1

42K 1.7K 55
                                    

Aku menatap dia yang sedang sibuk menendang bola. Dia adalah yang paling lincah di lapangan. Setiap jam istirahat, Aga langsung berlari ke lapangan yang biasa digunakan untuk upacara, diikuti oleh siswa-siswa IPS lainnya. Sedangkan saat ini, aku hanya bingung memperhatikan Aga.

Ketika bel sekolah berbunyi, Aga sudah menunggu di depan kelas 12 IPA 2. Dia menarik tanganku, karena ingin memberi suatu pertunjukan. Aku tidak mengerti dan sempat menolak ajakannya karena aku ingin mengembalikan buku perpustakaan yang aku pinjam. Aga tidak menjawab apapun ketika aku menanyakan jenis pertunjukan apa yang akan aku lihat.

Dia hanya menyuruhku untuk duduk di bangku pinggir lapangan. Aku dipaksa menyaksikan Aga yang sibuk tebar pesona pada setiap gadis-gadis yang memperhatikannya di koridor. Oh, pertunjukan inikah yang harus aku tonton? Yang mungkin sudah aku tonton miliyaran menit, terhitung sejak pertama kali kita bersahabat sejak kelas 6 SD.

Sementara aku, yang berada di pinggir lapangan, sudah merasa bosan sejak tadi. Aku sama sekali tidak tertarik dengan perminan Aga, karena Aga bukan pemain bola favoritku. Karena Aga bukan Bambang Pamungkas.

Aku masih bersabar menunggu, sembari membolak-balik halaman buku perpustakaan yang aku pinjam dan ingin aku kembalikan sekarang. Aku meminjam buku Seno Gumira Ajidarma, yang aku pinjam dari perpustakaan. Judul bukunya? Sepotong Senja Untuk Pacarku. Romantis bukan? Ah, andai saja ada seorang pria yang ingin menunjukan senja untukku, rasanya hidupku tidak butuh apa-apa lagi.

“Aga, gue ke perpus, ya. Bosen. Lo mainnya jelek.” ucapku yang sudah tidak kuasa menunggu pertunjukan yang dijanjikan Aga, “Kalau lo cuma mau nunjukin cara main lo yang biasa aja, mending gue pergi.”

Yang dipanggil namanya langsung menghentikan permainan, dia kini berlari ke arahku, “Anak IPA itu emang susah diajak menikmati dunia, ya? Kerjanya cuma belajar, kalau nggak, ya, ke perpus.”

“Daripada anak IPS, udah mau UN bukannya belajar, malah main bola. Gue nggak pernah liat lo ngelakuin aktivitas lain selain sepak bola.”

“Ada, kok, gue berangkat sekolah, kan?”

“Lo ke sekolah tapi isi tas lo apa? Cuma komik-komik Naruto, One Piece, Detektif Conan. Oh, ya, sama satu lagi, headset. Buat dengerin musik kalau kelas IPS kosong, kan?”

“Pinter. Itu lo tau. Nggak sia-sia lo masuk jurusan IPA. Lo tau semuanya.”

“Selain sepak bola, lo juga main kuda tomplok, teriak-teriak di depan kelas IPA. Berisik.” aku menutup kedua telinga dengan telapak tanganku, “Lo tau nggak? Kita semua, anak IPA, pusing, mual, sampe mau muntah waktu ngerjain sigma torsi. Pusing hitungin kecepatan apel yang jatuh dari pohon, atau gaya yang dibutuhkan seorang pemanah, atau soal-soal lain yang menurut anak IPS nggak penting, tapi anak IPA harus ngerjain dengan segala rumus-rumus itu.”

“Kenapa? Kok, lo, sensi, sih? Lagi dapet? Mau gue beliin kunyit asem? Atau pake wing atau tanpa wing?” Aga tertawa geli, “Sakit perut nggak? Mau coklat? Gue ke parkiran dulu, nih, ambil motor. Terus ke Indomaret.”

Seluruh rekan setim Aga ketika bermain sepak bola tadi langsung tertawa, sama gelinya seperti tawa yang ditunjukan Aga. Beberapa siswi-siswi yang berjalan di koridor juga turut memperhatikan kami berdua. Aku cukup geram dengan bercandaan Aga.

“Lo sirik sama anak IPS, yang hidupnya bebas dan bisa nentuin jalan hidupnya dia?” Aga tersenyum sinis ke arahku, “Nggak kayak lo, yang masuk IPA karena dipaksa orang tua, karena lo harus jadi mahasiswa teknik sipil UI atau UGM? Gitu?”

Ucapan Aga membuatku balas menatapnya, “Setidaknya hidup gue punya tujuan, yaitu bahagiain orangtua gue. Daripada lo yang nggak lolos timnas, karena lo nggak pernah disiplin sama hidup lo!”

Aku berjalan meninggalkan Aga. Satu sekolah juga tahu, kami berdua mungkin memegang rekor dua sahabat yang lebih sering ributnya daripada akurnya. Langkah kakiku bercampur dengan emosi yang hampir meledak di kepalaku. Tidak pernah aku sekesal ini padanya.

Kami memang sering bertengkar, tapi kali ini Aga sudah keterlaluan. Bibirnya mungkin bercampur dengan keripik pedas level sepuluh sehingga setiap kalimat yang terlontar terasa begitu pedas di telingaku. Seharusnya, aku memang tidak perlu bersahabat dengan si keras kepala ini. Pria kacau balau yang jarang berpikir sebelum bertindak.

Kakiku sudah sampai di koridor. Aku berjalan lurus-lurus meninggalkan lapangan. Aku mendengar dari belakang langkah kaki seseorang yang berlari. Langkah lari itu terhenti tepat di depanku. Ada Aga di depan mataku.

“Kenapa lagi?” aku menatap Aga dengan tatapan sebal, sembari jemariku erat memegangi buku yang aku pinjam dari perpustakaan.

“Pinjem, ya!” Aga merampas buku Seno Gumira Ajidarma dan turut merampas catatan berisi puisi-puisi yang aku tulis.
Dia terus berlari ke arah lapangan, sementara di lapangan, aku tidak mengerti mengapa banyak siswa-siswi telah berkumpul di sana. Dari kejauhan, aku melihat Aga membuka catatan puisiku. Dengan cepat, aku langsung berlari ke arah Aga. Jika Aga membacakan puisi itu, semua akan hancur. Tapi, aku terlambat.

“Kamu adalah balasan pelangi dari setiap hujan deras yang datang. Kamu munculkan cahaya terang ketika aku lelah menghadapi gelapnya terowongan. Kamu menawarkan senyum dan kebahagiaan yang tidak mampu orang lain berikan.” Aga mulai membacakan salah satu puisiku dengan suara lantang.

Aku ketakutan dan berlari. Ketika aku semakin dekat dengan Aga, Aga langsung mengangkat catatan puisiku tinggi-tinggi, hingga aku tidak mampu menjangkau meskipun aku melompat berkali-kali. Aku terus berusaha, tapi tidak ada yang menolongku menggagalkan Aga untuk membaca puisiku. Semua orang malah mengunci tatapannya pada Aga. Menatap Aga dengan tatapan lugu, malu, dan sedikit candu.

Aga berjalan dengan santai, mengelilingi setiap siswa dan siswi yang berkumpul di lapangan, “Apakah perasaan ini adalah cinta? Ataukah hanya rasa yang mampir sesaat saja? Jika memang ini bukan cinta, mengapa hanya namamu yang membuatku terus bertanya-tanya? Jika memang ini hanya perasaan sesaat saja, mengapa hanya denganmu, aku merasakan luka?”

Aku masih berusaha keras merebut catatanku, tapi para siswa-siswi terlonjak senang, meminta dibacakan puisi lainnya. Aga langsung menurunkan catatan tepat di depan mataku, sehingga aku tidak perlu melompat lagi untuk meraih catatanku. Dia memberikan buku itu kepadaku, kemudian meletakannya di jemariku.

“Tolong cariin puisi yang bagus lagi.” Aga menggodaku, “Puisi sebagus ini, lo terinspirasi dari siapa emang?”

Ketika catatan itu sudah berada di tanganku. Aku langsung melengos pergi. Aku berjalan meninggalkan Aga di belakang. Aga tentu mengejarku, hanya itu yang bisa dia lakukan ketika aku bertengkar dengannya.

Aga kembali berada di depanku. Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu. Belum sempat Aga menjelaskan apapun, aku langsung berkata, “Kali ini, walaupun lo minta maaf sampe tekuk lutut, gue udah nggak mau maafin lo lagi, Ga. Gue benci banget sama lo, Ga. Benci banget!”

***

Sampai jumpa Selasa depan! Jangan lupa vote dan komentar~

Tidak Pernah Ada Kita (Teaser)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang