4

8.2K 598 4
                                    

Setelah hari aku meninggalkan Aga di pantai Ancol dan Aga tidak mengejarku, di saat itulah aku merasa tidak perlu lagi hatiku mengejar Aga. Perasaan yang aku pendam ini harus berangsur aku lepaskan. Aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Aga. Pria itu harus perlahan-lahan menghilang dari hidupku, juga perasaanku.

Berbulan-bulan, aku berfokus pada ujian-ujian penting dalam hidupku. Seperti UN SMA, SNMPTN 2012, dan SIMAK UI 2012. Dari seluruh persiapan itu, aku tidak pernah melibatkan Aga dalam hari-hariku lagi.

Aga mungkin juga bertanya-tanya pada sikapku selama ini. Hampir setiap hari, dia mengirim pesan singkat, yang sudah lebih dulu aku hapus, bahkan sebelum aku membacanya. Beberapa kali dalam seminggu, dia juga sering mampir ke rumah. Saat hal itu terjadi, aku bersiap menyusun alasan, meminta asisten rumah tanggaku untuk berbohong bahwa aku tidak ada di rumah.

Aku kerap melawan perasaan. Berbulan-bulan, aku melawan perasaan. Aga sudah tidak terlibat lagi dalam detik, menit, jam yang aku lalui. Aku benar-benar menghapus Aga dari daftar orang yang namanya aku sebutkan dalam doa.

Ketika dia tahu, aku diterima di jurusan kuliah yang aku impikan, dia mengucapkan selamat. Ketika cowok itu tahu, buku pertamaku telah terbit dan telah dipajang di seluruh toko buku, dia juga  mengucapkan selamat. Bahkan, secara khusus, Aga berfoto bersama buku yang aku tulis, di sebuah toko buku terdekat di tempat tinggal kami, kemudian mengirim fotonya ke pesan pribadi di Facebook-ku.

Hatiku menghangat melihat foto itu. Terutama melihat senyum Aga, senyum seorang pria yang akhir-akhir ini tidak aku cintai hanya sebagai sahabat saja. Dia sudah lebih dari itu. Aga sudah berada di posisi satu level lebih tinggi daripada sekadar sahabat. Dia bukan hanya teman cerita, dia lebih daripada itu.

Sore itu, senja sudah turun dari langit. Azan Magrib sudah berganti menjadi azan Isya. Mobilku masih tertahan di persimpangan jalan dekat rumah. Memang, persimpangan ini selalu jadi langganan macet. Padahal, jika tidak macet, aku bisa sampai rumah hanya sekitar sepuluh menit lagi. Di tubuhku, sudah berkumpul rasa lelah menghadapi jam kuliah. Ditambah lagi, mahasiswa baru harus sering-sering berkumpul untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh senior kami.

Ketika mendekati pagar rumahku, aku melihat seorang pria menghalangi laju pelan mobilku. Lampu mobilku menerangi wajah cowok itu, dia menutup matanya karena terkena silau lampu. Aga ada di sana, dia memegangi sebuah buku di tangan kanannya. Melihat Aga ada di depan mobilku, aku hanya menekan klakson berkali-kali. Aku berharap Aga menjauh hingga aku bisa masuk ke dalam pagar rumah.

Cowok itu bukannya menyingkir malah berlari mengetuk jendela mobilku. Aku membuka jendela mobil dengan wajah bingung, “Kenapa, Ga?”

“Bel, bisa turun nggak?” Aga memohon, “Jangan cuma ngomong dari jendela aja, dong. Lo pikir gue polisi yang mau nilang lo apa?”

“Ngomongnya dari sini aja, Ga. Gue capek. Mau ke rumah. Mau mandi. Mau tidur. Ngantuk.”

“Ya, makanya, turun, dong! Supaya kelar dan cepet selesai. Jadi, lo bisa cepet-cepet masuk ke rumah juga.”

Aku memutuskan untuk keluar dari mobilku, aku berdiri tepat  di depan Aga, “Mau ngomong apa?”

“Besok gue mau ketemu sama lo. Gue jemput jam empat sore bisa?”

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Aga, “Nggak bisa, Ga. Gue sibuk.”

“Lusa gue udah balik ke Semarang lagi, Bel. Dan, lagi…” Aga menunjukan sesuatu, “Gue mau minta tanda tangan di buku lo, kan. Boleh?” “Oh, gue tanda tangan sekarang aja kalau gitu,” aku membuka pintu mobil dan mencari ballpoint, “Sini, bukunya.”

“Nggak seru kalau minta tanda tangan tapi nggak meet and greet sama penulisnya.” Aga menyembunyikan buku itu di belakang tubuhnya, “Besok gue jemput, ya. Gue nggak mau nerima jawaban nggak.”

“Gue nggak bisa, Ga. Sorry.”

“Inget, gue nggak terima jawaban nggak.” Aga meninggalkanku dengan cepat.

Beberapa detik setelahnya, Aga hanya mengacak-acak rambutku, kemudian kembali ke dalam rumahnya. Aku kembali masuk ke mobilku. Menyalakan mesin dan memarkirkan mobilku di bagasi. Untuk apa Aga mengajakku bicara lagi di saat aku sedang ingin menghapus perasaanku?

Tidak Pernah Ada Kita (Teaser)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang