Bab 03 - Tetangga es

800 72 17
                                    

Bukankah pada kenyataannya, masa kuliah jauh berbeda daripada masa SMA? Bagi Adel, sih, begitu. Entahlah kalau pada orang-orang. Habisnya, dulu jika sedang ada di perpustakaan, yang akan Adel lihat adalah perempuan atau laki-laki yang maaf—culun. Dan pada saat tertentu akan terlihat murid-murid pendiam yang sedang dilabrak oleh baik teman seangkatannya sendiri maupun senior. Biasalah, palingan karena cinta atau masalah di masa muda sejenisnya.

Lalu bandingkan dengan sekarang. Adel seolah mendapatkan kedamaian dunia ketika berada di perpustakaan tempatnya kuliah. Ketika siang tempatnya cukup ramai, namun menjelang malam menjadi sepi. Kadang Adel berpikir, apakah mereka yang kuliah di malam hari tak membutuhkan perpustakaan?

"Woy, Adel! Bengong aja!"

Sedikit cerita, yang menyentakkan Adel tadi, Lutfita a.k.a yang dulunya sering Adel panggil Ucu, mendapat satu kampus dengan Adel. Ada satu yang tak berubah dari kebiasaan Ucu dan Adel dari SMA; tak bisa hidup kalau tak memakai riasan wajah sama-sama.

"Siapa juga yang bengong?" balas Adel sambil sedikit menyunggingkan senyum. Niki ada di sampingnya tak menegur sama sekali, sangat sibuk dengan buku tebalnya.

"Heh, ini bukunya yang kurang bagus atau gue-nya yang lemot. Sih? Nih teori flat earth bikin gagal paham." Akhirnya mulut berbibir kecil itu menyeloteh.

"Lah, masih aja lo ngebahas itu," timpal si perempuan berkacamata—Evinda.

"Abisnya, dari gue SMA berita menariknya nggak pernah udahan. Ujung-ujungnya gue penasaran lagi." Bibirnya mengerucut. Adel geleng-geleng kepala sambil membuka laptopnya, dibuntuti tatapan Ucu.

"Adel, si abang es yang lo ceritain waktu itu ada perkembangan, nggak?" tanya Niki beralih kemudian memepetkan tubuhnya pada Adel.

"Abang es yang di belakang kampus atau yang di komplek rumah Ucu?" jawab Adel pura-pura tidak tahu.

"Apaan? Mau order es yang ada di komplek rumah gue? Enak tau es-nya!" Padahal Ucu mengerti maksud ucapan Niki, tapi berkat kedipan mata Adel, Ucu jadi ikut-ikutan meledek.

"Bukan itu, bangsat!" cibir Niki tak senang lalu mengalihkan kegiatannya dengan melanjutkan membaca buku.

"Gava belum mau skripsi, Del? Dia, kan, pinter. Pasti dia nggak mau nunda-nunda lagi." Evinda membuka topik lain. Ah, jangan lupa kalau mereka bertiga tahu kalau Adel kekasih Gava dan seperti apa Gava itu.

"Entah, dia nggak ngasih kabar soal itu." Jemari Adel yang awalnya sedang mengetik lancar menjadi terhambat mengingat dirinya baru saja menyebut nama Gava.

Adel lupa kalau ia harus meminta maaf pada Gava soal insiden hari lalu. Pasti Gava teramat sakit hati melihat dirinya yang begitu menjijikkan masih merindukan mantan kekasihnya. Secepat mungkin Adel harus minta maaf. Kaki dan tangannya sudah tak bisa diam sedaritadi dengan mulut yang menghembuskan napas. Bisa dibilang gregetan mau minta maaf.

"Lo kenapa?" tanya Evinda. Ucu menatap Adel dengan pandangan yang sulit diartikan, antara ingin tersenyum meledek dan kebingungan.

"Oh, jangan-jangan Adel mau—"

"Ayo, Cu! Temenin gue bentar!" Adel berdiri dan langsung menarik lengan Ucu. Evinda membetulkan letak kacamatanya tak mau ambil pusing, sedangkan Niki berteriak bertanya, "LO MAU KEMANA?!"

"RAHASIA. NANTI GUE BALIK LAGI!"

Gara-gara keduanya berteriak, seluruh pandangan teralih menatap antara Adel dan Niki. Evinda sampai harus memukul Niki dibuatnya.

Berada di ambang pintu, Ucu sudah merintih minta dilepaskan. Tapi dengan santainya Adel masih melangkah. "Del, lo mau ketemu Gava, ya?" tanya Ucu di sela rintihannya.

LoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang