MEMORY GLASS -21

101 21 4
                                    

Benarkah, perpisahan adalah bentuk nyata dari sebuah akhir cerita?
(AudyKirana)
~

Sore ini kami bertiga memutuskan untuk singgah disalah satu kafe yang menyuguhkan pemandangan senja yang indah. Sengaja, karena ingin sekedar berbincang dan mengambil moment senja sebanyak-banyaknya sebelum esok pagi harus pergi ke bandara untuk melihat kepergian Zee.

Kafe dengan gaya arsitektur Eropa ini memang selalu ramai dikunjungi banyak orang, untuk sekedar singgah melihat senja dari atas lantai kafe. Atau menikmati kebersamaan sebuah keluarga, atau berbincang bincang dengan teman sebaya seperti aku dan kedua temanku. Aku mengetahui kafe ini dari bang Dana, saat itu bang Dana ingin memberi kejutan ulang tahun untuk kak Selly.

"Kita ambil lantai atas aja ya,  biar viewnya bagus" kataku, yah karena menurut ku memang dibagian lantai atas lah tempat yang paling bagus.

"Senja-nya belum muncul Ran, kita pesen makan aja dulu" Fika yang mulai lapar berceloteh. Kami memilih kursi paling pojok yang paling teduh dan tidak ada yang menghalangi untuk melihat senja

"Sip gue setuja sama lo Fik, pesen makanan yang banyak laper banget gue!"

"Setuja?" Keningku mengkerut mendengar kata aneh dari Tara barusan.

"Setuju maksudnya, nih orang emang agak gak waras suka ganti ganti huruf." Fika memutar kedua bola matanya malas.

"Dari pada ganti baju, mending ganti huruf"

"Kenapa jadi nyambung ke baju?" Fika mengernyit tidak mengerti.

"Karena bakal ribet banget kalau harus gonta ganti baju ketimbang ganti huruf."

"Gak jelas banget sih Tar" kata Fika acuh.

"Susah sih kalau ngomong sama lo, otak yang selalu pacaran sama buku!"

"Aku gak pacaran sama buku!" Kata Fika membela dirinya sendiri. Aku hanya memperhatikan-nya saja.

"Bukitnya, lo selalu kemana mana bawa buku, ampe dikantong baju lo aja ada buku! Artinya lo udah pacaran sama buku!"

"Seenggaknya, buku gak bisa bikin sakit hati!"

"Ya iyalah bego! Kalau ampe buku bisa buat sakit hati, udah gue bakar buku diseluruh dunia ini" kata Tara sambil menaikan kakinya diatas kursi kafe. Kebiasaan!

"Tar gak enak dilihat sama orang." Kataku memperingati, wanita satu ini memang tidak takut dengan siapa pun, bahkan beberapa orang sudah menegurnya sejak tadi karena suaranya yang besar. Sekarang ditambah tingkahnya yang tidak sopanya. Dasar. Padahal tidak semua orang akan sependapat dengan kita dan tidak semua orang bisa memahami diri kita. Benar kan?

Aku sangat suka melihat senja, entahlah. Aku jadi ingat saat terakhir kali bersama Zee waktu ditaman tengah kota, mengambil gambar sebanyak banyaknya dan ia memutuskan untuk pulang. Banyak orang yang menyukai senja tapi ada juga yang tidak suka, bahkan enggan untuk melihatnya contoh nya saja Abang Galih. Ia pernah bilang kalau senja itu aneh. Kata bang Galih, senja itu hanya datang untuk menggoreskan warna jingga pada langit lalu pergi menghilang sesukanya. Itu alasan Abang tidak suka senja, dan katanya lagi senja memberikan banyak makna pahit dalam hidup.

"Ambil view sebelah sana aja Fik bagus tuh" tunjuk ku mengarah ke arah gerbang pembatas.

"Iya nanti deh Ran, makan dulu aja"

Lalu seorang waiter datang membawakan pesanan kami, setelah kami mengucapkan terima kasih beliau pergi.

"Hng.. kayaknya aku akan datang besok" ucapku di sela-sela kegiatan makan kami.

Memory GlassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang