また会えるから Part 3

191 31 7
                                    

Gwangjin-gu, 9 Juni 1989


Jung Ilhoon...

Ilhoonie, apakah ini benar-benar kau?

Kau... benar-benar baru menghubungiku sekarang, bodoh! Ini sudah lima belas tahun berlalu. Aku berdiam diri tanpa memercayai satupun ucapanmu tentang janji-janji itu. Dasar bocah! Sungguhkah kau baik-baik saja? Aku sehat, Ilhoon-ah: sangat sehat. Orangtuaku dan Ji-Eun, aku yakin mereka juga sehat. Ya meski aku pun tidak benar-benar yakin. Maafkan aku.

Bagaimana kau hidup lima belas tahun terakhir tanpa ayah dan ibumu, Jung Ilhoon? Aku turut berduka atas kepergian mereka. Walau demikian, bukankah seharusnya kau memberi kabar padaku saat itu? Bagaimanapun juga, orangtuamu juga orangtuaku. Kau sendiri yang mengatakan itu padaku, kan? Seandainya saat itu aku ada di sana menemanimu, mungkinkah kekosongan selama lima belas tahun ini tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan kita?

Ya, Jung Ilhoon, aku melihat alamat yang tertera di amplop surat yang kaukirim padaku: Yongsan-gu. Ah, aku juga seorang pengantar surat, Ilhoon-ah. Setiap dua bulan sekali aku mengantar surat ke sana. Tapi aku hanya melihat sebuah kode di belakang alamat Yongsan-gu: [p71S0N], tidak ada nama jalannya. Beberapa surat juga ditujukan ke sana. Jadi di manakah itu? Meski aku hanya mengantar sampai kantor pos, setidaknya beritahu aku apakah itu nama jalan yang baru karena ini masuk minggu ke-3 sejak terakhir kali aku ke Yongsan-gu.

Mungkin jika aku tahu benar alamat itu, kita bisa berjumpa saat aku pergi ke Yongsan-gu. Bukankah begitu? Yang ada dalam pikiranku sekarang hanyalah: jika kau tidak bisa datang, maka aku yang akan menghampirimu. Jika kesempatan tidak berpihak padamu, mungkin ia memberiku jalan untuk bisa mewujudkan keinginan kita: sebuah pertemuan itu, karena aku begitu merindukanmu Ilhoon-ah.

Dan... seberapa dewasanya kau sekarang, hm? Ketika mendapat surat dan kubaca nama itu di sana, yang begitu ingin kutemukan selain sebuah kertas dan tulisan panjangmu adalah sebuah foto: fotomu. Apakah kau semakin tampan, atau masih saja tengil seperti dulu (?) Maaf aku bercanda, Ilhoonie hahaha...

Kuharap...aku mendapat sebuah surat balasan karena begitu banyak surat yang kukirim namun tak terbalas: baik itu lima belas tahun lalu, atau akhir-akhir ini. Juga, karena kau yang menemukanku, jangan lagi pergi tanpa pamit.


- Im Hyunsik -
~©®~



Laki-laki itu baru saja keluar dari kantor pos Gwangjin-gu utara setelah beberapa saat lalu berlarian dari halte bus: mengejar waktu, berharap jam buka kantor pos belum berakhir sehingga suratnya bisa terkirim besok pagi.

Ia sudah menulis surat balasan sejak tadi pagi, namun sama sekali belum sempat menitipkannya ke kantor pos: surat yang harus ia kirim begitu banyak, lebih-lebih yang bertujuan ke Busan. Im Hyunsik berakhir menyimpan suratnya sendiri hingga sekembalinya ia dari Busan.

Baginya, surat pertama dari Jung Ilhoon adalah sebuah oase yang melegakan jutaan perasaan rindu yang ia endapkan selama belasan tahun. Setelah sebelumnya menempatkan anak itu sebagai sahabat kesayangan yang mengerti benar semua hal yang ia alami: kesedihan, kebahagiaan, duka, nestapa, juga cinta, ia kehilangan. Mulutnya selalu berkata bahwa ia tak pernah memercayai janji Ilhoon, namun hatinya tidak bisa berbohong untuk tetap menunggu kedatangan sahabatnya itu.

Setelah setengah jam berjalan menyusuri berbagai jalan yang di sisinya menggantung lampu-lampu redup, Im Hyunsik akhirnya sampai di depan sebuah rumah bercat kuning usang: rumah tua yang halamannya penuh daun berserakan, di berbagai sudut lapisan catnya mengelupas, dan beberapa barang terletak bukan pada tempatnya. Tangannya sudah menyentuh knop pintu, namun hatinya mendadak ragu, kakinya enggan melangkah masuk.

"Gwaenchana, gwaenchana...kajja..." gumamnya memantapkan hati. Berulang kali ia merapalkan kalimatnya, berharap itu adalah sebuah mantera ajaib yang mampu mewujudkan harapan agar semua baik-baik saja.

Kasut itu tertanggal di depan pintu. Im Hyunsik sudah memutuskan untuk benar-benar masuk ke dalam, apa pun yang terjadi.

Pranggg!!!!!!!

Sebuah botol soju terlempar ke sisi tembok di samping Hyunsik berdiri. Laki-laki paruh baya yang melemparnya masih berdiri tak jauh dari sana sambil sesekali terhuyung. Ia mengacungkan tangannya ke depan, menunjuk ke arah puteranya yang masih mematung di sana karena terkejut.

"Hyunsik-ie kau!!! Kau menganggapku apa, eoh? Berani beraninya kau mengabaikan aku, hm? Dasar tidak tahu diuntung!"

"Appa..." Kalimatnya tercekat. Laki-laki yang dipanggilnya 'appa' itu sudah mencengkram krah pakaian Im Hyunsik dan mendorongnya hingga tercekik.

"Ya! Siapa yang kau tiru itu? Siapa yang kau tiru hingga berani pergi pagi-pagi benar dan berusaha menghindar: tak mau melihat wajahku, anak sial? Ibumu? Ibumu yang mengajari itu? Hasss wanita itu. Mwo-ga? Kau juga tak suka tinggal bersamaku? Jujur saja, eoh!!!! Brengsek!" Ringan, punggung telapak tangan besar laki-laki paruh baya itu menampar wajah Im Hyunsik keras-keras hingga ia tersungkur ke lantai.

"Appa, bukankah ini sungguh keterlaluan? Jika kau tidak suka, jangan sebut nama eomma dengan panggilan itu! Tidakkah cukup kau selalu menyakitinya seperti yang kau lakukan padaku setiap hari, hm??!!!" Sedikit terhuyung, Hyunsik bangkit sambil memegangi rahangnya yang ngilu.

"Mworago? Kau... kemari kau!!!! Berani-beraninya!"

"Kau mabuk, Appa!!! Berhentilah, kumohon, eoh? Aku tidak mau kita bertengkar seperti ini. Ini menyakitkan! Ini menyakitkan!!!!! Jebal, geumanhae-yo!!!" Sepasang mata kecil laki-laki itu berkaca-kaca. Ia sudah melakukannya. Ia sudah mengatakannya: mengatakan sesuatu hal yang begitu ingin ia katakan sejak dulu.

Seandainya dulu ia lebih berani mengatakan hal itu, mungkin ia tidak akan pernah kehilangan jejak ibu dan adiknya hingga saat ini. Mungkin. Kala itu Hyunsik hanyalah remaja yang hanya bisa memeluk adik kecilnya acapkali kedua orangtua mereka berseteru. Jung Ilhoon juga sudah pergi. Seketika ia berakhir sebagai seorang pengecut yang memendam semua kata-kata: padahal itu yang sangat ingin ia ucapkan.

Hyunsik membanting tas kerjanya lalu pergi ke kamar dan mengunci ruangan itu dari dalam. Tanpa berniat keluar sedetikpun dari kamar bahkan untuk sekedar makan karena sejak pagi tak ada sesuap nasi pun yang masuk ke dalam mulutnya, ia mematikan lampu, menutup tirai jendela, membiarkan sekitarnya betul-betul gelap, lalu meringkuk di sisi tempat tidur sambil memukul dadanya yang tiba-tiba menyesak: mengharuskannya menjatuhkan air mata bertubi-tubi hingga lelah.

"Eomma, jwoya gess-eo...aku membutuhkanmu... eomma... ahhh...jebal.. jebal, jangan katakan bahwa aku telah salah memilih keputusan... jebal..." Air mata yang menderas itu tak seorangpun dapat melihatnya, bahkan Im Hyunsik.

Malam itu, dua laki-laki yang terpisah oleh sekat pintu kamar tengah sama-sama berdiam diri. Keduanya berusaha untuk tidak membenci masa lalu, namun hari itu sama sekali tidak pernah datang: hari di mana mereka berhenti menyalahkan satu sama lain dalam hati. Im Hyunsik dan ayahnya, mereka memerangi diri sendiri tanpa henti.


--- mataaerukara ---

[2018] また会えるから- MATA AERUKARA ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang