Mata perempuan itu terbuka perlahan-lahan, mencoba meresapi apa yang telah terjadi sebelumnya. Dirinya berada di sebuah sofa dan sebuah tangan melingkar di di pundaknya lewat belakang, lalu membiarkan kepala si perempuan bersender pada pundak laki-laki.
"Gava?" panggilnya pelan.
Ah, Adel baru sadar ketika ia memandang sekelilingnya. Semua teman Gava ada disini, menginap, setelah acara ulang tahun Gava kemarin. Adel merasa bahwa sekarang, ia adalah orang yang pertama bangun. Toh, ini masih pukul lima pagi.
Adel menengokkan kepalanya ke sebelah kiri, dan ia mendapatkan figur Reysa yang tertidur di sofa juga. Sebenarnya Adel begitu membenci ketika memandang wajah yang terkesan murahan itu, namun otaknya tak bisa berhenti mengomentari.
'Dia nggak beda jauh dari Reysa yang dulu.'
Adel menghembuskan napasnya penuh rasa frustasi lalu melemparkan kepalanya pada pundak Gava sedikit bertenaga, yang anehnya Gava tak terusik sama sekali. Efek kelelahan, mungkin.
Lagi-lagi Adel menengokkan kepalanya melihat Reysa.
'Btw, Daffa dimana? Bukannya semalem dia tidur disini juga?'
Adel tak tahu mengapa seperti ada alasan tentang Daffa dibalik ia berdiri dan melangkah sekarang. Sekarang dirinya sudah seperti buronan yang mencoba melarikan diri, berjalan mengendap-endap melewati setiap orang yang tertidur.
Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, dimana hanya ruangan kosong dengan pintu terbuka yang ia lihat. Jika ia berjalan ke depan sana, halaman rumah Gava akan menyapanya. Dipikir-pikir kalau Daffa tak mungkin membuang waktunya di tempat itu, Adel membalikkan tubuh, hendak kembali ke sofanya dan tidur kembali—jika ia bisa.
"Hai."
Sebuah sapaan menghentikkan gerakannya membalikkan tubuh. Tidak, itu terkesan sangat datar untuk disebut sapaan.
Saat ini, Adel tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain mendongakkan kepalanya menatap sosok yang dulu sempat hadir. Sosoknya jauh lebih tinggi juga kulitnya lebih putih. Membayangkan bagaimana rasanya bisa dekat dengan Daffa untuk kali ini saja, membuat Adel berani untuk melangkah mendekat.
"Kamu nyariin aku, ya?" tanya Daffa tepat sasaran. Namanya perempuan, demi menjaga harga diri, Adel menyangkalnya, "Mimpi apa gue semalem?"
Laki-laki di sebelahnya terkikik halus, "Terus sekarang kenapa ada di sini?"
Adel memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Daffa. Jika Daffa tak melupakannya, Adel yakin laki-laki itu pasti mengerti arti dari setiap gerakannya.
"Kamu nggak banyak berubah," komentar Daffa memecah kesunyian.
"Kamu juga."
"Hubungan kamu sama Gava gimana?" Daffa melontarkan ucapan tersebut tanpa jeda lagi. Ekspresi Adel berubah, tanda perempuan itu kaget.
"Nggak gimana-gimana," balas perempuan itu pada akhirnya. Terdengar ragu kala Adel mengucapkannya. Di balik itu, Daffa menganggukkan kepalanya, yang sebenarnya mengerti bahwa hubungan Adel dan Gava 'palsu'.
"Secepat itu lo beralih dari gue ke Gava?"
Adel mulai merasa risih dengan pertanyaan Daffa yang kian membuatnya terpojok.
"Gue nggak suka cara lo bersikap, seolah-olah gue mainan—"
"Gue nggak pernah anggap lo mainan—"
"Iya, lo anggap gue mainan!" Daffa membungkam menyadari bahwa dia masih benar-benar menyakiti Adel bahkan sampai detik ini. Matanya memandang sekitar dengan rinci, memastikan tidak ada satu pun manusia yang melihat mereka berdua. Kemudian satu tangannya menyentuh lengan atas mantan kekasihnya. Dari menyentuh beralih menjadi menepuknya pelan, memberi kekuatan.
"Gue bingung kenapa dulu lo nggak pernah mengerti gue lebih dari Gava," ungkap Adel sambil mengalihkan pandangan matanya.
"Kalau aja—"
"Adel."
Suara itu muncul dari belakang menyebabkan tangan Daffa turun dengan cepat dari lengan Adel. Adel memalingkan wajahnya ketika melihat Niki yang berdiri di ambang pintu, yang merupakan sumber suara. Sedaritadi Niki bersembunyi di balik pintu tersebut, menguping apa yang dibicarakan Adel dan mantan kekasihnya. Ini benar-benar membuatnya tak mengerti. Niki yang dulu selalu berpikir bahwa Adel adalah perempuan polos yang hidupnya baik-baik saja, dan Niki sekarang benar-benar membenci bagaimana Adel diam-diam menemui laki-laki tersebut.
Matanya memandang tidak senang ke arah Daffa, memberi peringatan secara tidak langsung.
"Lo nggak tau apa-apa, Niki. Jangan bicara yang nggak-nggak!" sergah Adel terhadap apa yang sudah dilihat Niki. Sebaliknya jika Adel mencoba mencari kalimat, Niki justru ingin menjauhi puluhan kalimat negatif yang memutari otaknya.
Pada akhirnya, perempuan yang baru menjalin hubungan persahabatan dengan Adel memilih untuk melangkah pergi ke ruang tamu dan kembali bergabung bersama yang lainnya yang masih tertidur di karpet. Sepertinya berpura-pura tidur adalah jalan yang terbaik. Niki tak mau ikut terjun dalam urusan orang lain yang bahkan belum mengenalnya baik.
Namun hatinya berbalik arah saat memandang Gava yang tertidur lelap di sofa, menyuruhnya untuk membantu urusan sahabat barunya—Adel.
Ini demi Gava dan Adel. Hanya itu.
***
Waktu berjalan begitu cepat.
Pagi hari di sebuah kampus. Suasana yang begitu berbeda menyambut keadaan Niki hari ini. Didampingi Evinda di sampingnya, Niki membawa langkah kakinya ke arah taman sembari termenung. Evinda sendiri sedaritadi memandang Niki dengan tatapan bingung. Biasanya, Niki akan menyapanya dengan semangat 45 di pagi hari sambil merangkulkan lengannya di pundak Evinda. Terkecuali pagi ini, ketika Evinda mendekati Niki dan menyapanya, ia tak mendengar satu katapun yang keluar dari mulut Niki
"Lo kenapa, sih? Ada masalah?" tanya Evinda setelah melihat Niki duduk memandang tanaman hias. Lama ia tak menjawab, masih sibuk dengan pikirannya.
"Nikiii!" Evinda mengguncangkan bahunya sampai perempuan itu tersentak dan buru-buru menatap Evinda.
"Lo kenapa? Nggak biasanya lo kayak gini," kata Evinda mengulang pertanyaannya.
Niki menggertakkan rahangnya, nampak bahwa ada sebuah pikiran yang membuatnya kesal. Ketika angin membelai rambut Niki, gadis itu menyelipkan rambutnya kembali ke belakang daun telinga secara kasar. Sekarang Evinda yakin kalau gadis itu sedang sangat marah pada suatu hal.
"Adel cuma jadiin Gava pelampiasan." Niki membuka kalimatnya. Berkata tanpa memandang Evinda.
"Gue rasa dia sama mantannya masih saling suka. Begitulah akibatnya." Ia memijat keningnya, tak tahu apa kalimat yang keluar dari mulutnya
"Gue nggak ngerti maksud lo apa. Tapi—Adel punya mantan? Sejak kapan?"
"Gue nggak tahu sejak kapan," jawab Niki sekenanya.
"Dia nutupin semuanya dari kita?" tanya Evinda, terdengar shock. Wajar reaksinya seperti itu, karena jika berinteraksi dengan Adel, semua orang pasti menyangka ia adalah perempuan polos yang tak suka berbohong. Ada satu masa Adel pernah ditanya apa ia pernah menjalin hubungan saat masih SMA, dan ia menjawab tidak. Itulah sekiranya yang membuat Evinda tak percaya.
"Gue nggak peduli dia nutupin semua rahasianya ke kita. Tapi sekarang urusannya ada di Gava—"
Merasa kalimatnya belum selesai, Evinda diam menunggu.
"Dia temen kecil gue. Dia nggak punya siapa-siapa. Gue nggak tahu apa yang akan dia lakukan kalau sosok yang dia suka ninggalin dia."
TBC
Gimana, gaes?
Akhirnya tanda-tanda konflik di cerita ini muncul juga. Menurut kalian gimana? Adakah yang mengira Niki dan Evinda jahat?
Tetep stay di cerita ini ya! Jangan lupa juga buat follow aku di instagram; @khalisahoktavia
Btw, kalo aku buat roleplay From Daffa to Adel di instagram, ada yang mau ga? Komen ya!
Luv u all,
25-05-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose
Novela Juvenil[Sequel of From Daffa to Adel] Tak ada tokoh jahat yang akan menang. Begitulah yang sering kita dengar dan memang benar kenyataannya. Yang kemudian si tokoh jahat akan meminta maaf atau kabur dari kenyataan. Tapi di cerita ini terbalik. Cerita yang...