"ADEL, dengerin aku dulu!"
Sosok pemuda yang sudah lengkap dengan jaket dan helm harus rela menginterupsi kegiatannya karena gadis yang berstatus menjalin hubungan dengannya selama lima tahun itu marah hanya karena pemuda tersebut membuat gadis itu menunggu dan mencari.
Jadi seperti ini, awalnya Gava –Si Pemuda tersebut, mengajak Adel –kekasihnya ke restoran Jepang, berhubung dirinya baru dapat gaji hasil kerjanya sambil kuliah. Selalu ada kendala dalam perbuatan, itulah gambaran yang tepat untuk Gava. Tepat dua jam sebelum jadwal makan mereka, Gava ditelepon kawanan SMP-nya untuk reuni. Tanpa izin ke Adel lagi, Gava segera pergi meninggalkan kampus.
Sukseslah Adel marah tak kenal ampun.
"Aku minta maaf, Del. Tadi saking senengnya mau ketemu sama alumni. Lain kali nggak gini lagi, deh!" Gava menahan bahu Adel yang hendak kabur.
Hening menyusul. Masa bodoh Adel membungkam mulutnya, biar Gava sadar betapa sakitnya menunggu.
Mereka ada di perpustakaan, tempat yang sejak baru masuk kuliah menjadi tempat yang paling Adel sukai. Tempatnya sangat sepi, dan Adel mengutuk kenapa dia selalu masuk ke dalam perpustakaan sepi ini jika sedang sedih. Jadinya kan nggak bisa minta tolong kalau sedang kepepet gini.
"Dasar cowok! Lo nggak tahu gue nunggu berjam-jam, gue nyari lo dari sudut ke sudut. Tahu capeknya? Tahu sedihnya? Terus setelah lo sadar baru lo nyari gue ke sini? Bisa liat jam, nggak? Dari jam satu siang gue nungguin lo!"
18.35
Gava tak sanggup berkata-kata saking bacotnya –salah, maksudnya, saking panjangnya ocehan Adel. Sekarang Gava benar-benar yakin kalau Adel sedang PMS.
"Sayang, maaf. Gantinya besok jalan sepuas kamu, deh."
"Ngapain maafin lo? Nggak guna!"
Awalnya Adel mau kabur memanfaatkan kesempatan tangan Gava yang tak lagi di bahunya. Sayangnya dia tidak terlalu cepat dalam bertindak, membuat tangan kekar melingkar di perutnya lebih dulu. Sial, Adel sangat ingin merebus Gava di tempat secara hidup-hidup.
"Aku juga nggak bakal bisa maafin diri aku sendiri kalau kamu nggak maafin aku." Kata-kata itu terucap tepat di telinga kanan Adel, membuat tubuhnya merinding. Jarang sekali Gava melakukan hal tersebut. Dalam lima tahun berpacaran, bisa dihitung pakai jari berapa kali Gava melakukannya.
Untuk kondisi sekarang, hanya Tuhan yang tahu mengapa Adel memiliki ide untuk membuat Gava mengeluarkan sisi anehnya.
Adel membalikkan tubuhnya dan memandang manik Gava dengan jarak wajah mereka yang sangat dekat. Begini saja sudah membuat Gava merasa kikuk.
"Kalo mau dimaafin, cium kening gue dulu!" tantang Adel, antara serius dan bercanda.
Tangan Gava bergerak tak nyaman menggaruk tengkuknya mendapatkan kalimat menantang yang masuk ke indra pendengarannya, sedangkan Adel senantiasa menunggu sampai kekasihnya benar-benar menyaring apa yang diinginkan Adel.
Padahal seharusnya Gava bertingkah aneh dan menjadi terlihat bodoh seperti saat-saat dulu Adel menyuruhnya melakukan hal romantis. Tapi kali ini, seperti ada yang mengendalikan Gava, pemuda itu menarik kepala Adel dengan lembut dan hati-hati, kemudian mengecup kening kekasihnya dengan penuh kasih sayang.
Kecupan itu lama terjadi, sampai Adel menutup mata di sela kekagetannya yang tak kunjung berhenti. Hal ini mengingatkan Adel pada saat masa SMA, dimana Gava selalu menenangkannya ketika ia sedih. Setelah Gava melepas kecupannya, Adel justru berjinjit seolah tak mau bibir Gava lepas dari keningnya. Hal itu membuat Gava mengerutkan dahi, kemudian memasang seringaian. Oh tidak, sejak kapan Gava jadi begini?
"Mau lagi, ya?"
Sontak wajah Adel merona dan tangannya reflek memukul dada bidang Gava. Dengan cepat Gava menahan pergelangan tangan Adel, dan sama cepatnya mengecup kening Adel kembali.
"Mau pulang?" tanya Gava tanpa merasa bersalah dengan apa yang diperbuatnya. Seperti main acara televisi 'dunia terbalik', sekarang Gava yang menjadi beringas dan Adel yang akan kikuk menghadapi sikapnya. Padahal sebelum ini, Gava masih 'baik-baik' saja.
"A-ayo, pulang," ajak Adel sembari tangannya mencari jari-jari tangan Gava untuk ia genggam.
***
Adel dibuat bingung ketika mereka turun dari motor dan Gava tiba-tiba menatapnya lama. Jemari tangan Gava diselipkannya ke rambut bergelombang milik Adel dengan matanya yang terus fokus pada wajah Adel, seolah ia ingin terus mengingat wajah polos itu untuk selamanya.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Adel sambil tangannya memegang tangan Gava yang ada di rambutnya.
"Rasanya mau mati waktu sadar kalau ternyata aku ada janji sama kamu. Dan ketika ngeliat kamu ada di perpustakaan sepi itu, aku mau meluk kamu, tapi kamu-nya udah marah-marah duluan." Gava menyelipkan tawa renyah di antara kalimatnya. Mendengar pernyataan itu, Adel hanya bisa merapatkan dirinya pada Gava dan memeluk tubuh tegap tinggi khas kekasihnya.
"Jangan lupain janji aku, tiga tahun lagi kamu udah harus pake cincin nikah dari aku!" seru Gava berbisik. Adel mengangguk dalam kondisi hatinya yang tersentuh. Menurutnya, Gava orang yang romantis, namun sikap romantis adalah sikap alaminya. Tanpa dibuat-buat. Itulah yang menjadikannya bisa mencintai Gava dengan cepat dan bertahan pada hubungan mereka sampai sejauh ini.
Seolah waktu berjalan dengan sangat cepat, Adel kini sudah menatap motor Gava melaju meninggalkan rumahnya. Setelah mengangguk-anggukan kepala senang, Adel berbalik badan lalu masuk ke dalam rumah. Masih di rumah yang sama, dan keluarga yang sama, tak ada yang berubah.
Ah, ralat sedikit. Hanya satu yang berubah, tetangganya.
Sekarang tak ada lagi laki-laki ketua OSIS yang selalu muncul di seberang balkon rumahnya hanya untuk menjahili Adel. Tak ada lagi yang pacaran berdua di balkon.
Mengapa Adel masih memikirkan laki-laki itu? Adel harus yakin kalau dirinya sudah move on dari Daffa. Sambil memikirkan hal tersebut, Adel menaikki anak tangga dan tanpa sadar berhenti di balkon kamarnya.
Adel sangat tak menginginkan kenangan ini. Karena semuanya hanya akan membuat tangisan Adel pecah. Dirinya sudah berjanji untuk tidak mengupas kenangan tersebut sampai kapanpun, lalu mengapa sekarang? Mengapa Adel begitu sulit melepaskan rasa sakit yang terus menghampirinya ketika ia mengingat kenangan itu? Bukankah seharusnya kenangan yang buruk akan menjadi kenangan manis untuk diingat di masa depan?
Hening mengisi kehidupan Adel selama beberapa detik. Hingga ada suara pintu terbuka dari balkon di seberangnya. Tidak, Adel tidak mau lagi berhalusinasi.
"Kamu nggak papa?"
Cukup sudah, ingin rasanya ia berteriak. Separah itukah Adel merindukan mantan kekasihnya?
"Hei, saya nanya kamu yang ada di balkon. Kamu bukan kuntilanak, 'kan?"
Kali ini Adel mendongak dengan ekspresi kaget. Ia tidak berhalusinasi!
Bukan Daffa yang berdiri disana. Orang lain yang tak Adel ketahui. Wajahnya datar tak dapat didefinisikan, juga kaku. Sangat lain dengan Daffa. Apakah dia tetangga baru Adel?
"Sa-saya nggak papa, makasih," balas Adel salah tingkah sambil menunduk. Terdengar helaan napas yang jelas bukan dari Adel. Kemudian sebuah suara keluar kembali sebelum akhirnya suara pintu tertutup mengakhiri, "Saya baru di sini, salam kenal."
TBC
Hai! Sesuai kesepakatan, sequel FDTA publish di tahun baru. Seneng nggak tahun baru kalian ditemenin romantisnya #GavAdel?
Tenang, tenang. Kasih bocoran, nanti Daffa sama Reysa bakalan muncul kok. Daaann, ada cowok baru di cerita ini! Entah dia mempersulit atau mempermudah kejadian:v
So, gimana buat part pembukaannya?
Jangan lupa vote dan add reading list dan libraryFollow ig: @khalisahoktavia
Luv u all,
Khalisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose
Teen Fiction[Sequel of From Daffa to Adel] Tak ada tokoh jahat yang akan menang. Begitulah yang sering kita dengar dan memang benar kenyataannya. Yang kemudian si tokoh jahat akan meminta maaf atau kabur dari kenyataan. Tapi di cerita ini terbalik. Cerita yang...