detik ke 4 : Renatha dimana?

264 41 49
                                    

"Gimana sekolah kalian?" Tanya papahnya Renatha dan Alfa.

"Lancar pah." Jawab Renatha santai sambil memotong kentang di piringnya.

"Sebenarnya ada yang mamah mau bicarakan sama kalian."

Papah dan mamahnya saling menatap seolah mamahnya meminta persetujuan papahnya. Dan sedikit anggukan kecil menjadi jawaban.

Mamahnya menarik napas pelan.

"Mamah dan papah ingin bercerai." Lanjutnya.

Seketika semua diam, bahkan suara dentingan piring dan sendok yang tadinya beradu kini ikut membisu.

Cerai?

Satu kata itu terus berputar di otak Renatha, pun dengan Alfa. Ini terlalu sulit.

"Kenapa?" Tanya Alfa melalui tatapan matanya. Bahkan mulutnya tak sanggup berucap.

"Karena, memang kita udah nggak bisa." Jelas papahnya.

Renatha mengernyitkan dahinya, "Nggak bisa, Pah? Apanya yang nggak bisa, Pah?"

Renatha tak habis pikir dengan alasan yang diberikan Papahnya barusan.

"Kalian udah bareng-bareng 17 tahun. Kalian juga selalu keliatan baik-baik aja. Aku bahkan nggak pernah denger kalian saling teriak. Terus apanya yang nggak bisa, Pah?"

"Renatha, nggak semua yang keliatannya baik-baik aja akan selalu benar-benar baik."

"Tunggu. Jadi maksud kalian aku sama Kak Renatha bakal jadi anak broken home? Kalian lebih pilih ego kalian daripada aku dan Kak Renatha?"

Papah dan Mamahnya sudah kehabisan kata. Ini jelas bukan kondisi yang mereka inginkan juga.

"Mah, Pah, jawab dong. kalian akan jadiin aku dan Kak Renatha anak broken home?"

Mata Alfa mulai berkaca-kaca melihat tak ada respon dari kedua orang tuanya.

Renatha spontan manaruh sendok dengan kasar, bangkit dari duduknya, kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Jujur Alfa kecewa banget sama mamah dan papah."

Sementara kedua orang tuanya hanya pasrah. Mereka tau semuanya akan seperti ini.

⏱⏱⏱

Motor sport hijau itu membelah dinginnya malam di kota Jakarta. bermodal sweater dan jeans selutut membuatnya tampak sederhana sekaligus elegan, ditambah jambulnya yang sengaja ia naikkan keatas.

Plastik putih dari toko buku mengiringi langkah kakinya menuju taman dimana ia memarkirkan motornya. Taman di depan toko bunga itu tampak sepi dari biasanya. Hal itu membuat dirinya tertarik untuk sekedar duduk sebentar menikmati sejuknya Jakarta yang jarang dirasakan.

Samar-samar terdengar suara tangis perempuan, membuat cowok itu penasaran dan mencari asal suara itu.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, cowok itu melihat perempuan dengan rambut panjang sedang duduk di bangku taman. Bahunya sedikit bergetar membuat cowok itu semakin penasaran.

"Sorry, nih. Lo nggak apa-apa?"

Cowok itu bertanya, namun tak ada jawaban.

Sempat membuat cowok itu berpikir kalau jangan-jangan dia kunti? tapi kok bajunya nggak putih? apa dia keujanan makanya ganti baju? tapi mana ada setan kedinginan?

Plis ini goblok, jelas-jelas kakinya napak. Belakangnya juga nggak bolong.

"Ngapain masih disini?"

Dengan nada kasar perempuan itu bertanya— atau mungkin lebih tepatnya mengusir.

"Ya abisnya lo nggak jawab."

Cowok itu sedikit mendekat untuk memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja.

"Lagian lo ngapain sih nangis di taman gini? Horror banget tau nggak?" Sambungnya.

Cewek itu mengusap kasar wajahnya yang basah sambil bangkit dari duduknya.

"Bawel banget sih lo. Baru liat ya orang nangis? kalo lo nggak pergi yaudah gw aja yang pergi."

Dia membawa jaket dan tasnya kemudian memasuki mobil yaris silver yang dia bawa.

lah? belum juga kenalan, batin cowok itu.

"GUA BASTIAN MIKAIL. PANGGIL AJA MIKA!" Teriak cowok bernama Mika itu.

⏱⏱⏱

"Adel, lo liat Renatha nggak?"

"Nggak gw kantongin tuh."

"Gw serius ih!"

Kalut, panik, khawatir, kini melanda perasaan Alfa. Pasalnya semalam Renatha tidak pulang, bahkan hari ini tak nampak batang hidungnya. Bingung tujuh keliling harus mencari Renatha kemana lagi. Orang tuanya pun tak kalah panik dari Alfa.

"Lo kemana sih?" Gumam Alfa.

Alfa menenggelamkan wajahnya di atas meja. Renatha benar-benar membuat Alfa frustasi.

Dari bibir pintu terlihat segerombolan cowok-cowok memasuki kelas.

"Assalamualaikum. Selamat pagi. Minta perhatiannya sebentar ya."

Alfa yang saat itu masih kalut dalam kebingungannya tidak terlalu mendengar apalagi memperhatikan apa yang terjadi di kelas.

"Itu yang tiduran, tolong perhatiin sebentar dong!" Tegur salah satu dari cowok-cowok yang berdiri di depan kelas.

Spontan Adel langsung menyikut Alfa yang langsung dibalas pelototan sangar dari Alfa.

Alfa tak sadar kalau saat ini dirinya menjadi pusat perhatian seisi kelas.

"Apaan sih?" Tanya Alfa tak suka dengan tatapan mereka.

"Pertama, gw nggak suka kalo ada yang lagi ngomong tapi nggak diperhatiin. Kedua, gw nggak suka ada yang tidur di kelas. Kalo lo mau tidur bukan disini tempatnya!"

Dingin, tegas, dan menusuk.

Alfa baru sadar orang itu menyindir dirinya.

"Dia ketos." Bisik Adel mengingatkan Alfa.

Perasaan Alfa benar-benar malu sekarang. Untuk menatap ketos dan deretan anggotanya saja tak sanggup. Nyalinya sangat ciut.

"Iya kak. Sorry."

Ternyata mereka datang membawa kabar duka bahwa orang tua dari salah satu murid kelas 12 meninggal dunia. Mereka meminta agar kita semua berdoa dengan khusyu serta menyumbang seikhlasnya.

"Bastian.. Mikail." Eja Alfa dalam hati ketika melihat badge nama ketos itu di seragamnya.

"Del, dia anak kelas berapa?"

"11 MIPA 1. Kenapa? lo suka?"

"Enggak lah. Nggak liat lo mukanya tadi serem banget?"

"Jangan sampe lo suka sama dia, Fa."

"Kenapa?"

"Geng yang waktu itu gw ceritain sama lo, ketua gengnya tuh suka sama dia. Kalo lo berani deket sama dia, nggak tau deh lo bakal jadi apa."

3600 Detik Bersama MikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang