Aku memeluk buku Sepotong Senja Untuk Pacarku di depan dadaku. Buku itu baru saja dibelikan Aga beberapa jam yang lalu. Aku tersenyum bahagia sembari menciumi setiap lembar buku baru itu.
“Aroma buku baru! Coba, deh, cium juga, Ga!” aku menyodorkan buku dan membukanya perlembar, mendekatan buku itu ke hidung Aga, “Unik aroma buku baru, tuh. Wangi buku baru.”
“Udah gila lo, ya? Buku malah diciumin. Pipi gue, nih, lo ciumin!”
Aku mengecup dengan cepat pipi Aga, “Makasih, ya, udah nemenin ke toko buku. Gue ditraktir juga lagi. Ditraktir sekalian dua buku.”
Aga langsung sedikit mengambil jarak. Bibirnya kelu tapi ingin mengucapkan sesuatu. Aku tidak begitu jelas mendengar karena suara Aga terdengar terbata-bata, hanya satu kalimat yang terdengar jelas, “Iya. Iya. Sama-sama.”
“Ini kayak mimpi. Bisa liat senja. Di Pantai Ancol. Sama lo.”
“Lo yang minta. Tadi katanya, lo bakalan maafin gue kalau gue nganterin lo liat senja. Gue nggak tau tempat yang bagus buat liat senja, gue ajak jalan aja ke pantai terdekat. Yang deket, kan, cuma Ancol ini.”
“Ini jauh, sih, Ga. Sampe pegel gue naik motor sama lo.”
“Bawel, nih, ah, tusukan cilok.”
“Jahat lo, Ga. Cantik-cantik gini masa dibilang tusukan cilok, sih?” aku sedikit memukul bahu Aga, “Makasih, ya, Ga. Pokoknya makasih.”
“Iya. Sama-sama.”
“Lo nggak punya kalimat selain sama-sama, ya?”
“Iya, Sama-sama, Bella.”
Aku tersenyum, “Gue ditraktir beli buku ini juga. Kumpulan soal Lulus Perguruaan Tinggi Negeri jalur SNMPTN dan SIMAK UI.”
“Eh, kok, tulisan di sampul bukunya Kumpulan soal Lulus Perguruaan Tinggi Negeri jalur SNMPTN dan SIMAK UI untuk Jurusan IPS, sih? Lo salah beli?” Aga menggelengkan kepala, “Mau balik ke Gramedia lagi nggak? Buat nuker bukunya? Lo gimana, sih, bisa salah beli gini?”
“Aga, gue nggak salah beli. Ini gue ambil sendiri.”
“Harusnya lo beli yang buat jurusan IPA, kan. Teknik Sipil itu, kan, jurusan IPA. Bukan IPS.”
“Beberapa bulan ini, sebelum SNMPTN dan SIMAK UI, gue bakalan belajar IPS murni, Ga. Gue mau kejar mimpi gue. Kuliah di jurusan Sastra Indonesia, Ga. Supaya jalur gue jadi penulis jauh lebih mulus. Ilmu selama gue belajar di IPA juga nggak bakalan hangus. Bisa gue pake buat ngerjain soal tes ekonomi dan matematika dasar.”
“Jangan lupa. Geografi juga bakalan ketemu itung-itungan, kok. Ngitungin penduduk. Oh, iya, akuntansi juga.” Aga menambahkan.
“Iya, gue bakalan belajar itu semua.”
“Serius, Bel?” Aga tertawa geli, dia mengacak-acak rambutku, “Bella, bangun! Bangun dari tidur lo! Bangun dari mimpi lo! Nggak gampang, Bel.”
“Ga, ini mimpi gue. Gue bakalan jelasin ke orang tua gue. Gimanapun caranya. Gue janjiin apa yang bisa gue janjiin. Gue jaga rasa kepercayaan mereka.”
“Risikonya terlalu gede, Bel.”
“Lebih baik gue nyesel karena udah nyobain, daripada gue nyesel karena nggak pernah nyobain, kan?”
“Ini, nih, cewek paling berbahaya yang pernah gue kenal. Gue nggak pernah liat lo sebebas ini, Bel.” cowok itu menatapku dalam-dalam, “Kalau udah jadi penulis sukses, jangan lupa, kita pernah rencanain mimpi lo bareng-bareng. Di Ancol, ya, Bel.”
“Iya, Ga. Makasih banyak, ya.”
“Iya. Iya. Sama-sama, Bel.”
“Tuh, kan, lo nggak punya kata-kata lain selain sama-sama?”
“Ada, nih.” Aga terdiam beberapa saat, dia menghela napas pelan, “Kamu mau jadi pacar aku?”
“Hah? Maksudnya?”
“Kamulah senja tanpa nama. Ia pesona senja yang akan membuat kita terlalu mudah jatuh cinta. Tanpa itu semua—tetapi hatiku sudah penuh dengan segala sesuatu yang seolah-olah cinta.” ucap Aga sambil menggenggam erat jemariku, “Tapi, semakin hari, semakin aku sadari. Perasaan ini bukan lagi seolah-olah cinta. Ini sungguh cinta dan aku kehilangan cara untuk mengendalikannya. Jadi….”
“Jadi apa, Ga?” aku menelan ludah, canggung luar biasa.
“Jadi, kamu mau nggak jadi pacar aku, Dera?”
“What?” Aku menatap Aga dengan tatapan bingung, “Nama gue Bella, bukan Dera.”
“Tapi, gue mau nembak Dera, Bel. Bukan mau nembak lo.”
“Lo latihan sama gue? Cara nembak Dera? Pake kalimat yang lo curi dari cerpennya Seno Gumira Ajidarma? Kumpulan cerpen yang lo coret-coret pake stabilo kemarin? Demi Dera, bukan demi gue? Iya, kan?”
“Wait. Wait. Lo, kok, jadi sensi banget, Bel? Lo lagi…”
“Gue lagi nggak dapet dan ini bukan tanggalnya gue dapet.” aku meluruskan, “Dera itu nggak cocok buat lo, Ga. Dan, lagi, lo nggak pernah cerita ke gue soal Dera.” “Emang kenapa gue harus cerita sama lo, Bel?”
“Karena gue…” aku kehilangan kata-kata, bibirku tidak mau bergerak sama sekali. Aku berusaha keras untuk berbicara, “Karena gue…”
“Kenapa gue harus cerita sama lo soal Dera? Kenapa, Bel?”
“Gue nggak suka sama dia.”
“Emang lo siapa sampe segalanya harus gue ceritain ke lo?”
Aku hanya menatap Aga tanpa menyelesaikan kalimat yang ingin aku ucapkan. Aku tidak tahu, mengapa kalimat yang Aga ucapkan tadi benar-benar menyakitiku. Aku mengambil tasku dan buku yang tadi dibelikan Aga, kemudian berjalan pergi meninggalkan Aga.
Satu. Seharusnya, ada langkah kaki seseorang yang mengikutiku di belakang.
Dua. Seharusnya, Aga sudah ada di depan mataku, menahanku untuk pergi. Atau berpikir untuk meminta maaf, mengucapkan kalimat bujukan agar amarahku mereda.
Tiga. Hingga hitungan ini. Aku bahkan tidak mendengar suara langkah kaki Aga di belakangku.
Baru kali ini, Aga tidak mengejarku.
°°
Semakin dekat menuju rilis #TidakPernahAdaKita! Siapa yang sudah nggak sabar? 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Pernah Ada Kita (Teaser)
Genç KurguSebelum buku Tidak Pernah Ada Kita buka pre order di tanggal 29 JANUARI 2018, Dwitasari bakal kasih sedikit bocoran mengenai bukunya. Persiapkan diri untuk mulai nabung dari sekarang dan banyakin tisu supaya ada yang basuh air matamu ketika terjatuh...