Manan

54 5 0
                                    

-karena Rindu-
.
.
Aku muak dengan rindu.
.
Ia hanya bisa membuat ku jenuh.
.
Dan akhirnya aku terjatuh.
Saat kaki ku mulai rapuh.
.
.
-Oreo-

----------

Aku sungguh lelah. Hari sudah semakin gelap, bahkan jam menunjukan pukul 19:42 malam.
Aku harus menyelesaikan semua tugas yang seharusnya sudah selesai sejak tadi.

Jika saja atasan yang merangkap sebagai sahabatnya itu tidak se enaknya meliburkan diri, mungkin saat ini ia sudah berbaring manja dikasur tercintanya.

"Udah pulang aja. Enggak ada gunanya lo lembur kalo pikiran lo enggak disini." Ucap seseorang dengan suara baritonnya.

Aku yang paham betul siapa sosok yang kini tengah berdiri disampingku dengan  memainkan ponselnya.

"Gua kira lo lupa kalo lo punya karyawan yang lagi lembur." Ucap ku datar.

"Gua enggak sejahat mantan lo kali nan." Ucapnya dengan tawa.

"Sialan lo!" Sungut ku.

"Btw lo enggak mau nemuin dia?" Tanya Dude yang kini beralih duduk di meja ku.

"Ngapain. Gua sibuk." Ucap ku tak perduli. Lebih tepatnya pura pura tak perduli, padahal keinginan ku sangat besar untuk bertemu dengannya. Namun apa daya nyali ku belum siap.

"Halah. Ada sok enggak perduli, Enggak ada rindu. Ribet lo." Nyinyir Dude.

"Berisik! Ayo balik."  Ucap ku melenggang mendahuluinya setelah berhasil meraih tas kerja ku.

"Liat aja." Gumam Dude.
Aku bukan tak mendengar gumaman Dude, hanya saja aku tak mau ambil pusing.

Sudah cukup banyak  moment hari ini yang membuat kepalaku pening.

Aku melenggang dengan sesekali menoleh ke Dude. 'Tumben ia sibuk dengan ponselnya' pikir ku bertanya sendiri.
Karena biasanya Dude tak pernah memainkan ponsel bila sedang bersama ku. Terkecuali ada hal penting.

"De?" Panggil ku.

"Hmmm,"

"Sibuk banget si. Lagi chatan sama gebetan baru ya?"

"Sok tau lu kampret." Ucap Dude melirik ku namun setelahnya kembali sibuk dengan ponselnya.

"Biasa dong bos." Ucap ku dengan sedikit tinggi. Kesal merasa diabaikan akhirnya ku percepat langkah ku menuju lift.

Ternyata kantor sudah sepi bahkan tak ada lagi karyawan selain aku dan Dude didalam gedung ini.

Aku melirik Dude melalui sudut mata ku. Tepat saat aku ingin berucap mengingatkan Dude untuk berhenti karena didepannya ada Tiang yang mungkin Dude lupa akan letak tiang itu.

Duggh..... jidat Dude mendarat sempurna lebih dahulu sebelum tubuhnya..

"Hahahahh" tawa ku meledak. Sedangkan Dude hanya bisa meringis...

"Ya ampun kasian amat si tiangnya. Jadi korban lo main hp." Ucap ku iba pada tiang bukan kepada Dude.

"Sialan lo. Bukannya bilang ada tiang didepan gua.. kampret gaji lo gua potong." Ucap Dude sambil memegang jidatnya.

"hahah... enggak asik lo maennya potong gaji. Sini sayang, Bunda bantu." Ucap ku pada Dude sambil membantu dude berdiri diakhir kalimat.

"Ehhh,,, jidat lo benjol. Hahaha gede banget de." Ucap ku ketika menjijit melihat kening Dude.

Sedangkan yang diberitahu hanya meringis kesakitan.

"Sini duduk dulu. gua kasih minyak dulu, Biar kempesan." Ujar ku sambil menarik kursi karyawan yang berada didekat kami.

Aku mengambil minyak angin yang selalu ku bawa kemana mana. Dan mengoleskannya pada kening Dude yany benjol.

"Pelan-pelan..." ucapnya ketika aku mengoleskan minya angin berbentuk rol.

"Udahh. Enak kan?" Tanya ku.

"Palelu! perih-perih semriwing dikata enak." Ucap Dude kesal..

"Hahah anjiirr... udah yuk!" Ajak ku.

Akhirnya kami memasukin lift dan langsung menuju lobby.

Jika ditanya hubungan ku dengan dude itu sebatas apa, aku hanya bisa bilang kami hanya SAHABAT BAIK.

Dude yang merangkap bos dan sahabatnya itu memang sangat baik, sesibuk apapun ia pasti akan menjemput ku disaat aku lembur karena tugas kantor meski ia sedang mengambil cuti. Dan jika ia tak bisa menjemputku, ia akan menyedia kan mobil kantor untuk mengantarku pulang.

"Seharusnya tadi pas lo mau kejedot gua video in tuh... anjiirrr muka lo lucu banget. Gua yakin reputasi sok ganteng lu dikantor bakal jatoh. Hahaha" Ucap ku meledek Dude ketika baru saja keluar lift.

Tiba tiba seseorang berdeham..

"Lama banget,..." Ucap pria itu datar.

Meski penerangan minim karena memang semua lampu sudah dimatikan oleh security namun aku masih bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara.

Dia? Delsoon? Delsoon Danof.
Tubuh ku kaku seketika, tanpa sadar aku telah meremas ujung kemeja Dude yang memang sudah berantakan sejak tadi ia tiba.

Ia menatap ku sejenak dan langsung berjalan mendahului kami.

"Sorry bro, ada insiden." Ucap Dude.

Ia tak menghiraukan ucapan Dude, justru ia malah mempercepat langkahnya.

"Kok ada dia disini? Kan gua udah bilang gua belom siap de." Cicit ku pada Dude.

"Tapi lo sama dia butuh bicara, lo enggak bisa selamanya sok enggak butuh dia padahal lo enggak bisa hidup tanpa dia." Balas Dude.

"Tapi gua belum siap...." Cicit ku lagi.

Tiba-tiba.....

Duggggh.... kepala ku menabrak bidang keras.

"Ahhrrg..... apaan si nih!" Ucapku spontan masih tak melihat apa yang ku tabrak.
Karena wajah ku sejak tadi menunduk.

"Kita perlu bicara." Ucap Delsoon dengan nada tak bisa dibantah.

Aku mendongak kan kepala ku, dan betapa terkejutnya ternyata jarak kami saat ini sangat dekat. Parahnya lagi bidang keras yang ku tabrak tadi adalah dada bidang milik Delsoon. Aku hendak menolak, dengan menatapnya sebentar membuat nyali ku ciut untuk mengeluarkan suara.

"Oke lo pake mobil gua aja. Biar gua balik pake mobil kantor." Ucap Dude lalu melenggang pergi.

(13-12-2017)

.
.
Bulan resah, batinnya terus meminta.
.
Bagi bulan dari masalalunya
Ada kata yang tak terucap dan
Ada hal yang belum terjelaskan.
.
Dan itu yang membuat bulan terus resah.
.
.
-Oreo-

MAN(T)ANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang