Epilog

16 2 0
                                    

Aku tidak pernah berkata untuk siap menghadapi segalanya. Tapi, ketika segalanya tiba, aku tahu, aku pasti akan menghadapi itu. Sekalipun sesuatu yang paling sulit akan jauh terasa lebih sulit ketika kita tak mau menghadapinya.


Seoul, 17 December 2018

Serangkaian desiran angin mulai berlaju kuat dan menghempis keras bagian kulitku yang paling luar. Salju-salju yang sudah mulai turun sejak 2 minggu yang lalu, sekarang kapasitasnya bertambah dua kali lipat dari hari yang pertama. Seoul—kota indah yang selalu di idam-idamkan para pecinta korea, memang tidak pernah dihabiskan oleh pengunjungnya.

*1, 2, 3, dengan cepat, hari terus berganti
1, 2, 3, esok hampir tiba lagi
Menekan bahuku, menempelkan bayanganku
Aku butuh tempat untuk beristirahat dengan tenang
Kau dan aku
Bahkan, jika bukan saat itu,
Kau dan aku
Pasti akan bertemu suatu saat

Aku menggesekan langkah kakiku ke arah pangkalan bus. Menutupi kedua daun telingaku dengan lagu-lagu yang keluar dari headset. Aku menghentakan nafasku ditengah-tengah barisan para penunggu, berusaha untuk menguatkan hatiku atas segala yang akan kulakukan hari ini. Tatapanku mengarah ke bus yang telah berada di depanku. Membuka kedua pintunya untuk menyambut kedatangan orang-orang yang telah menunggu, bersiap mengantar mereka sampai ke pangkalan tujuan.

Aku melangkahkan kakiku ke tangga pintu masuk bus. Mendudukan tubuhku di dalam kendaraan sambil menikmati alunan lagu dan pemandangan dari jendela.

*Banyak waktu yang telah dilewatkan
Tapi sejak awal tidak ada hal yang berubah
Semuanya masih sama, aku sangat bersyukur
Peluk aku, bersandarlah di bahuku
Milikilah kepercayaan yang kuat padaku, kau tahu kata-kata itu kan?
Aku tahu, walaupun kau tidak mengatakannya,
Mohon katakan, meskipun kau tidak ingin mengatakannya.
*Jonghyun – 1000

"Hai Jonghyun, apakabar?" Sapaku yang sedang berdiri. Aku melepaskan kedua headsetdi telingaku.

Seperempat bagian dari hati masih bertanya-tanya
Mengapa harus dirimu yang pergi di antara jutaan bahkan milyaran orang lain di dunia?
Apakah memang ini rencana Tuhan?
Apakah memang Tuhan yang merencakan kepergian dirimu?
Tapi, sepertinya bukan
Ini sama sekali bukan rencana Tuhan
Kaulah yang merencanakan semua ini.

"Tak terasa, sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali aku bertemu denganmu," ucapku sambil tersenyum dan menangis kecil di hadapan batu nisan yang berwarna putih. Aku menghapus kecil air mata yang mulai berjatuhan turun dari kedua mataku. "Sampai saat ini, setiap kali aku menginjakan kaki di Korea, aku masih belum bisa melupakan segala hal yang pernah kita lalui disini," kataku dengan suara bergetar.
    Aku menahan kuat kakiku yang sedang berdiri lemas di depan makamnya. Memandangi dirinya yang telah terbaring hampir satu tahun di dalam sana. "Entah itu pertemuan pertama kita di belakang gedung, maupun segala hal yang pernah kita lakukan di malam natal," lanjutku lagi.
    "Setiap kali aku melihat Sungai Han dari jendela rumah Leeteuk, aku masih dapat merasakan setiap suasana, kejadian, dan sentuhan yang kau berikan padaku di malam itu. Meskipun sekarang aku melihatnya dari arah yang berlawanan, namun, aku merasa seperti sedang menonton jelas diriku dan dirimu yang sedang bertukar cerita di pinggir Sungai Han." Ceritaku dengan tersendu-sendu.
    "Kau ingat, surat yang kau tulis untukku di toko musik waktu itu?" Tanyaku sambil tersenyum dengan sepercik tawa pelan. "Ternyata, itu hanya sebuah lirik lagu dari album terbarumu ya. Kau masih sempat-sempatnya mempromosikan albummu kepadaku hah?" ucapku. "Dan ya, jaminanmu benar. Aku menyukai lagu-lagu di album barumu, bahkan lagu yang liriknya kau tuliskan padaku, sampai sekarang masih berada di dalam daftar lagu-lagu favoritku," lanjutku lagi.

    Aku menarik dalam nafasku, berusaha menguatkan diriku dari sendunya perasaan. Getaran mulut dan gigiku, sesekali suaranya terdengar tanpa melewati daun telingaku.

    "Oh ya, tahun ini aku banyak mencapai hal-hal yang tak pernah aku capai sebelumnya," ceritaku lagi. "Aku berhasil melewati segala kesulitanku di dalam dunia perkuliahan. Bahkan, aku berhasil menjadikan nya sebuah kesenangan," Lanjutku. "Tapi aku masih kesulitan untuk menerima kepergianmu,"

    Aku menghentikan sebentar pembicaraanku. Mencoba menghapus air mata yang mulai bercucuran tanpa henti di kedua mataku. "Kadang kala, aku masih bertanya kepada Tuhan, kenapa Dia tidak memberikan aku kepadamu, sampai segalanya harus berakhir seperti ini," kataku. "Namun, seringkali aku juga berterimakasih karena Tuhan memberikan Leeteuk untuk selalu disisiku." Lanjutku. "Memang benar, aku tidak akan pernah menarik perkataanku, bahwa setiap orang tidak dipertemukan secara kebetulan."

    Aku menyeka lagi air mata yang terjatuh melewati pipiku, "Aku harap kau akan terus bahagia di sana Jonghyun," ucapku sambil terisak-isak. "Maaf jika ketidakrelaan ku masih memberatkanmu disana,"

    Aku tidak bisa lagi menahan kesedihan di dalam diriku. Seluruh tangisanku meluap dan menghentikan segelintir ucapanku—mengalahkan suara-suara kecil burung yang berkicauan. Padahal, tadi suara itu masih terdengar di telingaku.

    Aku mencoba untuk menarik kuat nafasku, menghembuskannya secara pelan-pelan. Mengerahkan seluruh kekuatan ku untuk menenangkan diriku sendiri.

Aku pasti bisa.

    "Membuat dirimu tidak bisa tenang sepenuhnya," lanjutku lagi sambil menangis. "Namun aku telah berusaha sekuat tenagaku untuk tidak membuatnya menjadi lebih sulit."

Dear Jonghyun,
Aku memang tidak pernah menyalahkan mu atas semua yang telah terjadi di satu tahun lalu hari di hidupku.
Dengan berat, aku masih ingin berkata
Dan dengan berat juga, aku masih ingin menyampaikan
Selamat tinggal dari diriku yang tak pernah kau temui,
Dari diriku yang tak pernah kau kenal,
Kepada dirimu yang tak pernah kulupakan
Segala penyesalan sudah diganti dengan sejuta kehormatan.
Aku menghormati apa yang sudah kau lakukan.

    "Aku, tak pernah menyesal pernah mencintaimu, Jonghyun," ucapku.

Untukmu,
Cintaku tidak akan pernah berhenti,
Hingga waktu yang menyuruh nafasku untuk berhenti
Aku mencintaimu,
Sampai semua umurku habis untuk mencintaimu

    "Dan aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu," kataku lagi.

Selamat tinggal,
Inilah perpisahan kecilku.

    Aku mendekati batu nisannya yang tingginya hampir melewati setengah pinggangku. Menyentuh dan mengecup benda yang menjadi tanda terakhir peninggalannya di dunia. "Aku pergi dulu, ya, Jonghyun" salamku. "Sampai bertemu nanti," tutupku setelahnya.
    Dengan berat, aku melangkahkan kakiku pergi menjauhi makam Jonghyun. Menembus hantaman-hantaman angin sore yang mulai lantang menerjang rambut-rambutku hingga berhamburan.

    "Hei, kau sendirian?" Suara teriakan bernada rendah itu datang dari arah belakang.

Aku menghentikan langkahku. Menoleh ke arah suara yang terdengar tak asing ditelingaku. Seorang pria dengan jas dingin bewarna hitamnya datang menghampiriku dari kejauhan.

"Kau tak ingat padaku ya?" Tanya pria itu dengan sedikit terengah-engah. "Kita pernah bertemu di penerbangan," ujarnya lagi.

Mulutku dibuat bungkam oleh kehadirannya. Terpesona pada pandangan dan senyuman tampannya yang diutarakan padaku, membuat mataku terbelalak—tak percaya dengan apa yang sedang kulihat sekarang

Ia mengulurkan tangannya padaku. "Aku Donghae," sapa pria tampan berambut cepak itu. Seolah-olah uluran tangannya menyadarkanku dari pesona indah wajahnya yang kudambakan.

    "Ya aku tahu," jawabku dengan senyuman bahagia yang lebar. "Senang berkenalan denganmu," ucapku lagi sambil membalas jabatan tangannya.

***

A Little GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang