5

15.6K 727 31
                                    

Aku duduk di samping Aga dengan perasaan canggung. Hanya lagu di radio tape mobil Aga saja yang terdengar. Aku memperhatikan setiap sudut jalan, jalanan yang kami lewati bukan jalanan yang asing bagiku. Baru aku berani ingin bicara, tapi Aga sudah lebih dulu mengungkapkan kalimatnya.

“Kalau lo bingung kita mau ke mana, kita mau ke sekolahan, sih.” Aga tersenyum menatapku, “Sekolah kita masih ada nggak, ya?”

“Masihlah.” jawabku pendek disertai dengan nada jutek.

Beberapa menit setelahnya, mobil Aga sudah terparkir rapi. Aku turun dari mobil, kemudian Aga mengajakku berjalan ke gedung sekolah kami dulu. Bangunan itu masih tegak dan utuh seperti pertama kali aku meninggalkan sekolah ini.

Bangunan yang didominasi warna hijau muda itu nampak terlihat sepi. Hanya terdapat beberapa penjaga serta pembersih sekolah yang membersihkan lantai dan kelas. Aga menggenggam jemariku, mengarahkan langkahku ke lapangan upacara. Kami berdua duduk di dekat tangga panggung menuju tiang bendera.

“Gue inget banget, pertama kali masuk sekolah ini. Sebagai anak baru, gue secupu itu. Mau aja disuruh temen-temen cowok yang lain buat baris paling depan. Gue dibohongin, katanya anak baru harus baris di depan. Gue ngikut aja.” ucap Aga sembari mengarahkan jemarinya, “Gue baris di sana sedangkan lo baris di dekat petugas upacara. Oh, ternyata, lo dirigen upacara, yang bakalan ngarahin anak kelas 9 SMP nyanyi lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta.”

“Terus, Ga?” aku mulai antusias mendengar cerita pria yang tiba-tiba membangkitkan kenanganku semasa SMP, “ Oh, iya, itu gue juga dipaksa jadi dirigen. Gue nggak mau. Kalau lo tau sejarahnya kenapa gue bisa ditunjuk, lo pasti bakalan ngerasa aneh.”

“Emang karena apa?”

“Pas pelajaran kesenian, kita semua wajib nyanyi lagu Bubuy Bulan. Lagu Sunda. Kata Bu Anita, suara gue bagus. Dan, setelah itu, gue jadi kayak dirigen yang masa kerjanya panjang banget. Nggak ada yang mau gantiin gue karena katanya anak kelas 9 SMP susah diatur, susah diajakin nyanyi.”

“Iya, emang, tapi kalau lo yang jadi dirigennya, kita semua mau nyanyi.”

“Iya, kenapa, ya? Gue juga heran.”

“Karena lo cantik kali dan karena suara lo bagus.”

Aku tertawa geli, “Lo salah banget kalau ngajak gue nostalgia kayak gini, karena yang paling gue inget dari lo cuma satu. Yang bikin perut gue sakit.” “Apaan?”

“Pas lo kencing di celana karena nggak bisa nyanyi lagu wajib Bangun Pemudi Pemuda.”

Wajah Aga langsung memerah, dia langsung membuang muka, “Gue nggak kencing, gue keringetan. Waktu itu, gue lagi demam, makanya pamit ke UKS.”

Suara tawaku langsung pecah melihat wajah Aga, “Eh, gue dirigen di depan muka lo, gue liat persis gimana kejadiannya. Anak kelas sembilang ketawa semua. Setelah itu, mereka nggak ada yang serius nyanyi. Sampe pemimpin upacara minta nyanyinya diulang dan lo lari ke belakang barisan. Pamit pengin ke UKS. Sakit alasannya.”

“Makluminlah, itu hari pertama gue masuk sekolah. Gue juga nggak hapal sama lirik lagunya. Jadi aja, panggilan alam itu secara bebas terjadi. Gue lepas kendali.” jelas Aga mencoba membela diri.

“Lain kali pipis dulu makanya sebelum upacara, supaya nggak ngompol, Ga.”

Aga berpikir sesaat, “Tapi, gue heran, kenapa lo waktu itu nyamperin gue ke UKS? Segala bawain botol minum lagi? Lo mau bikin pipis gue makin banyak apa?”

“Oh, itu, karena gue ngerasa bersalah udah ikut-ikutan ngetawain lo. Anak-anak kelas sembilang pada ketawa pasti karena liat dirigennya ketawa. Lo diketawain mereka karena gue lebih duluan ngetawain lo.” aku menerangkan, “Dan, ternyata, lo si anak baru, yang ada di kelas gue itu. Akibat pipis di celana, lo ganti celana lo, yang seragam lo awalnya warna putih-putih, jadi warna putih biru. Salah kostum sendirian.”

“Awalnya, gue marah banget sebenernya sama orang tua gue, harus pindah ke sini. Tapi, pas saat itu gue kenal sama lo, gue nggak pernah merasa nyesel lagi. Setidaknya ada satu orang yang mau dengerin gue. Lo satu-satunya. Apalagi, lo suka sepak bola.”

Aku tersenyum ke arah Aga. Haruskah aku menanyakan sesuatu yang bukan porsiku untuk mengetahui? Haruskah aku bertanya mengenai hal-hal yang membingungkan aku selama ini.

“Dera gimana?”

“Sama pacarnya di Bandung.”

“Sama lo maksudnya? Oh, dia kuliah di Bandung, ya? Eh, gimana maksudnya, sih?” Aga menggelengkan kepala, “Gue, kan, kuliahnya di UNDIP Semarang, Bel. Bukan di Bandung. Gue nggak jadi nembak dia. Habis, sikap lo kayak gitu, sih, ke gue. Sejak hari itu lo ke mana? Lo nggak ada kabar sama sekali. Giliran gue butuh temen cerita, lo nggak pernah ada.”

“Gue sibuk, Ga.”

“Iya, dan sibuk lo berkualitas. Sampe ngasilin satu buku juga, kan?” Aga menyodorkan buku yang dia beli dan sebuah ballpoint, “Tanda tangan, nih. Jangan lupa tulis Dear, Aga, terus kasih kata-kata motivasi apa, kek, gitu?”

Aku segera mengambil buku itu dari jemari Aga, membubuhi tanda tangan, kemudian menulis sebuah kalimat di buku itu. Setelah selesai, Aga langsung menarik buku itu, dan membaca kalimat yang tertera di dekat tanda tanganku.

“Kalau suka sama seseorang, kamu harus langsung bilang, sebelum segalanya terlambat, dan dia nggak pernah tahu gimana perasaan kamu.” suara Aga terdengar menenangkan bagiku, “Maksudnya dari kalimat yang lo tulis ini apa, Bel?”

“Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Ga.” aku menghela napas beberapa saat.

“Mau ngomong apa, Bel?”

***

Kepo gimana lanjutan kisah mereka? Yuk ikutan pre-order buku #TidakPernahAdaKita versi lengkapnya! Cek Instagram @dwitasaridwita untuk info selanjutnyaaa~~!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tidak Pernah Ada Kita (Teaser)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang