Siang itu, Adel menceritakan pasal tetangga barunya kepada teman satu kampusnya, namanya Niki. Perempuan itu, kalau Adel sudah menceritakan sesuatu yang bersangkut-paut dengan laki-laki, matanya akan selalu berbinar menunggu lanjutan cerita Adel, dan ujung-ujungnya akan bertanya apakah laki-laki yang Adel ceritakan termasuk golongan cogan atau tidak.
"Sebelum lo nanya, gue kasih tau. Dia ganteng, tapi sayangnya mukanya flat, kayak sepatu gue, nih!" celoteh Adel sambil menggigit sandwich yang baru saja datang di hadapannya.
"Lah, itu mah flat shoes. Kalo dia, cogan dingin kayak yang ada di novel-novel itu, loh! Ah, gue nggak bisa bayangin gimana mukanya," respon Niki membuat Adel memutar bola matanya. "Betewe, namanya siapa?" tanya Niki sambil memasukkan satu suapan strawberry cake ke mulutnya.
"Entah, belum sempet kenalan. Baru ngomong salam kenal doang." Berbarengan dengan akhir jawaban Adel, ponselnya yang ada di meja café berdering dan menampakkan nama pemanggil 'Ma love'. Niki yang sempat melirik nama pemanggil segera berdeham keras, lalu senyum-senyum menggoda, "Angkat sana, pasti pacar lo kangen," ledek Niki. Adel mendengus, lalu menggeser tombol telepon hijau.
"Halo, Gav?"
"Halo, sayang!" Jawaban itu sebenarnya memekikkan telinga Adel karena antusias pemuda itu membalas sapaan. Namun tak bisa ditolak kalau nyatanya Adel merasa melayang hanya karena disapa seperti itu.
"Kenapa, sih? Kayaknya seneng banget," tanya Adel. Suara gemerisik menyahut di teleponnya. Sambil menunggu Gava membalas ucapannya, Adel kembali memakan sandwich-nya, kemudian melihat tatapan aneh Niki yang penasaran. Untungnya Gava segera menjawab, kalau tidak, Adel akan menginjak kaki temannya itu.
"Aku bawa hadiah buat kamu. Kamu ada di rumah, kan?"
"Hah? Eh, nggak, Gav. Aku lagi ada di café sama Niki," jawab Adel cepat dengan matanya yang melirik Niki.
"Oh, café mana, Del? Aku ke sana aja dulu kalo gitu. Send lokasi ya, Del!"
Sambungan terputus di satu pihak, membuat Adel menggigit bibir bawahnya gemas.
"Kenapa, Del?" Niki nampak begitu bersemangat sampai mendekatkan wajahnya kepo. Diinjaknya kaki perempuan itu karena Adel merasa gemas, lalu tanpa sebab ia tertawa padahal tak ada yang lucu, "Gue kasian sama muka kepo lo."
Niki mendorong kecil lengan temannya yang semena-mena itu. Biarpun dalam hati ia tertawa, tetap saja perkataan Adel membuatnya kesal.
"Iya iya, bercanda. Katanya si Gava mau ke sini. Awalnya gue nggak mau ngasih tau lo, soalnya nanti bisa-bisa lo rencanain sesuatu buat nikung gue," semprot Adel sambil tangannya menyentuh layar ponsel untuk mengirimkan lokasinya. Entah bocah itu serius atau tidak pada kalimat yang baru saja ia keluarkan.
"Astaga, Adel. Gue nggak semurah itu! Nih, meskipun gue jomblo, gue nggak bakal-"
"Lalala, nggak mau denger!"
"Ish, rese lo! Kenapa sih gue dapet temen yang suka suujon!"
"Yang bener itu su'uzon."
"Bangke!"
Yah, gimana nggak mau suuzon terus, kalau masa lalunya saja masih terus mengusik kehidupan Adel hingga kini. Tentang sahabat, kekasih, cinta. Adel menjadi sosok yang waswas ketika menyangkut hal itu.
Dan Niki tak pernah tahu. Niki tak pernah tahu masa lalu Adel, sedangkan Adel mengetahui hampir semua tentang kehidupan Niki. Karena apa? Karena setiap Niki menanyakan tentang masa SMA Adel, perempuan itu selalu mengganti topik. Dengan menggunakan isyarat itupun Niki tahu kalau masa lalu temannya pastilah menyakitkan, tapi Niki tak pernah tahu kejadian demi kejadiannya. Setiap ia mendesak Adel, perempuan itu akan memberikan tatapan aneh, atau tak segan-segan untuk membentaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose
Teen Fiction[Sequel of From Daffa to Adel] Tak ada tokoh jahat yang akan menang. Begitulah yang sering kita dengar dan memang benar kenyataannya. Yang kemudian si tokoh jahat akan meminta maaf atau kabur dari kenyataan. Tapi di cerita ini terbalik. Cerita yang...