Ulang tahun Gava berlangsung dalam H-3. Sulit rasanya membuat kejutan untuk Gava, ditambah lagi laki-laki itu sedang marah pada Adel.
Tapi acara ulang tahun tiga hari lagi akan tetap berjalan. Di tengah kesibukan Gava terhadap urusan pekerjaan dan kuliahnya, ia meluangkan sedikit waktu untuk mengurus acara ulang tahunnya sendiri.
Tolong jangan pikirkan kalau Gava menyiapkan kue ulang tahun dan lilin juga balon. Atau jika kalian memikirkan hal tersebut, kalian akan tertawa dan Gava akan benci itu. Well, sejak umurnya menginjak 10 tahun, Gava tak pernah mau merayakan ulang tahun dengan kue, lilin, balon dan sejenisnya karena tak mau ditertawakan.
Lalu saat sedang mengurus makanan apa saja yang harus dipersiapkan untuk nanti, Gava memijat peningnya. Bukan! Bukan karena terlalu pusing memikirkan acaranya, tapi karena Daffa.
Iya, Daffa.
"Gue pikir lo nggak akan ngundang gue."
Sebenarnya Gava ingin mengatakan bahwa ia sangat tak menginginkan untuk mengundang sahabatnya itu. Hanya karena Adel tentunya.
"Lo tetep temen gue, sampai kapanpun."
Jika disuruh berkata jujur, Gava tak sanggup. Ia lebih memilih mengeluarkan kalimat yang tidak menyinggung perasaan.
"Kalau urusannya sama cewek lo, mungkin beda lagi, ya?"
Gava sudah menebak percakapan ini akan terucap.
"Kapan gue musuhin lo ketika gue pacaran sama Adel? Gue nggak pernah, Daf. Bahkan yang mulai menjauh itu lo."
Cengkramannya pada ponsel yang tertempel di telinganya semakin erat. Rahangnya tampak mengeras.
"Oh, iya! Tentang Adel, gimana? Cie langgeng--"
"Bukan waktunya bahas itu, Daf. Gue nelpon lo buat ngebahas 'apa lo bisa dateng ke rumah gue?'."
"Gue..."
Gava mulai merasa resah, tak tahu apa yang menyelimuti hatinya sekarang. Dia merasa ada yang aneh.
"Entahlah, gue masih ada rasa buat Adel."
Telinga Daffa sepertinya sudah bermasalah. Jawabannya bukanlah jawaban dari pertanyaan yang Gava ucapkan.
Sesuatu terasa sakit di dadanya. Rasa sakit itu memakan Gava dalam waktu singkat, membuatnya memutuskan panggilan sepihak. Dan tak lama setelah itu, Adel datang untuk meminta maaf pada Gava.
Memaafkan lebih berat dari meminta maaf. Gava percaya konsep itu, dan sulit untuk memaafkan mereka yang membuat hatinya sakit.
Suara telepon dari ponselnya yang tergeletak di meja ruang tamu memecah kesunyian juga lamunan Gava. Laki-laki itu bersikap secara cepat, dan langsung melihat nama pemanggil. Kemudian dahinya mengerut. Dengan ragu ia menggeser tombol hijau.
"Halo?"
"Halo, Gav. Cewek samping rumah gue itu... cewek lo, ya?"
Begitu cepat si penelepon berkata, tanpa kalimat pembukaan terlebih dahulu, menjadikan suasana terasa lawak. Gava tertawa renyah. Raut wajahnya yang tadi serius berubah menjadi penuh kelegaan.
Ya, wajar saja. Biasanya, si penelepon ini jika sudah menelepon Gava, urusannya pasti serius. Tapi kebetulan detik ini ia menelepon dengan pertanyaan yang membuat Gava ingin tertawa.
"Lo baru tahu? Iya, rumah di samping lo, rumah 'pacar' gue," kata Gava sembari menekankan kata pacar.
Si penelepon tampak mendecak, "Ck, tenang aja. Gue nggak bakal ngembat dia, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose
Teen Fiction[Sequel of From Daffa to Adel] Tak ada tokoh jahat yang akan menang. Begitulah yang sering kita dengar dan memang benar kenyataannya. Yang kemudian si tokoh jahat akan meminta maaf atau kabur dari kenyataan. Tapi di cerita ini terbalik. Cerita yang...