5 - Mengapa?

61 9 0
                                    

Sang surya melaksanakan tugasnya seperti biasa, memberi isyarat kepada semua makhluk di bumi untuk beranjak dari zona nyaman mereka. Memaksa mereka untuk membuat sebuah kontribusi bagi bumi. Bagi mayoritas orang, ini adalah hal yang biasa. Namun, bagi Intan, segala hal yang terjadi sejak hari itu adalah hal yang spesial. Dia tersenyum bahagia, mengingat memori hari itu beberapa waktu silam. Ingatan tentang hari itu, setiap langkahnya, setiap senyumnya, hal yang terjadi setiap detiknya seolah tak akan hilang dari ingatan Intan.

Ia menyambar handphone di sampingnya, berharap seseorang mengiriminya sebuah pesan singkat berisi ucapan selamat pagi seperti biasanya. Tidak ada pemberitahuan. Itulah yang tertulis di layar handphone nya saat ini. Dia heran, tidak seperti biasanya Lintang seperti ini. Seharusnya dia sudah mengirim pesan singkat beberapa saat lalu. Intan berusaha berpikir positif, mungkin jaringannya sedang gangguan.

Dia masih sabar menunggu. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Hingga sepuluh menit kemudian, tidak ada perubahan sama sekali. Tulisan di layar handphone nya masih sama. Sekali lagi, ia berpikir, "Mungkin dia tidak ada pulsa."

Dia menghela nafasnya, membiarkan handphone nya terjatuh di atas kasur. Dia memilih untuk meninggalkannya sejenak, berharap dia lupa soal itu, lalu saat ia kembali, ia akan dikejutkan dengan pemberitahuan masuknya pesan singkat itu.

Agaknya sudah dua jam lebih ia membiarkan benda canggih itu terkapar di atas kasur. Intan kembali dengan mata berbinar-binar, menunjukkan harapan yang sama. Dia mengambilnya, lalu mengusap layarnya dengan jempol kecilnya. Seketika, dia menjatuhkan dirinya di atas kasur, kembali mencampakkan benda yang baru saja dipegangnya. Dia kesal sekaligus sedih. Dia tak percaya Lintang melupakannya hari ini.

"Kalau memang dia nggak ada pulsa, biar aku saja yang telepon," ujarnya sambil menyentuh tombol angka di layar handphone, membuat deretan 12 digit angka sesuai nomor telepon Lintang. Dia mendekatkan handphone-nya ke telinganya, menanti sebuah jawaban. Dia mendapatkannya, namun bukan dari Lintang, melainkan dari seorang wanita yang memberitahunya bahwa nomor Lintang sedang tidak aktif. Dia mencoba menghubungi lelaki itu lagi, lebih dari 20 kali, namun yang menjawab masih sama: wanita itu.

Intan mengumpat dalam hati. Dia marah pada Lintang. Bisa-bisanya dia melupakan sahabatnya sendiri. Jika ia bisa menemui Lintang, ia akan menemuinya, dan memakinya sepuas hati. Namun, faktanya, mereka berdua sudah lulus, sehingga peluang mereka bertemu lagi di sekolah sangat kecil. Mau menemui Lintang di rumahnya pun dia tak sanggup, terlalu jauh.

Jadilah ia membenamkan mukanya di atas spring bed miliknya. Sesaat, kasur itu mulai basah. Dia sudah terlanjur terkubur oleh emosi. Namun, dia tidak bisa marah, dia hanya bisa menangis dalam diam. Tangannya menggenggam erat bantal di kanan dan kirinya, lalu melemparnya ke arah pintu hingga tertutup dengan suara keras.

Dia tahu, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia tak pernah sampai seperti ini. Intan menutup matanya, menarik nafas panjang, lantas berpikir, "Lintang, kamu kenapa? Mengapa nggak menghubungiku? Kau membenciku?"

Tanpa sadar, dia tertidur karena kelelahan menangis.

To be continued...

[MINS#2] Bintang Terakhir ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang