Handphone Intan yang bergetar memaksa Intan untuk beranjak dari mimpi indahnya. Dia bangun dengan terkejut, lalu memperhatikan handphone-nya yang terus bergetar. Dia terkejut setelah melihat layar handphone yang menunjukkan bahwa sosok yang dari tadi ia tunggu, kini meneleponnya. Segera ia angkat telepon itu.
"Halo, Tan! Lagi apa?" Suara Lintang yang lembut memulai pembicaraan itu.
"Baru bangun tidur. Kemana aja sih, ditungguin dari tadi juga pesanmu. Kenapa nggak ngirim?" ujar Intan kesal.
"Maaf deh, handphone ku habis mati tadi, baru sempat nge-charge. Kangen, ya?"
"Ih, kangen katanya. Enak saja. Tapi ada benarnya, sih."
"Tuh, 'kan, benar apa kataku."
"Ah, bodo amat."
"Oh iya," ujar Lintang menimpali. "Dua hari lagi pengumuman penerimaan universitas ya. Kau siap?"
"Tentu saja, mengapa tidak?" jawab Intan dengan penuh semangat.
"Kita lihat dua hari lagi. Sudah dulu, ya, jangan rindu aku lagi," kata Lintang, lalu menutup teleponnya.
Intan mengusap air matanya perlahan. Rasa sedihnya telah terhapuskan oleh suara Lintang yang lembut itu. Seperti angin, meneduhkan.
Ia menatap keluar jendela, melihat langit malam itu. Malam itu berbeda, tak seperti biasanya. Tidak ada banyak bintang seperti biasanya. Lebih tepatnya, hanya satu bintang yang bersinar terang malam itu. Seketika ia tersenyum. Ya, Lintang senantiasa ada di sana, saat yang lain meninggalkannya. Bintang itu setia bertengger di sana, seperti Lintang yang selalu setia di sisinya.
Sementara itu, Lintang meletakkan handphone nya perlahan di meja kamarnya, lalu mengambil selembar foto bergaya polaroid yang ia tempelkan di mejanya. Dia merebahkan badannya di kasur, lalu mengelus foto itu perlahan.
"Intan, kuharap kau paham akan kata-kataku yang terakhir kalinya kuucapkan padamu di telepon. Aku merasa semuanya akan segera berakhir dalam hitungan hari. Terima kasih, Intan, sudah mengisi hari-hariku sejak aku kecil hingga saat ini. Aku harap, kau selalu bahagia. Melompatlah lebih tinggi, seperti yang biasa kau lakukan di rumah pohon itu. Sungguh, aku ingin bersamamu lebih lama lagi, tapi firasatku berkata lain," ujar Lintang perlahan.
Lalu, air mata perlahan mengalir dari mata lelaki delapan belas tahun itu. Itu adalah pertama kalinya Lintang menangis setelah sekian lama ia memikirkan Intan. Tak usah dijelaskan lagi, Lintang sangat menyayangi sahabatnya itu.
To be continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
[MINS#2] Bintang Terakhir ✔
Historia Corta[COMPLETED | DAFTAR PENDEK WATTYS 2018] (Memories In Nature Series) Tentang indahnya persahabatan dan mimpi-mimpi yang mengikutinya. Copyright © 2018 by ayundaauras