detik ke 19 : perpustakaan, mika, dan keluarga

148 13 1
                                    

"Ini tempat apaan, Mik?" Tanya Renatha sambil memperhatikan bangunan tua yang berdiri di depannya.

Bangunan itu tampak sederhana mengingat sekitarnya sudah berdiri bangunan-bangunan pencakar langit. Cat abu-abu melapisi dinding yang sudah tak kokoh lagi. Bahkan tulisan 'selamat datang' kini tak terpasang sempurna dengan salah satu rantainya yang putus. Namun uniknya bangunan ini mempunyai halaman yang luas dengan rumput yang juga hijau. Bunga warna-warni menghiasi pelataran bangunan tua tersebut.

"Mau masuk?" Tawar Mika setelah memarkirkan motornya di halaman bangunan itu.

"Boleh." Timpal Renatha yang dibuat penasaran sejak tadi.

"Ini perpustakaan." Ucap Mika mengawalai seperti tour guide.

"..Dulu waktu gw kecil, gw hampir setiap hari ke sini buat baca apapun yang bisa gua baca. Dari majalah, dongeng, komik, bahkan buku-buku pelajaran." Sambung Mika mengenang masa lalunya.

Renatha hanya mengangguk sambil memperhatikan buku-buku lama yang tersusun rapih di rak.

"Saking seringnya, bokap gua mutusin buat beli perpustakaan ini. Dia ngerubah tempat ini kaya rumah gw sendiri. Gua, nyokap, bokap, kita bertiga dekor ulang semuanya. Kita bikin jadi senyaman mungkin. Saat itu gw ngerasa gw adalah orang yang paling bahagia di dunia."

Renatha masih mendengarkan, namun kini dia beralih ke sebuah buku lama yang menarik perhatiannya.

Mika menghela napas kasar.

"Sampe akhirnya.."

"Kenapa?" Tanya Renatha saat Mika tak menuntaskan ceritanya.

"Kita lanjutin di halaman belakang, ya?" Ajak Mika.

Renatha mengembalikan buku yang tadi sempat menarik perhatiannya ke tempat semula.

Dia mengikuti ke arah mana Mika berjalan. Sampai tiba di halaman belakang yang sangat indah. Bangunan ini tak bisa ditebak. Dari luar mungkin terlihat tak terurus, namun jauh di dalamnya bangunan ini mempunyai halaman yang membuat siapapun berkunjung tak akan mau pulang.

Halamannya hijau, jika melihat ke kanan maka akan terlihat danau buatan yang dua pertiga airnya ditutupi tanaman eceng gondok. tak jauh dari situ ada sepasang kursi dan sebuah meja berwarna putih. Di sebelah kiri kita bisa melihat taman kecil yang nampaknya sengaja di buat. Oh iya! Jangan lupakan sesuatu, di sana ada tiga ekor kelinci putih yang sangat lucu. Halaman ini terlihat simple tapi Mika berhasil membuatnya menjadi sangat indah.

"Masih ada aja ya tempat sebagus ini di tengah-tengah kota yang udah jarang mikirin lahan hijau." Ucap Renatha yang terkagum-kagum.

Renatha mengingat sesuatu.

"Eh, katanya mau lanjut cerita?"

Mika duduk di bangku taman warna putih yang disusul Renatha.

"Sampe akhirnya nyokap gw jatuh sakit dan harus di bawa ke luar negeri. Waktu itu bokap gua udah abis-abissan buat biayain nyokap gua. Akhirnya dia mutusin buat jual tempat ini," Mika berucap dengan sangat tegar.

"Terus lo mau tempat ini dijual?"

Mika menggeleng pelan. "Nggak. Awalnya gua nolak. Gua sempet berantem. Tapi gua inget ini buat nyokap, jadi gua ikhlasin di jual.."

"Akhirnya ada perempuan yang mau beli perpustakaan ini. Katanya dia itu temen bokap gua waktu kuliah. Gua nggak tau gimana mereka bisa deal beli tempat ini, yang pasti mereka tukeran kartu nama. Semenjak itu gua nggak pernah ke sini karna gua pikir tempat ini udah di jual."

Renatha tak berniat untuk memotong, tapi dia terlalu terhanyut cerita sampai dia penasaran. "Lah bukannya emang udah dijual?"

Ketegaran Mika mulai pudar, Renatha bisa melihat itu dari tatapan Mika yang mulai sendu.

"Iya, awalnya gua juga ngira gitu. Terus gua izin sama bokap gua buat nginep di rumah Nando. Tapi ternyata Nando ada acara keluarga. Akhirnya gua pulang lagi. Dari situ semuanya berawal, Tha."

Flashback on

"Ini mobil siapa? Apa jangan-jangan Mamah udah pulang?" Tanya Mika dalam hati.

Ia terlalu senang dengan harapan yang dia buat sendiri. Lantas Mika dengan buru-buru ke kamar orangtuanya.

Saat dia memutar gagang pintu, tiba-tiba dia melihat perempuan itu lagi. Perempuan yang ingin membeli perpustakaannya. Tapi dia melihat bukan di perpustakaan, melainkan di atas ranjang. Dengan manja perempuan itu asik menggerayangi tubuh Ayahnya.

"Brengsek! Dasar pelacur!" Cerca Mika yang sudah kalap.

Melihat kehadiran Mika, mereka buru-buru memakai pakaian yang sudah di buang ke segala sisi kamar.

"Mika!" Tegur papahnya sambil menampar Mika dengan sangat keras.

Mika mengusap kasar darah yang mengalir di sudut bibirnya.

"Harusnya aku, Pah, yang nampar Papah! Harusnya aku!!" Ucap Mika dengan nada berapi-api.

"Mas, kayanya aku pulang aja." Ucap Dian, perempuan yang kini Mika benci.

"Bagus! Emang harusnya Tante gak ada di sini!" Sahut Mika.

Setelah melihat Mika yang sudah dikuasai emosi, Dian langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

"Papah boleh tidur sama perempuan manapun! Asal nggak di kamar ini! Papah mikirin perasaan Mamah nggak si?!"

"Mika, Papah minta maaf. Papah ngelakuin ini juga buat Mamah kamu. Tante Dian mau biayain perobatan Mamah kamu." Jelas Papahnya.

"Asal Papah mau tidur sama dia?! Pah, aku bisa kerja cari uang buat biaya Mamah. Tapi bukan kaya gini. Aku nggak ikhlas Mamah sembuh dari duit Tante itu!"

Emosi Mika kini berubah menjadi tangisan kecil. Mika bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Mamahnya.

Flashback off

"Mik.." ucap Renatha haru sambil mengelus lembut tangan Mika.

Mika menatap Renatha dengan berkaca-kaca. "Akhirnya Mamah gua sembuh, Tha. Tapi bokap gua sampe sekarang masih juga berhubungan sama Tante Dian."

"Tempat ini yang dijual gimana?"

"Ternyata Tante Dian nggak jadi beli tempat ini. Dia cuma nyari kesempatan buat deket sama bokap gua doang. Jujur gua sakit banget. Dulu gua ngerasa jadi orang paling bahagia di dunia. Tapi sekarang gua jadi orang paling-paling menyedihkan di dunia. Gua nggak tau kenapa Tuhan bisa secepat itu jungkir balikin kehidupan gua."

"Nyokap lo tau kalo bokap lo selingkuh?"

Mika menarik napas dalam-dalam. "Nyokap gua udah tau dari pas dia di rawat. Bokap gua yang ngasih tau. Nyokap gua cuma bisa pasrah, Tha. Kalo gua tanya, nyokap gua selalu bilang 'Mamah berhutang nyawa sama Tante Dian' Padahal gua tau nyokap gua sebenernya nggak ikhlas. Dia juga pasti sama kaya gua, hancur."

Tiba-tiba datang perempuan yang kira-kira berumur enam puluhan. Renatha langsung melepas tangannya dari genggaman Mika. "Den Mika sama Nonnya mau minum apa?" Tanya Bi Lastri sopan.

"Ini Bi Lastri. Dia yang ngerawat tempat ini." Jelas Mika memperkenalkan.

Renatha tersenyum ramah, begitu juga Bi Lastri. "Gak usah, Bi, makasih. Abis ini mau langsung pulang kok."

Mendengar penolakan dari Renatha, Bi Lastri pamit mengurus pekerjaannya yang lain.

"Lo mau pulang sekarang? Gua anter ya?"

Renatha mengangguk mengiyakan. Berat sekali meninggalkan tempat itu, rasanya sudah seperti rumah sendiri. Mungkin kapan-kapan dia akan kembali untuk merubah tempat itu, mungkin.

==========
A/n
23.36 WIB

Lumayan 1056 words untuk chapter ini hehehe enjoy!! Tungguin next chapternya ya.

Kiss,
M.

3600 Detik Bersama MikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang