detik ke 5 : gosip panas

267 41 34
                                    

Hari sabtu ini menjadi hari pertamanya bekerja menjadi penyiar radio. Pukul 17.00 WIB adalah jamnya untuk siaran.

Kaos putih dan jeans yang sengaja ia gulung sampai atas mata kaki menjadi gayanya hari ini.

Renatha sejak SMP memang sudah bergabung menjadi anggota penyiar radio sekolah yang tidak banyak diminati itu. Di ekskul radio, dia bertemu Brenda yang juga sama-sama suka dunia penyiaran radio.

Semenjak SMA Renatha tidak pernah lagi mendengar kabar Brenda. Teman-temannya bilang Brenda ke luar negeri melanjutkan sekolahnya untuk kemudian meneruskan usaha orang tuanya.

Flashback on

Suara gemuruh dari perutnya tak bisa lagi ditahan. Tenaganya habis setelah puas menangis di taman itu. Dengan kekuatan mata 5 watt, Renatha akhirnya berhasil menemukan tukang nasi goreng.

Renatha membuka kaca mobilnya, "Bang, nasi gorengnya satu!"

Penjualnya mengangguk.

"Bang, pesen satu ya. Pedes banget." Ucap perempuan lain yang baru datang.

"Siap neng."

Tak lama Renatha turun dari mobilnya. Dia memilih makan di luar ketimbang mobilnya bau.

Tapi tiba-tiba Renatha diam terpaku melihat siapa yang dia temui.

"Bren—da?"

Merasa dipanggil, perempuan itu menoleh dan mendapati Renatha yang menatapnya kaget.

"Renatha? Lo Renatha kan?"

Renatha dengan cepat memeluk sahabat lamanya itu, "Ya ampun Brenda gw kangen banget sama lo."

Brenda balas memeluk.

"Sama!! Gw juga kangen banget sama lo."

"Kok lo bisa di Jakarta?" Sambungnya.

"Panjang ceritanya, Bren."

⏱⏱⏱

Renatha telah menceritakan keadaannya, dari mulai dia dan Alfa pindah sekolah sampai berakhir seperti sekarang.

Untungnya Brenda menawarkan tempat untuk Renatha menginap. Jadi dia tidak perlu check-in hotel atau penginapan lainnya.

Brenda tinggal di sebuah apartment miliknya.

"Sini masuk, Tha."

"Bren, ini seriusan nggak kemewahan? Which is lo tinggal sendiri."

"Enggak lah. Toh gua beli ini pake duit tabungan gw sendiri."

"Tabungan lo sebanyak ini?" Tanya Renatha dengan ekspresi melongo.

"Ya lo kan tau bokap nyokap gw kalo ngasih duit jajan waktu SMP dulu kaya apa. Duit itu gw tabung."

Brenda memang salah satu murid terkaya dulu di SMP karena orang tuanya memiliki usaha yang tersebar di berbagai negara. Jadi tak heran kalau orang tuanya selalu memberi Brenda uang lebih.

"Nggak kerasa 3 tahun nabung udah segini aja. Gw juga jual mobil terus ganti mobil yang lebih murah buat nambahin beli apart ini. Gw juga kerja buat biaya makan dan sekolah gw." sambungnya panjang lebar.

Renatha berdecak kagum. Meskipun hidupnya sangat terjamin tapi Brenda justru memilih jalan lain. Setelah lulus SMP dia memutuskan ingin menjadi pribadi yang lebih mandiri dan bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Sehingga nanti dia benar-benar layak saat meneruskan usaha orang tuanya.

"Oh iya, pas banget nih. Lo mau nggak gabung sama gw? kebetulan partner gw buat nyiarin keluar, gajinya bulanan dan lumayan juga. Lo cuma kerja tiap sabtu dan minggu doang kok. Lumayan buat tambahan."

Tanpa berpikir lagi Renatha langsung menerima tawaran itu.

"Bren.. Thanks banget ya."

"Iya santai aja. anggap rumah lo sendiri, ok?"

Flashback off

Jarak dari apartment ke tempatnya bekerja hanya sekitar 10 menit. Disana Renatha serta Brenda adalah yang termuda diantara penyiar lainnya.

"Kamu Renatha ya?" tanya Mbak Inggit selaku seniornya.

"Iya Mbak."

"Oh iya Mbak, Brenda hari ini izin, mamahnya sakit." Sambung Renatha.

"Iya, tadi dia udah kasih tau. Karena ini perdana kamu, jadi nanti aku gantiin Brenda dulu ya."

"Siap, Mbak."

⏱⏱⏱

Mika dan pengurus inti OSIS saat ini sedang mengadakan rapat rutin yang dilakuin setiap minggunya untuk mengevaluasi program-program yang mereka jalankan.

"Jadi untuk program Jum'at bersih khususnya bersih jasmani harus lebih dipantau lagi karena kalian tau sendiri jum'at lalu seperti apa. Jangan sampe itu keulang lagi. Dan segera dibuat daftar penanggung jawabnya." Ucap Mika memimpin jalannya rapat.

"Saya kira ini sudah cukup jelas. Jadi rapat ini kita akhiri di sini. Terimakasih semuanya."

Masing-masing pengurus saling berjabat tangan dan meninggalkan ruangan itu. Kini tersisa Mika, Nando, dan Gilang.

"Mik, tumben lo sekarang udah jarang main sama kita." Tanya Nando yang masih menatap layar laptop di hadapannya.

"Tau nih. Pingkan juga nanyain lo terus. Katanya kapan lo jengukin dia lagi?" Kini Gilang yang berbicara.

Mika menutup laptopnya.

"Nyokap gua sakit lagi."

Gilang dan Nando langsung menatap Mika.

"Bokap lo masih sama perempuan itu?" Tanya Nando hati-hati.

Kini Mika bersandar pada kursi yang didudukinya.

"Kalopun dia mau balik ke nyokap, gw nggak bakal biarin. Udah cukup dia nyakitin nyokap gw." Ucap Mika dingin.

"gw cabut duluan, ya. Lang, salam buat Pingkan."

Nando serta Gilang menatap kepergian Mika. Mereka tau Mika sangat sensitif jika membahas keluarganya.

Saat Mika keluar ruangan osis, tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sekelompok anggota dance yang sedang ekskul.

"Itu Kak Mika kan?"

"Eh iya tuh. Ya ampun ganteng banget."

"Eh, eh, tau nggak si lo, waktu malem kapan tuh, gw liat Kak Mika di taman depan toko buku Gramedia yang deket rumah gw."

"Emang iya? Terus terus?"

"Iya. Dia lagi berduaan sama cewek gitu."

"Kak Vivi kali tuh."

"Bukan, kok. Kak Vivi mah rambutnya kan sebahu. Kalo cewek itu panjang rambutnya."

"Serius lo? Jadi Kak Mika udah punya pacar?
Padahal katanya Kak Vivi tuh udah ngejar dari kelas 10 tau. Tapi sama Kak Mika nggak digubris."

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Vivi yang sedari tadi menguping amarahnya langsung membara.

3600 Detik Bersama MikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang