7 - Suka dan Duka

57 10 0
                                    

Dua hari berlalu. Intan memegang handphone-nya erat. Sesekali, ia mengayunkannya untuk membuatnya melupakan rasa risaunya. Seperti yang dijanjikan, hari ini adalah hari pengumuman masuk universitas. Hari dimana masa depannya ditentukan--walau tidak sepenuhnya benar. Ditambah, Intan tak bisa menghubungi Lintang sejak setelah ia meneleponnya dua hari yang lalu.

Jam di dinding menunjukkan pukul 12 tepat. Artinya, satu jam lagi ia akan tahu semuanya. Dia sudah duduk rapi di sofa ruang tamunya, memegang handphone di tangan kanannya dan kartu tanda peserta jalur masuk universitas di tangan kirinya. Ibunya yang sedang menyapu melihat Intan dengan heran. Tidak biasanya putrinya serisau ini.

"Intan, ada apa? Kelihatannya kamu risau sekali," tanya ibunya.

"Ah, ibu, masa ibu lupa? Hari ini pengumuman masuk universitas. Jelas saja aku risau."

"Jadi hari ini?! Jam berapa diumumkan?" ujar ibu kaget.

"Masih satu jam lagi, sih, tapi aku gugup sekali. Intan takut, kalau gagal, aku kuliah dimana nanti?"

"Jalur untuk kuliah kan tidak cuma satu. Ada banyak. Kalau gagal, kamu harus terima. Ibu tidak akan marah. Nanti ibu bantu mengurus pendaftaran yang lainnya kalau yang ini gagal."

Nasihat ibu ada benarnya juga, namun Intan masih saja tidak bisa tenang. Dia merebahkan tubuhnya di sofa, sesaat bangun lagi, lalu tidur lagi, begitu seterusnya. Sesekali ia berjalan mondar-mandir sekeliling ruang tamu, lalu duduk lagi. Setiap calon mahasiswa baru pasti merasakan yang ia rasakan. Gugup, resah, gelisah, dan sebagainya bercampur menjadi satu. Tak ada bedanya dengan permen nano-nano yang orang bilang rame-rame rasanya.

Satu menit lagi. Jantungnya semakin berdegup kencang. Perlahan, dia membuka situs tempat pengumuman itu ditampilkan. Satu persatu dia mengisi kolom yang terpampang di situs itu. Jam 1 tepat, dia mulai menampilkan pengumumannya. Seketika ia meloncat kegirangan, menghebohkan seisi rumah kecil yang ia huni. Ia lolos seleksi, dan resmi diterima di fakultas tujuannya.

Seketika ia mengucap syukur kepada Tuhan. Dia tak menyangka akan datangnya keajaiban di hadapannya. Namun, sesaat dia termenung. Dia bertanya-tanya, apa kabar Lintang? Apakah ia mendapatkan keajaiban yang sama seperti yang ia dapatkan saat ini?

Matanya melirik ke arah meja, ada satu lembar kertas terselip di bawah buku bacaan di meja. Dia mengambilnya dan membacanya.

Kartu tanda peserta jalur masuk universitas milik Lintang.

Terburu-buru dia menyambar handphone-nya, mengisi kolom-kolom di situs itu seperti sebelumnya.

Untuk kedua kalinya, ia mengucap syukur kepada Tuhan. Intan sangat bahagia. Dua sahabat karib itu tak perlu lagi berpisah, karena Lintang diterima di fakultas yang sama dengan Intan. Lantas, Intan mencoba menelepon Lintang, memberi tahu kabar bahagia ini.

Sedihnya, ia tak mendapati suara Lintang di seberang sana. Ia malah mendapati suara seorang wanita--untuk kesekian kalinya--mengabari bahwa nomor Lintang tidak aktif. Dia tak percaya. Kemarin nomornya tidak aktif selama 24 jam, dan sekarang pun masih sama. Dia risau sekaligus kesal, kemana perginya lelaki itu?

Dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Buru-buru dia mengambil helm dan pergi dengan sepeda motor yang terparkir di halaman rumahnya. Dia tak menghiraukan suara ibunya yang memanggilnya berkali-kali. Saat ini, dia hanya memikirkan satu hal. Lintang.

Untuk pertama kalinya, Intan menyetir dengan kecepatan tinggi, berharap ia masih mampu menjumpai Lintang sekali lagi. Jantungnya berdegup sangat kencang. Kondisinya saat ini tak ubahnya seperti seekor induk ayam yang kehilangan anaknya di waktu senja.

Intan tiba di rumah Lintang dengan selamat. Dia sudah tak memperdulikan rambut panjangnya yang acak-acakan. Dia melihat sekeliling rumah Lintang. Halaman rumahnya rapi, seperti biasa, namun jendela rumahnya tertutup oleh gorden. Awalnya, ia sempat mengurungkan niatnya karena ia berpikir bahwa rumah itu kosong saat ini. Namun, akhirnya tekadnya bulat juga. Perlahan, dia mengetuk pintu rumah itu.

Dugaan Intan salah. Seseorang membuka pintu itu dari dalam. Intan melihat sosok wanita paruh baya di hadapannya dengan memakai daster bermotif bunga. Wanita itu terkejut setelah melihat siapa tamu yang datang.

"Tante, Lintang ada? Saya ingin bertemu," ujar Intan perlahan.

"Lintang? Intan ingin bertemu Lintang?" jawab wanita itu dengan sendu.

"Iya, Lintang. Memangnya Lintang kemana?"

"Masuk dulu, nak. Tante ingin mengatakan sesuatu padamu."

Intan duduk di sofa ruang tamu dengan raut muka penuh tanya. Ia sempat berpikir apakah perkataannya tadi ada yang salah.

"Benar, kan, ini rumah Lintang? Aku sudah pernah kemari, harusnya aku tidak salah," gumamnya.

Wanita berambut pendek itu akhirnya membuka pembicaraan, "Intan apa belum dengar kabar dari Lintang?"

Intan semakin bingung. "Belum, memangnya kabar apa?"

Wanita itu menarik nafas panjang, lalu berkata, "Begini, nak. Sebenarnya, tante sudah memberitahu kabar Lintang kepada ibumu. Sebenarnya dia ingin langsung memberitahukannya padamu. Tapi mohon maaf, tante melarang ibumu memberitahukan kabar Lintang padamu. Dan sekarang, tante ingin menjelaskannya padamu."

"Jelaskan saja, tante. Memangnya ada apa?"

"Sebenarnya, kemarin pagi Lintang kecelakaan," terang wanita itu sambil menahan tangis. "Sepeda motornya menabrak truk di depannya, dan dia terpelanting jauh, nyaris masuk ke jurang. Dia sudah dilarikan ke rumah sakit, namun sayang, Tuhan berkehendak lain. Dia ... dia sudah meninggal, nak."

"APA?! LINTANG MENINGGAL?! Nggak, nggak mungkin, tante. Lintang nggak mungkin meninggalkan Intan, tante. Tante pasti bohong, kan?" jawab Intan histeris.

"Yang sabar, nak Intan. Kamu harus bisa mengikhlaskannya."

Intan terpaku. Air matanya mengalir sangat deras. Dia tak menyangka Lintang akan meninggalkannya secepat ini. Firasat buruknya benar-benar terjadi. Dia tak mampu berkata apapun lagi. Dengan kelimpungan, ia beranjak dari rumah itu.

To be continued...

[MINS#2] Bintang Terakhir ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang