[44] His Life

532 43 0
                                    

Thank you for 6k reads!
I'm happy because i know you enjoy my story :)

---

Dia memulainya dengan kemauan yang kuat. Segenggam uang tak seberapa, tekad dari kepala yang terlalu keras untuk dinasehati lagi.

Orang tuanya memandang rendah. Memandang punggung lelaki itu dengan remeh tak terucap.
Kakak yang hanya dapat melihat itu dari dapur sesekali menghela nafas,
"Biarlah, ini maunya."

Dengan tas, tekad dan kemauan meninggalkan Daegu yang menjadi saksi masa kecilnya, bertaruh di atas tanah kota Seoul yang dipenuhi serigala berbulu domba dan domba berbulu serigala.

Jujur, ia takut.

Socio-phobia yang dibawanya sejak remaja, anxiety membuatnya perlahan membenci dirinya sendiri.

Rasanya, musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri.

Dia juga lelah pergi ke psikiater layaknya orang gila, berbincang dengan wanita tua dengan senyum memuakkan sambil menenteng buku dan pena.

Dia jengkel.
Dia marah.
Dia ingin meluapkan emosinya.

Namun saat ia sadar dia sendiri,
dia mengurungkan niatnya.

Seoul tidak menyambutnya baik,
monster dalam dirinya mulai tertawa melihat bahunya makin merosot setiap hari.

Duduk di depan komputer murahan dengan studio yang lebih mirip kandang babi ini, menorehkan musik yang masih dipandang sebelah mata orang lain.

Ada kalanya dadanya terasa sesak.

Ada kalanya dia menangis meraung padahal 5 menit yang lalu dia baik saja.

Ada kalanya ia menangis tanpa alasan.

Dia lelah. Dia takut.

Namun tidak bisa menyerah.

Satu-satunya alasan yang membuatnya hidup hingga hari itu adalah, "aku tidak bisa mati."

Dia masih takut kematian.

Dia masih takut orang tuanya yang kecewa pada putranya.

Dia masih takut menggores luka pada hati kakaknya yang terlampau sulit untuk ditebak.

Jadi dia menahan rasa sakit yang tak bisa dipahami orang.

Rasanya sakit. Sampai ingin membenturkan kepalamu di dinding, sampai merasa ada yang mendorong dadamu hingga kau sulit bernapas.

Keringat dibalas dengan beberapa sen yang hanya bisa membeli mie murah.

Waktunya kadang tak dibalas dengan apa-apa, walaupun hanya ucapan terimakasih yang tulus untuk si bahu rapuh itu.

Tapi, tidak ada.

Setelah itu dia kembali sendiri.
Sendiri mematung.
Sendiri melamun.

ARMY's Dream Book | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang