また会えるから Part 2

224 31 26
                                    

Yongsan-gu, 01 Juni 1989


Annyeonghaseyo, Hyung...

Kau, ingat aku? Aku Jung Ilhoon. Ilhoon-ie: teman bermainmu dulu. Sudah lama, bukan? Maafkan aku karena baru menghubungimu sekarang. Aku hanya bisa mengawali surat ini dengan kata 'maaf'. Bagaimana kabarmu? Apakah kau sehat? Bagaimana kabar orangtua dan adikmu, Ji-Eun? Kupikir ia sudah semakin dewasa dan cantik sekarang, bukankah begitu?

Hyung... ah... aku..

Sejak aku pindah ke Gangnam 15 tahun lalu, hari-hariku terasa sangat sepi. Tidak ada teman bermain yang menyenangkan sepertimu, Hyung. Kala itu, aku begitu ingin berkirim surat denganmu atau bahkan kembali ke Gwangjin-gu untuk sekedar menengok keadaan atau bermain bersamamu barang satu atau dua jam. Tapi kenyataan selalu membuatku ingkar akan keinginan-keinginan sederhana itu.

Setelah dua minggu berada di Gangnam, keadaan di sini semakin rumit. Ayah pergi meninggalkanku dan ibu, Hyung. Ia terkena serangan jantung. Sungguh, jika saat itu aku bisa memilih untuk kembali, aku akan kembali. Tapi apa? Nyatanya Tuhan begitu bahagia mencobaiku. Tidak... mungkin lebih tepatnya Ia membenciku (?) ah, aku tidak tahu banyak soal keinginan Tuhan, yang pasti sekali lagi ia mengambil hartaku yang paling berharga.

Satu tahun setelah kepergian ayah yang tiba-tiba itu, ibuku menyusulnya. Aku tidak menangis. Aku tidak bisa menangis. Melihat ibu yang bahkan ketika tertidur panjang masih juga terlihat cantik, aku hanya bisa tersenyum sementara orang-orang di sekitarku terus meraung-raung sedih. Apakah aku melakukan sebuah kesalahan? Air mataku kering, sungguh kering. Apakah aku berdosa jika tidak menangis di rumah duka mengiringi kepergian ibuku?

Hyunsik~Hyung...aku berharap kehidupanmu baik-baik saja. Meski tentu tidak sebaik itu, kuharap setidaknya kau jauh lebih beruntung dariku. Juga, balaslah suratku, hm? Bogoshipeo yo, Hyung...

- Jung Ilhoon -
~©®~



Laki-laki itu mematut diri di depan kaca besar yang tak jauh dari loker almari pakaiannya: itu berjejer dengan loker-loker lain milik rekan kerja. Ia tengah buru-buru, sebentar lagi petugas pengumpul surat akan berkeliling, setidaknya ia tak melewatkan waktu itu untuk menitipkan seamplop surat berperangko bunga sakura yang baru saja ia tulisi alamat tujuan.

"Sersan Jung? Kenapa buru-buru? Kau ada piket malam ini? Atau uijang-nim memanggilmu?" tanya salah seorang petugas.

"Ahh... anieyo. Aku sedang menunggu Jeong-man," jawabnya singkat sambil melepas senyum: meski belum sedetikpun terlelap usai jaga semalam tadi.

"Jeong-man? Ahh, pesuruh itu... tumben kau menunggunya? Beberapa menit lalu dia lewat di depan ruangan ini, mengantar makanan untuk orang-orang."

"Aku ingin menitipkan surat padanya, petugas Sung. Kudengar ia juga mengambil surat para tahanan dan mengirimkannya ke kantor pos di hari Jumat. Benar, kan?" Laki-laki itu memastikan.

Jung Ilhoon tidak pernah peduli dengan fasilitas apa pun di dalam sel meski ia tahu benar itu ada. Ia tidak pernah repot menghafal jadwal pengiriman surat selain jadwal kunjungan keluarga napi yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Laki-laki itu bahkan tidak ingin tahu urusan rekan kerjanya yang selalu mengeluh soal peraturan-peraturan baru: itu membuang-buang waktu, tidak penting, tidak mendatangkan keuntungan.

"Bukankah kemarin kau sudah mengirim surat? Hari ini kau mengirim lagi? Wuahh pada siapa itu? Ehm, kekasihmu? Eiiii... rupanya kalian menempel perangko mahal supaya pengirimannya kilat, ya? Aigooo Sersan Jung, aku iri padamu," godanya.

Jung Ilhoon hanya menahan tawa. Mati-matian ia menyembunyikan senyumnya. Meski nyatanya ia terkenal begitu angkuh, kaku, dan dingin, ia tetap tidak bisa menahan diri ketika seseorang menyinggung soal 'kekasihnya': lak-laki itu tengah jatuh cinta.

"Ya! Lebih baik selesaikan tugasmu, eoh? Bukannya kau harus menulis laporan setebal tesis? Jangan jadi orang sok tahu, araseo?" Ia berlalu: buru-buru, hatinya membuncah acapkali mengingat sebuah kata yang berkorelasi dengan kebahagiaan dan cinta.

"Hei, kau baru saja tersenyum, kan? Iya kan?!!! Ya! Sersan Jung! Jabyeoss-eo! Kau ketahuan! Hhahaha..." Mendengar kicauan rekan kerjanya, laki-laki itu kian mempercepat langkahnya: meski tidak tahu hendak menuju ke mana.

Langkah kaki yang buru-buru itu kemudian terhenti. Jung Ilhoon menghela napas pendek, matanya menerawang jauh ke luar tembok tinggi pemisah lapas dengan dunia luar, kemudian mengeluarkan sepucuk surat dari saku celana seragamnya: surat beramplop putih berperangko bunga sakura. Dibolak-baliknya surat itu berulang kali sambil terus memutar memori lama yang masih terus diingatnya sampai detik ini meski sempat samar di beberapa waktu.

"Hyung, aku harus pindah. Ayahku dimutasi ke Gangnam," ujar bocah laki-laki itu.

"Pindah? Ke Gangnam? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang, Ilhoon~ah? Apakah kau akan lama di sana? Berapa lama, hm?" Seseorang yang dipanggil 'hyung' mendadak gelisah. Itu terlalu tiba-tiba.

"Aku tidak tahu. Yang pasti, ayah tidak pernah mengatakan bahwa kami akan kembali kemari. Jadi, Hyung..."

"Ke manapun kau pergi, kau harus tetap menghubungiku." Bocah itu mengalihkan pandangannya. Ia menyibukkan diri memainkan jari-jari.

"Hyunsik~Hyung..."

"Gwaenchana, Ilhoon~ah.. naneun gwaenchana. Kau... dengar aku baik-baik. Di tempatmu yang baru, kau harus menjaga kesehatan. Banyak-banyaklah makan sayuran dan minum susu. Jangan suka mengonsumsi ramnyun, itu tidak baik untuk kesehatanmu, eoh? Kau juga harus mencari banyak teman, Jung Ilhoon. Di Gangnam, aku mendengar bahwa orang-orang tidak sebaik di sini, jadi berhati-hatilah memilih teman. Kau mengerti?"

"Kenapa pesanmu panjang sekali, Hyung? Aku hanya pergi ke Gangnam. Aku bisa mengunjungimu kapanpun." Ia terkekeh.

"Ya! Banyak orang suka berjanji, tapi tidak semua orang punya kesempatan untuk menepatinya. Juga, jangan menjanjikan apa pun yang membuatku berharap banyak..."

"Waeyo?"

"Karena kau adalah pembohong licik!"

"Mworago????!!!!"

"Ani... ani...aku bercanda hahaha... tentu saja karena kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan. Jadi, cukup jalani saja hidupmu dengan baik. Berkunjunglah kemari jika kau memang ingin berkunjung. Jangan pernah menjanjikan apa pun, karena aku tidak akan percaya hahahahaha..."

Jung Ilhoon tersenyum simpul setelah menyeruput kuah ramnyunnya yang panas: asap masih mengepul di mulut cup-nya. Ia membiarkan rasa asin gurih kuah itu bertahan lama di lidah sambil terus menerus mencecap. Dia bilang ramyun tidak baik untuk kesehatan, tapi ramnyunnya enak, aish orang itu. Lagi-lagi ia menyeruput kuah ramnyun: kali ini bersama mie-nya. Ada rasa puas dan lega yang begitu hebat ketika ia berhasil mengunyah ramnyun tanpa putus: ya, semacam kebanggaan tersendiri.

"Waktunya mengumpulkan surat!!!!!!" Itu dia, si Jeong-man! Batin Jung Ilhoon.

"Ya! Jeong-man~i...ili-wa..." panggilnya.

"Oh? Sersan Jung?" sahut Jeong-man.

"Aku titip ini, satu lagi ya... hehehe jangan lupa disetorkan ke kantor pos, oke?" Jung Ilhoon menyodorkan amplop itu: amplop berperangko bunga sakura.

"Im Hyunsik (?)" Pesuruh itu mengeja sambil melirik sedikit ke arah orang yang mempercayakan surat padanya. Namun orang itu hanya mengibaskan telapak tangannya, menginstruksikan agar Jeong-man buru-buru pergi mengambil surat lain dan mengantarkannya ke kantor pos Yongsan-gu.

Jung Ilhoon melanjutkan aktivitas menyeruput kuah ramnyunnya sambil beberapa kali mengamati sel-sel dari cctv. Tidak ada yang aneh. Ia lalu menuntaskan makan siangnya kemudian menyambar teh hangat yang ada di meja.

"Suratku... tolong.. sampailah padanya..."

--- mataaerukara ---

[2018] また会えるから- MATA AERUKARA ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang