detik ke 12 : alfa berubah

161 23 0
                                    

"Hallo?" Sahut Brenda dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

"...."

Brenda langsung terduduk dari posisi tidurnya, wajah berubah pucat. Entah apa yang orang di seberang sana katakan, tapi sepertinya itu sangat penting.

Dengan berurai air mata, Brenda mencoba menguatkan dirinya, "hari ini saya berangkat ke sana. Terimakasih Dok informasinya."

⏱⏱⏱

Baju, celana, serta barang-barang berharga telah dimasukkan ke dalam koper besar berwarna putih. Celana pensil dengan atasan kaos sangat cocok jika dipadukan dengan cardingan panjang. Ditambah rambutnya yang dicepol acak.

Brenda menatap ruangan di sekelilingnya. Sampai matanya tertuju pada bingkai foto di atas nakas. Foto itu adalah foto terakhir dengan ayahnya.

Menjadi anak yatim bukanlah keinginan Brenda. Langit telah membawa ayahnya pergi untuk selama-lamanya. Saat ingin pulang ke kampung halaman setelah bekerja cukup lama di negeri orang, pesawat yang ayahnya tumpangi mendadak hilang. Dua hari kemudian di temukan bangkai pesawatnya. Pihak penerbangan bilang kalau semua penumpangnya meninggal dunia, tak terkecuali ayahnya Brenda.

Itu menjadi pukulan telak bagi ibunya dan juga Brenda. Sejak saat itu Ibunya menjadi sakit-sakittan. Brenda sangat sedih apalagi saat mengetahui ibunya mengidap kanker otak. Untungnya uang dan aset berharga peninggalan ayahnya cukup untuk membiatain pengobatan ibunya serta menunjang hidup ibunya.

"Bren! Gua cabut dulu ya." Teriak Renatha.

Tidak ada yang menjawab.

"Brenda? Where are you?"

"Here!"

Renatha mendengar suara itu dari arah kamarnya Brenda.

"Gua ca--"

"Loh.. Loh.. Lo mau kemana, Bren?"

Merasa ada yang aneh dengan tampilan Brenda, Renatha jadi tertawa sendiri.

"Ada acara apaan di sekolah lo sampe bawaan lo sekoper gede gini?"

Brenda memeluk Renatha sambil terisak.

"Tha, gw nggak bisa di sini bareng lo lagi." Masih sambil memeluk, "Ga harus pulang ke rumah nyokap, Tha."

Renatha mengurai pelukan Brenda.

"Lo kalo bercanda dari dulu nggak pernah lucu ya Bren. Garing mulu."

Brenda menyeka air matanya. "Gw serius, Tha. Nyokap gw barusan masuk rumah sakit. Kankernya udah parah. Gw nggak tenang kalo nggak di samping nyokap gw."

Kali ini Renatha baru percaya.

"serius lo Bren? Terus sekolah lo gimana? Kerja lo gimana? Apartement ini gimana? Gw gimana? kita kan baru aja ketemu."

Renatha tak punya siapa- siapa lagi untuk curhat terlebih dia tak ingin pulang ke rumah orang tuanya. Sementara Alfa pun masih belum ditemukan. Hal itu menbuat Renatah benar-benar akan merasa sendiri kalau Brenda pergi.

"Bren... Gw sedih banget."

"Besok gw urus soal kepindahan sekolah gw dan terpaksa gw harus resign jadi penyiar. Nyokap segalanya buat gw, Tha. Lo tau itu kan?"

Renatha memanyunkan bibirnya ke bawah seakan memberi tanda kalau dia sangat sedih.

"Apartement ini biar lo yang pake. Nanti kalo libur sekolah gw pasti ke sini kok. Nanti kalo nyokap udah baikkan gw juga bakal ajak dia kesini." Ucap Brenda sambil tersenyum.

3600 Detik Bersama MikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang