2

14.9K 806 12
                                    

Hari ini, sudah ada delapan orang yang menyapaku dengan julukan “calon penulis galau”. Aku sedikit senang, tapi agak marah juga dengan cowok pembuat onar yang menyebabkan aku dipanggil dengan julukan itu. Aku belum siap dengan panggilan itu. Dan, sekarang, banyak teman-temanku di sekolah yang pada akhirnya mengetahui hobi menulisku. Hobi yang aku sembunyikan rapat-rapat.

Aku membawa catatan puisiku yang kemarin sempat dirampas oleh Aga. Aku duduk di meja baca perpustakaan sendirian, membaca puisi-puisi di buku catatanku, yang ternyata sudah berlembar-lembar banyaknya. Dan, memang, puisi yang dibacakan Aga kemarin adalah puisi kesukaanku. Puisi yang selalu aku baca berulang-ulang, dengan sedikit menaruh mimpi bahwa seseorang yang menjadi inspirasiku menulis puisi ini bisa membaca apa yang aku tuangkan dalam puisiku.

Aku masih sibuk membaca puisi-puisiku, hingga terdengar suara seorang pria tepat di depan meja bacaku, matanya sejak tadi seakan kebingungan menatap buku yang ada jemarinya, “Peselancar Agung akan tiba dengan sendirinya ketika senja menjadi sempurna.”

“Itulah senja, yang seperti cinta, tiada pernah tetap tinggal abadi, selalu berubah sebelum punah, meninggalkan segalanya dalam kegelapan dunia yang merana.” balasku tanpa menatap Aga yang sudah berada di depan mejaku.

“Kadangkala awan gemawan begitu banyaknya, terapung di segala tempat seperti perahu kapas, menyembunyikan cerita senja, sebuah peristiwa ketika matahari seperti bola yang melesak di balik cakrawala,” Aga menatapku sedikit dengan perasaan takut, “Yang selalu mengingatkan manusia….”

“Betapa keindahan yang sempurna hanyalah sesuatu yang semu saja, seperti kebahagiaan, yang lewat melintas dalam kenangan terbatas.” lanjutku memotong bacaan Aga yang belum selesai.

Aku memang sudah hapal di luar kepala, kalimat yang Aga ucapkan dan aku ucapkan adalah salah satu potongan paragraf dalam buku Sepotong Senja Untuk Pacarku. Kali ini, aku menatap Aga dengan tatapan penuh tanya. Seakan menanyakan keberadaannya yang sangat jarang sekali berada di perpustakaan.

“Pinter, ya, lo cari perhatian sama gue.” aku berucap tanpa menatap wajah Aga, “Ngapain di sini? Kerasukan setan sastrawan lo bisa main ke perpus?”

“Mau balikin buku lo,” Aga menyodorkan buku Seno Gumira Ajidarma hasil rampasannya kemarin, “Maaf, ya, soal yang kemarin.”

Aku dengan cepat memeriksa kondisi buku. Sekarang, buku itu tidak lagi nampak bersih, terutama di setiap lembar-lembar kertasnya, “Aga, ini bukunya siapa yang lo bawa?”

“Buku yang kemarin, kan. Yang gue ambil dari lo.”

“Kok, banyak kalimat-kalimat yang lo kasih stabilo, sih? Kenapa jadi kotor gini bukunya?”

“Gue nyari kata-kata yang romantis dari buku itu. Supaya gue bisa bacain ke lo di sini dan minta maaf ke lo.”

“Nggak usah segala dibacain. Gue udah pusing mikirin gimana cara balikin buku yang rusak kayak gini?” aku masih membolak-balikan halaman buku, yang ternyata sudah diberi banyak stabilo berwarna kuning di setiap lembarnya, “Kacau banget lo, Ga!”

“Iya. Iya. Besok gue temenin lo ke Gramedia, deh. Nyari buku yang sama.”

“Ada alasan yang lebih konyol nggak? Yang lebih logis sampe lo harus kepepet ngerusak buku perpustakaan. Nyoret-nyoret paket stabilo gini? Aga, lo kenapa, sih? Akhir-akhir ini selalu bikin gue kena masalah. Gue panik mulu setiap deket sama lo.”

“Supaya dapet perhatian lo, kan. Emang lo nggak nyadar?”

Aku terdiam.
Aga juga terdiam.
Seluruh perpustakaan. Yang hanya ada kami berdua. Juga terdiam. Buku-buku diam. Rak-rak buku diam.

“Perhatian gue? Maksudnya?”

“Habis, lo fokus ke UN, ke SNMPTN, ke SIMAK UI. Nggak pernah punya waktu buat gue. Udah susah diajak jalan, nggak mau diajak main, nggak mau diajak nonton lagi. Makanya, gue harus cari perhatian, kan, supaya lo merhatiin gue.”

Aku menggelengkan kepala, rasa kesal bercampur senang kembali menyeruak di dadaku, “Ini buku perpustakaan, Ga. Minjemnya pakai kartu pelajar gue, terdaftarnya nama gue, kalau bukunya rusak dan kotor, pasti nama gue yang dituduh ngerusakin. Jadi cowok punya tanggung jawab dikit, dong! Lo itu berantakan banget, sih, jadi cowok. Disiplin dikit!”

“Hidup lo itu terlalu displin. Jadwal les di sini, belajar bahasa Inggris di situ, bla-bla-bla. Sampe lo nggak punya waktu buat mikirin kata hati lo yang sebenernya. Sampe lo nggak pernah punya waktu buat wujudin cita-cita yang sebenernya lo pengen.”

Aku menghela napas, mencoba sok sibuk dengan buku catatan puisiku, “Untung aja, buku yang isinya puisi-puisi gue ini nggak ikutan lo rusak juga.”

“Kenapa lo nggak jadi penulis aja, sih? Malah pengin jadi insinyur teknik sipil.”

“Itu mimpi yang didukung bokap gue, yang direstui nyokap gue. Jadi penulis bukan mimpi yang didukung orang tua gue. Gue nggak mau durhaka.”

“Anak durhaka itu yang nggak bisa ngebahagiain orang tua. Kalau lo bisa bahagiain orang tua lo dengan cita-cita lo sebagai penulis, gue rasa nggak ada masalahnya.”

“Sejak awal, gue dibesarkan untuk jadi insinyur teknik sipil, kayak bokap gue, dan takdir itu nggak bisa gue lawan.”

“Takdir itu kita yang bikin, Bella. Bukan orang lain. Hidup lo beruntung, masih ada yang mau ngarahin lo bakalan jadi apa. Sedangkan gue? Orang tua gue ngebebasin gue jadi apapun, karena mereka terlalu sibuk sama bisnis mereka. Gue pilih jadi pemain bola. Eh, pas gue ambil uji masuk tim nasional U-19, gue nggak kepilih.” Aga menatapku dengan nanar, “Untungnya, di saat terburuk gue, lo selalu ada.”

Aku tidak memberi tanggapan apapun. Kali ini, aku meninggalkan buku puisiku, dan menatap Aga penuh perhatian.

“Tapi, gue nggak nyesel sama takdir yang gue pilih itu. Setidaknya, gue tau, jadi pemain bola itu bukan jalan yang baik buat gue. Setidaknya gue udah pernah coba dan jawabannya adalah kegagalan. Gue lebih baik nyesel karena udah nyobain, daripada gue nyesel karena nggak pernah nyobain.” jelas Aga lagi.

Aku terdiam, mencoba mencerna kalimat-kalimat yang diucapkan Aga. Aga tidak pernah berbicara semendalam ini bersamaku. Karena pembahasan kami biasanya hanya sebatas kesibukan Aga, ekstrakulikuler yang diikuti Aga, dan sesekali mengajari Aga matematika untuk IPS. Pembahasan Matematika di IPS memang tidak sesulit pendalaman Matematika di IPA, jadi aku bisa menguasai soal matematika yang dikerjakan oleh Aga.

“Kalaupun mimpi jadi penulis itu mau lo kubur, lo mau nggak cobain mimpi lo yang satunya, yang lo kubur juga?” Aga mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, “Gue bakalan temenin lo nonton Bambang Pamungkas. Pertandingannya di Stadion Gelora Bung Karno. Besok.”

“Besok?” aku tergiur menatap tiket yang Aga berikan untukku, “Besok kita sekolah, kan, Ga?”

“Iya, kita bisa bolos, kan? Atur aja.”

“Tapi, besok pagi dan sore, kan, ada pelajaran tambahan buat UN, Ga.”

“Eh, pelajaran tambahan, kan, bisa kapan-kapan. Bambang Pamungkas nggak bakalan nunggu lo kelar pelajaran tambahan. Ayo, makanya!”

“Nggak, deh, Ga. Kita masih umur 18 tahun. Masih terlalu kecil buat masuk stadion segede gitu. Kalau ilang gimana? Kesasar? Rusuh? Lo sama gue kebunuh?”

“Lo mikir jauh banget, ya? Lo, kan, ditemenin sama gue. Nggak usah khawatir.” Aga membujuk, dia menepuk dadanya dengan percaya diri, “Gini-gini, gue, kan, anak seleksi Timnas, juga. Lo liat, nih, otot gue!”

“Iya, tapi lo gagal dan nggak masuk Timnas, kan.” aku menimpali.

“Tau ah! Gimana? Mau nggak?”

Aku menatap tiket yang Aga sodorkan. Aku sudah jauh-jauh hari mengubur mimpi untuk menyaksikan Bambang Pamungkas langsung di stadion, tak hanya di layar kaca saja. Karena, Papaku selalu bilang, perempuan tidak cocok menonton di tribun. Jadi, sejak kelas 9 SMP, aku sudah mengubur mimpi itu. Hingga aku sekarang berada di kelas 12 SMA. Sementara Aga, sekarang berani-beraninya memunculkan mimpi itu lagi.

Aga masih menunggu jawabanku, dengan cepat aku langsung meraih tiket itu di genggaman tanganku.

°°°
Sampai jumpa Selasa depaaan~~!!

Tidak Pernah Ada Kita (Teaser)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang