2 Days Before Christmas - There's Something Wrong Between Us (Him)

16 1 0
                                    

    "Ini lezat sekali, kau yakin tidak ingin mencobanya?" Tanya Lamberty yang sedang melahap sushi-sushi buatan temannya itu. Ia menyodorkan kotak makannya ke arahku.
    "Sudah ku bilang, aku akan pergi makan enak dengan kakak ku," jawabku asal.
    "Dimana?" Tanyanya.
    "Belum tahu,"
    "Ini sudah hampir jam delapan," katanya sambil menunjuk ke arah jam tangannya. "Nanti kau sakit maag,"
    "Aku sudah terbiasa. Lagipula aku pernah seharian tidak makan lantaran menggelar konser grup dan promosi album tunggal di waktu yang berurutan," ujarku meyakinkan.
    "Ada rahasia apa dengan kakakmu?" Tanya Lamberty dengan nada curiga. "Sesuatu yang berbahaya kah? Seperti pesan yang akan menyebabkan perang dunia ke tiga?" Ia mengatakannya dengan nada yang mengejek.
    Aku hanya tersenyum, memandanginya yang masih menunggu jawaban dariku. Itu lucu. Aku telah melihat sejuta wajah wanita cantik di seluruh dunia dengan senyuman-senyuman gembiranya sambil berteriak memanggil namaku. Semuanya sudah biasa, tapi baru kali ini aku merasakan sesuatu yang ku anggap tidak biasa. Inikah rasanya menjadi seseorang idola yang benar-benar dicintai penggemarnya?
    "Sudah, jangan banyak bicara, nanti kau tersedak," ujarku lembut. "Dokter mana yang akan meladeni pasien tersedak di waktu liburan natal seperti ini," lanjutku lagi.
    "Dokter sepertimu," jawabnya. "Hanya kau yang mau meladeni ku untuk pergi ke kota berkelas untuk merayakan natal," ia menatapku. Itu perkataan gombal! Klasik. "Tolong jangan pergi lama," katanya sambil menutup kotak makan yang telah kosong isinya. "Aku takut."
    Segelintir pijakan langkah kaki terdengar samar suaranya di telinga, langkahan kaki dirinya yang beranjak pergi ke dapur untuk mencuci kotak makannya.
    'Masih takut dengan hantu?" Aku bertanya dengan nada mengejek dan sedikit tertawa. "Hantu itu memang benar-benar ada, dia disini, dan dia disampingmu," kutakuti dirinya dengan menggeliatkan cakaran kedua tangan—lebih mirip dengan gaya singa ketimbang hantu—dari meja ruang tamu tempat kami tadi duduk.
    "Aishhhh, sudah sana cepat pergi," ia mengusir dengan melambaikan tangannya dari tempat cuci piring.
    "Sini," panggilku.
    "Apa?" Tanyanya bingung.
    "Sini saja," perintahku seenaknya, bodohnya, anak itu menurut saja. Kulihat Lamberty yang mengeringkan tangannya dengan kain yang tergantung di sisi kanan lemari tempat penyimpanan piring. Lalu ia berjalan ke arahku.
    Aku memeluknya dengan sangat kuat. "Jangan rindu aku ya," bisikku pelan di telinganya. Secara tidak langsung aku dapat merasakan dirinya yang masih bingung dengan perlakuan ku kepadanya. Jantungnya berdetak cepat, dan aku dapat merasakan itu dari hangatnya genggaman tubuhku padanya. Serasa jantung kami telah dikombinasikan untuk menghasilkan detakan irama tak teratur.
    "Hati-hati," ujarnya. Anak itu membalas pelukan hangatku dengan lebih hangat. "Jangan melakukan hal-hal yang membuatku khawatir lagi."
    "Dengar suaraku jika kau takut," kataku sambil menyentuh tipis rambutnya yang halus. "Suaraku akan menjagamu selalu,"
    Senyuman simpul terbentuk dari wajahnya—menampilkan satu dari kedua lesung pipi yang dimilikinya. "Suaramu dari hati? Atau dari pikiran?" Katanya.
    "Kau punya segudang laguku dari puluhan album," jawabku. Aku melepaskan pelukan hangat ini. Rasanya berat sekali. Jadi, inikah yang dirasakan Lamberty waktu itu? Waktu ia berpikir bahwa aku akan pergi meninggalkannya? Inikah yang dinamakan perpisahan? Tapi ini bukan perpisahan. Aku hanya pergi sebentar. Bukan selamanya.
    "Selamat bersenang-senang," kata Lamberty. Ia menepuk pelan pundak kiriku. "Sampaikan salamku untuk kakak mu."
    "Baiklah, nanti ku sampaikan. Jaga dirimu baik-baik," kataku. Pijakan kaki pertama kulangkahkan berlawanan arah dari dirinya. Semakin banyak, semakin salah rasanya. Aku berpaling—melangkah pergi dan melambaikan tangan ke arahnya.
    "Sampai jumpa!!" Teriak Lamberty dari ruang tamu. Kegembiraan terpancar dari suara anak itu, namun pandangannya memancarkan yang sebaliknya. Perasaan bisa ditutupi, namun pandangannya tak bisa berbohong.
    Aku menatap ke arahnya dan melambaikan tanganku lagi sebelum kuputar gagang pintu yang akan menjadi pemisah pertama kami. Kutambahkan satu langkah kakiku.

Dan sekarang kita sudah benar-benar terpisah.

***

Aku bingung harus kemana sekarang. Kulangkahkan kakiku untuk berjalan menuju lift yang akan menjadi pemisahku dengan lantai ini. Aku memencet tombol dan menunggu hingga lift itu terbuka. Segelintir pikiran memenuhi kepalaku, apakabar kakak dan ibuku? Apakah mereka baik-baik saja? Aku rindu mereka. Pasti mereka sedih melihatku yang seperti ini, aku tak mau mengganggu natal mereka.

A Little GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang