Hari sudah mulai gelap, beberapa ekor kelelawar sudah mulai berterbangan. Kali ini, aku dapat melihat jelas tupai-tupai yang mulai memulangkan diri mereka ke rumah. Kupercepat langkahku menyusuri hutan terlarang ini.
Hutan ini sunyi sekali
Ranting-ranting yang bercampur dengan bebatuan—semuanya bergesekan dengan sol sepatu hitamku yang mulai lusuh. Dasi hijau dan sweater hitamku—benar-benar menjadi barang yang paling menggangguku sekarang. Memang apa pentingnya seragam ini?Kutarik dasi hijau yang mengikat di sekeliling bagian leherku, mengapa susah sekali untuk dilepaskan?Aku sempat bergumul selama beberapa saat sebelum akhirnya aku berhasil melepaskannya. Berarti sekarang, tujuanku hanya mencari orang itu.
Danau.
Seketika instingku mengatakan bahwa ia berada di danau, tempat favorit kami dulu. Dulu, kami sering bertemu di danau. Membicarakan hal-hal yang dianggap tidak penting oleh orang-orang. Kemudian, kami akan bercerita dan tertawa sekeras-kerasnya—sampai mengalahkan suara burung-burung yang sedang berkicauan hingga matahari terbenam.
Aku mempercepat langkahku menuju ke danau. Kulihat sang matahari yang tinggal menampakan kurang lebih setengah dari bundarannya. Aku benar-benar harus segera menemukan orang itu sebelum sang matahari benar-benar jatuh terbenam.
Angin mulai berhembus kencang.Dingin sekali.
Ah, sekarang aku tahu apa gunanya sweater ini. Aku terus melangkahkan kakiku dengan cepat, sampai akhirnya—mataku menangkap jelas sosok yang sedang berdiri di kejauhan.
Itu Jonghyun.
Aku menemukan Jonghyun.
Dia benar-benar disini.
Aku buru-buru menghampirinya yang sedang berdiri sambil melemparkan batu-batu yang didapatnya dari pinggiran danau. Sesaat aku hanya terdiam. Aku bingung. Teralu bingung untuk memulai sebuah kata. Kursi taman yang berada di depan sisiku—sekarang menjadi penghubung jelas antara diriku dan dirinya. Lalu, tanpa pikir panjang, aku mulai memberanikan diriku untuk berbicara kepadanya.
"Aku tidak menyalahkan mu atas apa yang terjadi padamu," ucapku memulai percakapan. "Tapi aku juga tidak bilang bahwa apa yang kau lakukan itu benar,"
Aku menahan lama nafasku sebelum akhirnya kuhembuskan itu kuat-kuat. Lima menit. Lima menit terpanjang dalam hidupku yang pernah kurasakan—hanya untuk memikirkan segelintir kata apa yang harus ku ucapkan untuk memulai lima detik percakapan.Daun-daun mulai berjatuhan dari ujung ranting pohon yang paling tinggi. Angin-angin mulai bergerak lembut mengikuti irama.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Jonghyun. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Butuh waktu yang cukup lama untuk mengendalikan diriku sendiri. Aku hanya bisa terdiam—menatap Jonghyun yang masih melemparkan batu-batu itu ke arah danau. Tubuhnya yang sempurna—menyesuaikan perpaduan yang tepat antara kemeja putih dan celana jeansnya yang juga berwarna putih. Ia tampil sempurna dengan warna putih.
"Aku bahagia sekarang," ujar Jonghyun dengan santai. Ia sama sekali tidak membalikan badannya untuk menatapku.
"Tetapi aku tidak," sahutku.
Jonghyun berhenti melemparkan batu-batu itu dan membalikan badannya ke arahku.
"Kenapa?" Tanyanya. Sekarang matanya menatap jelas ke arahku. Aku bingung bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya.Apa yang sebenarnya terjadi?
Dulu, aku tidak pernah berpikir jika ingin berbicara padanya. Dulu, perbincangan kami tidak pernah terasa sulit. Dulu, semuanya selalu keluar begitu saja ketika aku ingin bercerita, tapi tidak untuk yang kali ini. Rasanya semuanya menjadi berbeda. Aku seperti tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri dengan mudah.
"Aku tidak pernah mau kehilangan mu, Jonghyun," kataku. Aku menghembuskan nafasku yang terasa sangat berat. Kupalingkan pandanganku daripadanya, kemudian, kututup kuat sepasang kecil kelopak mataku untuk menahan air mata.Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis. Aku pasti bisa melewati semua ini.
Tapi tanpa kusadari, air mataku sudah mengalir deras begitu saja.
"Jangan menangis," tiba-tiba saja aku mendengar suara Jonghyun dari dekat. Dia pasti berada tepat di depanku sekarang. Kemudian, Jonghyun menghapus pelan air mataku. "Tidak baik untuk menangis di tempat yang biasa membuat kita tertawa," ia tersenyum kecil.
Tangisanku malah semakin menjadi-jadi, air mataku terus mengalir tanpa menyisihkan jeda sedetikpun. Tangan kanannya masih menempel tipis di pipi kiriku, ia terus menghapus air mataku.Mengapa ia menganggap semuanya baik-baik saja? Apakah ia tidak mengerti?
Lalu aku mulai berpikir, apa jangan-jangan akulah yang sebenarnya tidak mengerti Jonghyun? Aku tidak tahu, yang jelas, sekarang aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar merasa sedang berada di titik hidupku yang paling hancur.
Dan tiba-tiba saja Jonghyun memelukku. Itu pertama kalinya dalam seumur hidup aku merasakan hangatnya pelukan dari seorang lelaki yang kucintai. Aku membalas kuat pelukannya. Aku sangat suka pelukannya. Rasanya, aku benar-benar tidak ingin melepaskannya.
Jonghyun-ah, bisakah kita terus seperti ini? Bisakah kau berjanji untuk tidak pernah lagi pergi meninggalkanku?
Aku dapat merasakan luapan besar air mataku yang bersimbah di bagian putih kemeja Jonghyun. Aku terus menangis—hingga akhirnya aku menyadari bahwa warna langit tiba-tiba berubah menjadi sangat gelap. Suara petir mulai bertebaran dimana-mana—awan putih yang tadinya beramai-ramai menghiasi langit, sekarang semuanya tersapu bersih oleh awan hitam. Raut wajahku seketika berubah menjadi bingung dan ketakutan. Saat itu juga air mataku terasa kering tanpa alasan. Kemudian, aku melihat sekumpulan makhluk-mahkluk berjubah hitam tanpa wajah yang berterbangan di langit.
Aku melebarkan mataku, aku tahu makhluk itu.
"Cepat! Itu Dementor!" Teriakku sedikit kencang. Jonghyun hanya melirik kecil. "Kita harus segera kembali ke istana!" Aku menarik Jonghyun yang sama sekali tampak tak peduli dengan Dementor. Ia sama sekali tidak ketakutan.
Dementor, ternyata mahkluk itu benar-benar ada.
Aku berlari meninggalkan Jonghyun yang terlihat santai di belakangku. Kenapa dia lama sekali? Kenapa dia hanya berjalan? Kenapa dia tidak merasa takut?Segelintir pertanyaan tiba-tiba terbesit di benakku. Aku benar-benar bingung. Kemudian, aku berbalik arah dan menghampiri Jonghyun.
Lalu, tiba-tiba saja aku mulai merasakan sinar matahari yang berusaha keras menembus kelopak mataku.
Oh, ternyata hanya sebuah mimpi aneh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Goodbye
Fiksi Penggemar1/3 of lamberty stories Seorang penggemar diberikan kesempatan merayakan natal dengan sang idolanya. Banyak hal misterius dan mengejutkan yang ditemukan dalam kehidupan sang idola. Salah satunya adalah penyakit mental yang dialami oleh Kim Jonghyun...