Pagi itu, suasana kelas ramai sekali. Anak-anak laki-laki berlarian sambil melempar gumpalan kertas, kapur, ataupun papan tulis, sedangkan anak-anak perempuan asyik membentuk beberapa kelompok, saling bercerita tentang bagaimana idolanya tampil di depan panggung malam tadi, atau tentang update lagu Korea terbaru.
Lintang dan Intan yang baru sampai di ujung pintu, terdiam sejenak melihat seisi ruang kelas yang seperti pasar, lalu memutuskan duduk di tempatnya masing-masing. Tak lama, Lintang dikerumuni beberapa anak, lalu mengobrol sekejap, dan seketika suasana bertambah gaduh karena mereka sadar belum mengerjakan tugas dari guru mereka.
Bel berbunyi. Semua anak bergegas duduk ke bangku masing-masing. Intan yang sedari tadi iseng menggambari halaman belakang bukunya, akhirnya menutup bukunya dan merapikannya di meja. Doa selesai, lalu sang guru memulai pidato rutin nya tentang tugas yang telah diberikan.
Hari ini, Intan tampak beda dari biasanya. Biasanya, saat pelajaran dimulai, dia langsung memasang wajah malas--kecuali saat pelajaran seni. Dia akan langsung mengambil buku dan pensil, lalu memulai menggambari bukunya dengan hiasan-hiasan abstrak atau gambar alam. Tetapi, hari ini, dia begitu antusias mengikuti pelajaran. Dia memegang erat lembar tugas berisi uraian singkat tentang mimpi-mimpinya.
"Tan, serius banget, sih. Tumben," celetuk teman sebangkunya sembari menyenggol siku tangannya.
"Lho, memang aku pernah tidak serius?" candanya sambil tersenyum kecil.
Satu persatu siswa mulai dipanggil untuk menceritakan apa yang mereka impikan, sesuai yang tertulis di lembar tugas mereka. Mereka yang lupa mengerjakan tugas, berpikir keras mencari alasan jika hari ini ditunjuk untuk maju ke depan, atau berdoa dalam hati, berharap agar mereka tidak dipanggil hari ini.
"Intan, silahkan maju," panggil sang guru dari meja depan.
Dengan langkah pasti, ia melangkah ke depan. Lintang menahan tawa melihat tingkah laku Intan yang agak aneh, termasuk teman-teman kelasnya. Intan memberikan lembar tugasnya pada sang guru, lalu merapikan rok birunya, bersiap untuk cerita.
"Pagi teman-teman. Hari ini aku akan menceritakan apa mimpiku di masa depan," ujar Intan, membuka ceritanya.
"Aku punya satu impian yang mungkin kalian anggap aneh bagiku. Percaya atau tidak, mimpiku adalah, aku ingin bergabung di NASA."
Seketika kelas menjadi gaduh. Seisi kelas--kecuali sang guru yang sibuk mengamati penampilan Intan--merasa tak percaya apa yang Intan katakan. Mereka mungkin telah terlanjur menganggap Intan sebagai sosok pemalas, tukang tidur, dan kerjaannya hanya menggambari buku tulisnya.
"Tan, gak salah ngomong, tuh?" tukas salah satu anak di bangku belakang.
"Yakin, Tan, mau gabung di NASA? Emang bisa?" ujar yang lainnya.
"Jangan-jangan, tugasmu tertukar dengan punya Lintang."
"Atau mungkin, Lintang yang mengerjakan punya Intan, soalnya Intan udah buntu, nggak bisa mikir ide buat tugas."
"Gila bener, dah! Aku saja yang mungkin lebih rajin darimu, nggak berani buat mimpi kayak gitu. Lah kamu?"
Telinga Intan merasa panas mendengar ocehan teman-temannya yang dirasa menganggap remeh mimpinya. Mulanya ia mencoba sabar, terlebih Lintang memberi isyarat agar Intan tetap tenang. Namun, sepertinya rasa sabarnya tak bisa ditahan lagi. Ia memuncak, dan berteriak,
"Diam kalian! Jangan meremehkan apa yang aku bicarakan," ujarnya marah. "Aku punya alasan tersendiri, mengapa aku ingin bergabung di NASA."
"Coba jelaskan!" perintah salah seorang anak di depannya, dengan nada menantang.
"Beberapa hari yang lalu, aku membaca buku tentang ilmu astronomi," jelasnya. "Kalian memang benar, aku memang tak begitu suka pelajaran kecuali seni. Namun, setelah melihat gambar galaksi Bimasakti di buku itu, aku berubah pikiran. Bagiku, itu adalah seni yang paling indah yang pernah aku lihat. Begitu sempurna susunannya, bagai diagram pencar yang menggambarkan sebuah garis lengkung. Aku takjub sekaligus menyesal, takjub akan ciptaan-Nya, dan menyesal karena aku baru tahu pemandangan secantik itu. Hingga akhirnya, aku berniat mempelajari ilmu astronomi dan bergabung di NASA, agar bisa terus menikmati indahnya ciptaan Tuhan."
Teman-temannya yang tadi merendahkannya, sekarang membisu. Membeku bagaikan es di kutub utara. Beberapa di antara mereka menganga, tak menyangka bahwa Intan memiliki alasan sekuat dan sebagus itu. Yang lainnya memandang Intan dengan sinis, sibuk mencari-cari alasan agar Intan dipandang remeh oleh yang lain.
"Ya sudah, kamu boleh duduk," ujar sang guru.
Intan melangkah menuju tempat duduknya. Lintang menoleh ke arahnya, memberi acungan jempol padanya. Intan tersenyum. Dia bahagia, meskipun teman-temannya meremehkan dia, namun dia masih punya Lintang, sahabatnya yang senantiasa mendukung apapun yang ia inginkan selama itu masih di jalan yang direstui-Nya.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
[MINS#2] Bintang Terakhir ✔
Short Story[COMPLETED | DAFTAR PENDEK WATTYS 2018] (Memories In Nature Series) Tentang indahnya persahabatan dan mimpi-mimpi yang mengikutinya. Copyright © 2018 by ayundaauras