また会えるから Part 9

120 23 18
                                    


Im Hyunsik ingin buru-buru meninggalkan rumah itu: rumah yang udaranya dipenuhi bau alkohol, remah-remah kulit kacang di atas meja dan lantai, juga beberapa tulang ayam yang berserakan. Ia risih acapkali menjumpai semua itu ketika pulang atau bahkan hendak berangkat bekerja. Bukan maksud hati tak ingin membereskan semuanya dengan sukarela, namun Hyunsik terlampau lelah untuk membuat rumahnya rapi, sementara selalu ada orang yang mengacaukan.

Appa, aku berangkat.” Ia mengucapkan sebuah kalimat yang seperti uap, yang bahkan tidak pernah ditanggapi walau hanya dengan kata ‘ya’ atau ‘tidak’.

Laki-laki itu selalu mengabaikan soal sarapan. Baginya, akan jauh lebih baik ia merangkap sarapan dengan makan siang dan makan sore dengan makan malam. Meski siapapun tahu bahwa ia begitu menyukai makanan, namun keinginan Hyunsik untuk mengumpulkan lebih banyak uang bukanlah sesuatu yang main-main. Ia mempersiapkan segala sesuatunya: berharap jika suatu saat ibu dan adiknya datang, ia tidak akan kekurangan apa pun.

“Hyunsik~ah, beri aku sedikit uang!” Suara itu menghentikan langkah Im Hyunsik yang sudah nyaris melampaui batas pintu.

“Untuk apa, Appa? Aku sudah memberimu uang kemarin. Apakah itu tidak bersisa?” tanyanya. Ia sungguh sudah memberikan itu kemarin.

“Berikan saja uangnya. Yang kemarin sudah habis. Kau tidak mau appa-mu ini mendapatkan masalah, kan??”

“Apa maksud Appa? Masalah apa? Seolma… mungkinkah…kau mulai berjudi lagi? Benarkah itu, eoh??!!!!” Im Hyunsik mengembuskan napas pendeknya dengan kasar. Emosinya tiba-tiba naik. Amarah itu tengah mengisi relung hatinya.

Beberapa waktu belakangan, yang ayahnya lakukan hanya minum-minum di rumah setelah sebelumnya tiap malam sibuk berjudi. Namun nyatanya, air tetaplah air, darah tetaplah darah, dan candu masihlah candu. Manusia tanpa keinginan untuk berubah menjadi lebih baik, mereka hanya air yang tidak pernah berubah meski ditempatkan dalam wadah berbeda. Teorinya masih sama: bukan soal waktu, tapi sifat yang bebal.

Ya! Jangan terlalu banyak bicara, Hyunsik~ah. Kau sudah seperti eomma-mu saja kalau seperti itu. Jika kau tinggal di rumahku, kau sebaiknya menurut saja. Kalau aku meminta uang, berikan. Toh appa-mu ini tidak minta banyak. Kau juga bekerja, kan? Lagi pula kalau aku menang nanti, kau pun menikmati hasilnya, eoh!”

“Aku tidak pernah inginkan hal itu! Di mana letak kesalahannya jika aku mirip dengan eomma? Juga, aku tinggal di sini karena mengkhawatirkan Appa, bukan untuk mendukung hal-hal buruk yang Appa lakukan!”

YA! GE JASIG!!!

Im Hyunsik membanting pintu utama tanpa menghiraukan ayahnya yang berteriak marah. Baginya, percakapan itu harus dicukupkan apa pun yang terjadi. Ia hanya tidak ingin memulai harinya dengan kemarahan yang menyelimuti hati. Ia hanya… mencoba bertahan selama mungkin untuk tinggal di sisi laki-laki paruh baya itu meski nyatanya sang ayah pernah dengan sengaja menyembunyikan semua surat dari Jung Ilhoon, membiarkan Yoo Eun Gi menunggu kedinginan di luar ketika hendak bertemu dengan Hyunsik, dan melukai Ji-Eun karena bocah itu malu pergi ke sekolah: malu dengan ayahnya yang mantan narapidana.

Ilhoon~ah, kenapa kau belum mengirimiku surat lagi? Apakah kau sangat sibuk? Ini sudah dua minggu sejak kita bertemu. Belum adakah kabar soal keberadaan ibu dan adikku? Apakah kau sehat-sehat saja, Jung Ilhoon?

Sepanjang perjalanan ke kantor pos, Hyunsik terus menggumamkan hal itu. Sambil mengayuh cepat-cepat sepedanya, ia memikirkan banyak hal. Ia bahkan berniat mengirim surat terlebih dahulu dan menanyakan keadaan sahabat kecilnya, namun waktu yang ia miliki begitu runtut, tidak memungkinkannya menulis sekarang.

[2018] また会えるから- MATA AERUKARA ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang