1 - Bimasakti

139 15 0
                                    

"Bangun, dasar pemalas!" teriak seorang anak laki-laki pada Intan.

Belum sempat berkata apa-apa, sesuatu terjatuh mengenai muka Intan. Seketika Intan bangun karena terkejut, lalu mulai marah,

"Kau ini apa-apaan, sih? Sakit, tahu," ujarnya kesal sambil menggosok-gosok mukanya yang kesakitan. Namun, anak lelaki itu malah tertawa, seolah dia tak peduli dengan rasa sakit yang ia rasakan.

Intan mengambil bantal kecil yang terkapar tepat di dekat kakinya, lalu melemparnya ke arah anak itu. Bukannya mengenai anak itu, bantal itu malah membuat suara gaduh karena mengenai lantai kayu. Masih belum puas, Intan mengejar anak itu sekeliling ruangan sambil berulang kali mengayunkan bantal kecil ke arahnya. Keadaan menjadi tambah gaduh.

Seketika seorang perempuan paruh baya berteriak kesal dari bawah, "Intan, Lintang, jangan berlarian! Nanti roboh!" Itu adalah suara ibu Intan, yang sedang menyiapkan makanan untuk pesta kecil-kecilan.

"Tuh, 'kan, dimarahi," ujar Lintang kesal.

"Loh, 'kan kamu yang buat masalah duluan," jawab Intan, lalu menjulurkan lidah ke arahnya. "Wek!"

"Iya, maaf deh, maaf." Lintang beranjak dari tempatnya, menuju rak buku di bagian tepi ruangan.

Intan duduk dan mengamati sekeliling. Rumah itu terletak di atas pohon, setinggi 3 meter dari bawah. Rumah-- atau lebih tepat disebut ruangan--itu terbuat dari kayu, luasnya sekitar 3 x 4 meter persegi. Ukuran yang sangat luas untuk ukuran rumah pohon. Di dalam rumah itu terdapat rak buku kecil untuk menaruh buku-buku bacaan, karpet ukuran sedang bermotif kotak-kotak kecil, dan bantal-bantal kecil seukuran 30 x 30 cm yang berserakan di setiap sudut rumah itu.

Lintang menjatuhkan beberapa buku di hadapan Intan. Intan melihat buku-buku itu sepintas, lantas menghela nafas kesal.

"Buku pelajaran lagi? Untuk apa kau menunjukkannya padaku? Kau tahu sendiri, 'kan, aku tidak suka belajar," ujarnya, lalu beranjak pergi dari tempat itu.

Lintang menarik tanganku. "Ayolah, kau baca dulu. Ini tidak membosankan seperti yang kau kira," bujuknya.

Intan menghela nafas pasrah, menuruti apa kata lelaki itu. Ia lalu membuka salah satu buku, lalu menunjukkan gambar langit malam yang ada disitu.

"Lihatlah," katanya. "Inilah galaksi yang kita tinggali sekarang. Galaksi Bimasakti, atau yang lebih keren lagi, Milky Way Galaxy."

Gadis berkuncir kuda itu melihat gambar itu dengan malas. Namun, seketika matanya terbelalak. Ia kagum. Ia yang biasanya bosan melihat gambar anatomi hewan, gedung-gedung bersejarah, maupun gambar percobaan Fisika, kini ia tampak bahagia melihatnya. Rasanya nyaman, dan menenangkan.

Ia tak menghiraukan Lintang yang terus berceramah tanpa henti. Ia hanya mengusap gambar itu perlahan, seolah merasakan bahwa ia melihat langsung Milky Way itu. Dia terjatuh dalam bayangan bahwa dia sedang menari-nari di puncak gunung di bawah Milky Way.

"Cantik sekali, ya," ujar Intan dengan lembut. Seketika ia tersadar, dan langsung berdiri, menatap mata anak laki-laki berkacamata di hadapannya.

"Kau jahat sekali, Lintang! Benda sebagus ini, mengapa tak pernah kau tunjukkan padaku?" Intan berteriak, kesal dengan sikap Lintang.

"Lho, kenapa jadi aku yang disalahkan? Bukannya kau sendiri yang memang nggak suka yang namanya pelajaran?" elak Lintang. "Yah, jujur saja, sebenarnya aku sudah tahu lama tentang ini. Aku ingin memberitahukannya padamu, tapi aku berpikir ulang, karena kupikir kau tidak akan suka."

Intan terpaku. Dia tak bisa berkata apapun lagi. Seolah dia membenarkan apa kata sahabat karibnya itu.

"Aku bawa pulang, ya," katanya sembari mengambil buku itu dari lantai. "Pasti kukembalikan, tenang saja!"

Intan segera berlari keluar, menuruni anak tangga kayu yang tertancap di dahan pohon. Lintang menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu.

To be continued...

[MINS#2] Bintang Terakhir ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang