaget? Padahal aku sendiri tersentak ketika menyadari bahwa aku tiba-tiba menyerukan namanya.

"Kenapa?" kata Sarah seraya menyentuh pundakku. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Lihat, sekarang aku benar-benar tidak bisa memahami cara berkomunikasi lain selain melalui kata-kata.

Apa yang harus aku katakan?

"Ehmm, apakah kamu merasakan sesuatu yang aneh?" tanyaku pada akhirnya.

Sarah mengerutkan dahinya.

"Begini, bisa tidak kau menjelaskan bagaimana aku ini sebelum diriku yang asli kembali?" aku melanjutkan pertanyaanku sambil menekankan empat kata terakhir. Hmm, bahkan sekarang aku juga buruk dalam berkata-kata.

"Maksudmu, kenapa aku dan yang lainnya menjauhimu?" Sarah memastikan.

Aku hanya mengangguk, lalu menaikan kedua alisku. Memintanya untuk melanjutkan.

"Aku tidak tahu pasti bagaimana dengan orang-orang. Tapi saat aku melihatmu dari jauh, aku merasa aneh. Hanya aneh, seperti melihat tubuhmu berdiri tanpa nyawa. Aku penasaran lalu mendekatimu. Saat itulah aku tersentak dan langsung menyadari bahwa aku tidak akan mendekatimu lagi"

"Apa yang kamu lihat?" aku kembali bertanya, takut-takut dia memang melihat badut pembunuh itu dalam diriku.

"Tentu saja aku melihat dirimu" Sarah memasang muka datarnya, seolah-olah aku melontarkan pertanyaan terbodoh sedunia. "Hanya saja ada sesuatu di balik matamu yang seperti memerintahkanku untuk menjauhimu"

Aku menghembuskan nafas lega. Setidaknya dia tidak melihat apa yang selama ini aku asumsikan. "Nah sekarang, apakah ada sesuatu yang kamu rasakan? Adakah sesuatu yang aneh? Seperti suara di dalam kepalamu misalnya?"

"Yang aku rasakan? Aku merasa sangat senang bisa kembali dekat dengan teman kecilku. Tidak ada yang aneh selain pertanyaanmu" jawab Sarah sambil memutar kedua bola matanya. "Tunggu, jangan bilang selama ini kau mendengar suara-suara di dalam kepalamu?"

Aku mengangguk.

Mata Sarah membola, "Jangan bilang kau juga punya teman hayalan?"

Kali ini aku menggeleng. Aku memang tidak punya teman hayalan. Atau mungkin sosok yang muncul di sudut mata itu adalah teman hayalanku? Melihat teman dekatku berpikir sangat keras, aku pun memutuskan untuk menjelaskan semuanya. Mulai dari aku yang terbangun dengan perasaan aneh dengan tubuhku sendiri, aku yang memiliki pandangan seorang pemerhati, perdebatan dengan suara-suara di kepalaku, hingga sosok yang muncul di sudut mataku. Aku pun memberitahu bahwa mungkin sosok itu kini ada di dalam dirinya.

Entah sebenarnya Sarah percaya atau tidak dengan semua penjelasanku. Karena sejak tadi dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah aku selesai bercerita, dia pun menghela nafas panjang. "Jeff, I think you should go to the Psychiatrist" katanya.

"Begitu juga denganmu" kataku enteng. Jika dia memintaku untuk pergi ke Psychiatrist karena ada yang salah dengan diriku, bukankah seharusnya Sarah juga pergi bersamaku? Karena yang aneh bukan aku saja kan?

"Sosok itu tidak ada di dalam diriku. Aku tidak memiliki satu pun tanda-tanda seperti yang kau jelaskan!" jelas Sarah setengah berteriak.

"Hmm, Sorry"

Aku membalasnya dengan senyuman. Aku bahkan tidak marah kepadanya hanya karena dia sedikit berteriak.

"Look! Jeff, suara yang selama ini ada di dalam kepalamu itu tidak nyata. Semua keanehan yang kau alami itu tidak nyata. Itu hanya"

"It's REAL!" aku memotong perkataan Sarah. "Jika semua keanehan itu tidak nyata, kenapa kamu pergi? Saat sesuatu yang ada di dalam mataku ini memintamu untuk menjauhiku, kenapa kau percaya? Bukankah ini tidak nyata?"

"Jeff.."

"Kamu sendiri yang bilang ini semua tidak nyata Sarah!" aku membentaknya. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Waktu itu dia sendiri yang bilang bahwa diriku yang asli baru kembali. Lalu barusan dia bilang semua keanehan ini tidak nyata?

"Oke, aku akan pergi ke Psychiatrist bersamamu. Akan ku buktikan siapa yang sebenarnya aneh di antara kita. Ayo!" katanya seraya berjalan meninggalkanku yang masih tersungkur di sudut kamar Sarah.

Akan ku buktikan siapa yang sebenarnya aneh di antara kita. Aneh? Hmm, cukup halus untuk menyamarkan kata gila. Lihat, bahkan dia ingin pergi ke Psychiatrist hanya untuk membuktikan siapa yang gila di antara kami. Bukan ingin memecahkan masalahku ataupun membuatku sembuh jika memang benar gila.

***

Sesampainya di Psychiatrist, kami berdua diperiksa oleh seorang physician. Mungkin lebih tepatnya seperti diinterogasi. Awalnya physician itu bingung ketika kami bilang ingin diperiksa. Katanya, sejauh ini baru kami berdua yang dengan sukarela datang kepadanya. Karena biasanya orang lain malah takut untuk datang ke Psychiatrist.

Physician itu bilang sebenarnya dia belum bisa memastikan apa yang salah dengan diriku. Karena katanya ini baru pemeriksaan awal. Yang aku tahu, sedari tadi dia hanya melontarkan pertanyaan yang secara garis besar sama dengan pertanyaan yang Sarah berikan padaku. Tentu saja, bahkan physician itu setuju bahwa yang gila adalah aku. Bukan Sarah. Dia memang tidak bilang bahwa aku ini gila, tapi itulah yang dapat otakku simpulkan.

Schizophrenia.

Ya, physician itu menganggap bahwa aku ini mungkin mengidap schizophrenia. Whatever, terserah mereka mau memanggilku apa. Mereka boleh menganggap aku ini gila, walaupun sebenarnya tidak. Tapi semua hal yang aku alami adalah benar adanya. Suara di dalam kepalaku, itu nyata. Begitu juga sosok yang muncul di sudut mataku, dia juga nyata. Aku tidak pernah berhalusinasi.

Saat ini aku hanya ingin sendiri. Aku tidak menghiraukan Sarah yang terus mengetuk pintu rumahku karena dia ingin masuk dan bicara padaku. Aku tidak akan mendengarkannya. Aku tidak akan datang menghadap physician itu lagi, karena satu hal. Aku. Tidak. Gila.

"Tentu saja kau tidak gila, bodoh!"

Suara itu. "It's back" gumamku.

to be continued...

SUPERVISEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang