Pilot

212 6 0
                                    

"Apakah menurutmu aku ini orang gila?" Tanya Jonghyun sambil menatapkan pandangannya ke langit-langit kamar, suara itu menghampiri dan berhasil tembus melewati kedua daun telingaku. Aku membelokan kecil pandanganku—menatap dirinya yang sedang merebahkan tubuh di sisi kanan ranjang dengan memakai celana hitam pendek dan baju tidurnya yang berwarna coklat tua, semuanya beradu dengan spraiku yang berwarna putih.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Tidak," jawabku yang sedang menulis.
Segelintir partikel udara menyatu dengan suara kecil yang telah keluar dari mulut, bersamaan dengan diriku yang sedang menulis. Kemudian aku membalikan kertas tanpa sedetikpun mengalihkan pandanganku.
"Mereka bilang, tatapanku terlihat kosong,"
"Mereka siapa?" Tanyaku sambil melirik ke arahnya sesaat.
"Orang." Ujarnya. Ia terdiam sebentar, "Katanya, aku terlihat tidak gembira," lanjutnya. Jonghyun mengerkah bibirnya dan menempatkan tangan kanannya ke atas dahi.
Aku mengernyitkan dahiku.
"Orang yang mana?" Tanyaku lagi dengan lebih serius—tanpa memandangnya. Kali ini aku melakukannya sambil menghentikan tulisanku.
"Semua orang."
"Aku tidak," ujarku.
Aku melanjutkan tulisanku lagi. Suara hentakan nafas terdengar sekilas jelasnya dari arah belakangku, kecil dan tidak terlihat. Tapi suaranya mengganggu bagian hatiku yang paling dalam, dan rasa itu semakin mengganggu ketika ruangan ini berubah menjadi sunyi.
"Jadi menurutmu, aku ini tidak gila?" Pertanyaan itu menjadi pemecah utama dari frekuensi kesunyian. Ia menatapku yang masih terduduk manis sambil menulis di atas meja berwarna hitam.
"Tentu saja tidak," jawabku. "Aku tidak pernah mau berteman dengan orang gila," kataku lagi. Aku terdiam sesaat—meletakan penaku, entah mengapa, semua ini mulai terasa salah. "Mengapa kau tiba-tiba berasumsi bahwa kau ini gila?" Aku memutarkan arah dudukku di kursi beroda—kulihat dirinya yang berbaring dan menatapku dengan mata yang terlihat lesu, seperti matahari yang baru saja kehilangan fajarnya.
"Kau selalu saja seperti ini," kata Jonghyun. Ia membuang pandangannya dariku dan menatap kembali ke langit dinding kamar.
"Seperti apa?" Tanyaku bingung.
"Kau selalu berkata seolah-olah aku ini baik-baik saja," ia menghelakan nafasnya lagi, kali ini terdengar sepuluh kali lebih kencang dari sebelumnya. "Kau tidak pernah jujur," ujarnya pelan dengan raut wajah yang mulai terlihat kesal.
Masih kutatap jelas dirinya yang berhadap-hadapan denganku. Aku melekukan kedua telapak tanganku dan menumpukannya di atas lutut, membuang tatapanku ke lantai. Sepuluh, atau bahkan ratusan kata "tenang" kuucapkan di dalam hati. Sekuat mungkin aku berusaha untuk tetap terlihat tenang, walaupun kenyataan mungkin berkata sebaliknya. Namun aku sadar jika ini bukanlah suatu hal yang baru. Sehingga aku mulai menarik dalam nafasku dan menghembuskannya dengan sangat pelan, pelan sekali. Lalu, ku arahkan pandanganku ke dirinya dengan tatapan serius.
"Aku tidak pernah berbohong padamu, Kim Jonghyun," ujarku dengan sangat lembut. Senyuman kecil kuberikan untuk melengkapi gambaran wajahku saat ini. "Jangan teralu memikirkan perkataan orang-orang,"
"Aku selalu bersikap jujur kepada mereka," ucapnya dengan nada yang mulai meninggi. Jonghyun memejamkan matanya, seolah-olah ia ingin tidur—atau mungkin, ia memang tidak pernah ingin bangun. "Aku selalu menangis ketika aku ingin menangis, dan tertawa jika ingin tertawa. Aku selalu melakukan apa yang seharusnya aku lakukan." Ia terdiam sesaat. "Jadi kurasa, apa yang mereka lihat di dalam diriku adalah memang apa yang sebenarnya terjadi kepadaku," katanya dengan suara keras dan menekan. Kekecewaan tergambar jelas pada raut wajahnya, kesedihan juga sangat terasa ketika aku menatap dirinya, nada bicaranya yang keras—seperti orang yang sedang marah dan kesal.
"Tapi kau selalu menutupi apa yang ingin kau tutupi," kataku dengan nada yang tenang. "Memang, kau selalu menangis ketika ingin menangis, dan tertawa jika ingin tertawa. Tetapi apakah kau akan marah ketika kau ingin marah?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku yang tipis, seolah-olah diriku sudah mulai lelah dengan kenyataan bahwa Jonghyun tak pernah ingin menyalahkan orang lain. Jonghyun tidak menjawab pertanyaan itu, tentu saja. Apa yang bisa dijawab dari sebuah pertanyaan yang tidak ada jawabannya? Kulihat dirinya yang mulai membuka pelan pejaman matanya dan kembali menatap ke langit-langit dinding kamar. Ia sama sekali tidak memberikan respon ke perkataanku—atau bisa saja ia hanya menyembunyikan responnya. Tangan kanannya pun masih tetap terlekuk manis di atas dahinya yang lebar—menutupi poni hitamnya yang panjang dan berwarna coklat pekat.
"Apakah kau akan memarahi orang-orang seperti kau marah pada dirimu sendiri?" Tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Aku kenal dirimu, Jonghyun. Sampai kapan kau akan terus seperti ini?"

Hening.

Ia tidak menjawab sepatah katapun pembicaraanku.

Suara detakan jantungku terdengar sangat jelas. Angin yang keluar dari pendingin ruangan pun suaranya menembus baik melewati daun telingaku. Salahkah aku berbicara kenyataan?

Sesaat dunia ini terasa begitu hampa.

Aku mengingat serangkaian peristiwa-peristiwa yang pernah di alaminya, serangkaian kejadian-kejadian menyebalkan yang selalu saja terjadi ketika ia akan memulai ataupun mengakhiri pekerjaannya. Kejadian rutin yang hampir selalu membuatnya kesal sebelum dan sesudah ia memulai semuanya.
Semua orang rela menunggu Jonghyun di depan gedung kantor selama berjam-jam hanya demi mendapatkan foto-foto atau video singkat tentang dirinya yang sedang berdiri di depan gedung menunggu pintu yang terbuka. Teriakan-teriakan banyak orang yang terus memanggil namanya, mereka benar-benar keteraluan dan kelewat batas—seperti tidak tahu privasi seseorang.
Aku menatapnya yang sedang berbaring di ranjang. Jonghyun tidak suka semua orang yang tidak menghargai privasinya. Ia juga tidak suka mendengar teriakan-teriakan orang yang terus memanggil namanya disaat ia sedang tidak ingin diganggu. Tetapi herannya, ia tidak pernah marah kepada mereka. Ia menyimpan amarahnya jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Ada waktunya ia akan marah, tetapi bukan pada mereka. Jonghyun akan marah pada dirinya sendiri—menyalahkan dirinya yang tidak sempurna.
"Jangan seperti itu, Jonghyun," aku mengembalikan percakapan. "Kau selalu ingin melihat mereka senang. Memang, kau selalu tertawa jika ingin tertawa, dan menangis ketika ingin menangis, tapi semua itu hanyalah di atas panggung. Aku yakin kau juga melakukannya karena sebenarnya kau takut semua orang akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padamu," lanjutku.
Jonghyun tiba-tiba menurunkan tangan kanannya dari dahi dan mengangkat sedikit kepalanya yang sedang bersandar di bantal. Kemudian, ia menatapku sambil mengkerutkan dahinya. "Sesuatu memang terjadi padaku, dan sekarang aku merasa sulit." Jonghyun kembali menutup matanya. "Aku kadang lupa pada kenyataan bahwa sebenarnya aku ini sedang sakit, dan aku juga sedang berusaha mati-matian untuk melawannya," katanya dengan nada tak bersemangat.
Kata-kata itu menyakitkan telinga dan bagian hatiku yang paling dalam. Secara fisik, tidak terasa sakit, namun aku dapat merasakan diriku yang bergetar di dalam kenyataan. Aku langsung mengangkatkan tubuhku dan menghampirinya—membaringkan diriku disamping kiri dirinya yang masih terlentang sempurna di atas ranjang. Lalu, kulihat dirinya yang juga membalikan tubuhnya ke arahku. Aku dapat melihat jelas setiap inci lekukan garis yang terpampang nyata di wajahnya. Jonghyun yang pernah kukagumi, dia sangat tampan. Bagaimana bisa orang setampan Jonghyun harus melawan penyakit seperti itu?
"Kau hebat Jonghyun," kataku pelan. Kemudian Jonghyun menatapku dalam. Aku merapikan poni coklatnya yang panjang. "Kau telah melakukan yang terbaik, kau hebat."
Aku terus menatapkan mataku pada Jonghyun sampai akhirnya kulihat dirinya yang mulai tersenyum lebar padaku. Manis sekali. Sesekali tatapannya berhasil mencuri bagian hatiku yang paling dalam. Membuatku teringat kembali akan kenangan masa lalu. Aku rindu. Aku rindu senyuman itu.
"Apakah kau seorang dokter?" Tanya Jonghyun dengan pandangan polos. Ia terus menatap mataku. Raut wajahnya yang lucu—benar-benar terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang memohon untuk diberikan permen.
Aku tertawa kecil.
"Menurutmu?"
"Aku tidak tahu." Kemudian ia kembali berbaring dan menatap langit kamar. "Tapi kuharap iya,"
"Aku tidak akan pernah mau untuk menjadi seorang dokter," seketika raut wajahku berubah menjijikan.
"Mungkin kau harus." Ia menatapku lagi dengan tatapannya yang polos. "Karena sejujurnya kau lebih baik daripada seorang dokter,"
Aku melihat Jonghyun yang terus tersenyum sambil menatap kembali ke langit dinding kamar.
"Bahkan seorang dokter saja tidak berhasil memulihkanku," lanjutnya dengan nada yang menyedihkan. "Tapi sesaat kau berhasil," ia melirik kecil ke arah mataku.
Aku tersenyum.
"Selamat malam Lamberty." Ucapnya sambil membalikan tubuhnya dan menutup mata. Suasana hatinya sudah terlihat lebih membaik sekarang.

Aku merapikan selimutnya dan mengecup keningnya pelan. Selamat malam juga Kim Jonghyun, aku sayang padamu.

***

A Little GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang