Our Goodbye?

18 2 0
                                    

Hampir jam dua belas.

    Lirikanku tertuju ke arah jam speaker di dekat televisi—ya, hampir jam dua belas, tepatnya di jam 11.44 malam. Kami kembali ke apartement setelah menghabiskan waktu hampir empat jam di pinggiran Sungai Han. Itupun karena aku sudah hampir mati kedinginan karena cuaca malam yang semakin dingin disana.
    Aku merobohkan diriku di sofa panjang tengah. "Fiuh, lelah sekali," teriakku. "Tadi rasanya aku juga sudah hampir mati kedinginan,"
    Jonghyun melewati diriku yang sedang terkapar kelelahan di sofa, melangkahkan dirinya ke arah pintu balkon. "Dari tadi pagi kan aku juga sudah bilang, hari ini itu dingin sekali," jawabnya sambil menggeser pintu balkon dan keluar.
    Aku mendudukan tubuhku dari rebahan untuk menyusul Jonghyun ke balkon, namun seketika aku melihat ponselku yang tergeletak di atas meja ruang tamu di depanku.
    "Ah sial! Aku lupa mengabari Leeteuk loh?" Teriakku panik. "Hei Jonghyun, aku panggil dia kesini ya untuk merayakan natal bersama?" Tanyaku sambil berdiri di batasan pintu.
    Ia melirikku sebentar. "Yah silakan," jawabnya lalu menatap kembali ke pemandangan.
    Aku langsung menelepon Leeteuk saat itu juga. Ia langsung mengangkat panggilanku setelah suara nada sambungan yang pertama.
    "Halo?" Sapa suaranya dari pengeras ponsel.
    "Hai Leeteuk, kata bibi, kamu sedang di daerah sini?" Tanyaku.
    Leeteuk tidak merespon pertanyaanku, "Ada apa?" Tanyanya balik.
    "Datang kesini yuk, aku mau merayakan natal bersamamu juga," kataku.
    "Baiklah, aku langsung kesana sekarang," jawabnya.
    "Sampai bertemu,"
    "Ya," kata itu sempat terdengar sebelum aku memutuskan sambungan. Aku meletakan kembali ponselku di meja ruang tamu.
    "Sejujurnya aku lebih cemburu pada Leeteuk," kata Jonghyun ketika aku mendatanginya di balkon. Aku diam saja, tidak menjawab pembicaraannya karena bingung harus menjawab apa.
    Sekumpulan bintang bersatu di langit, menghiasi gelapnya langit di malam natal. Aku menatap ke arah bintang-bintang itu, mereka berkilauan, berkelap-kelip—secara bergantian dengan sangat indah.
    "Leeteuk itu..." Akhirnya kuberanikan diriku untuk memulai percakapan.
    "Sama sepertiku, kan?" potong Jonghyun.
Aku mengangguk.
    "Aku benar-benar iri padanya." Kata Jonghyun sambil mengehelakan nafasnya. Masih memandang gemerlapnya bintang di langit—ia tidak menatapku sama sekali. "Aku jadi bertanya, kenapa selama ini Leeteuk yang mendapatkanmu. Kenapa bukan aku? Mungkin jika aku yang ada di posisi Leeteuk, aku juga tidak akan seperti ini,"
    "Namun Leeteuk bisa saja berakhir seperti kau,"
    "Ia pasti lebih kuat dariku." Katanya menatap ke arahku.
    "Kau pasti lebih kuat darinya," balasku. Aku memindahkan pandanganku ke arahnya. "Karena setiap orang tidak dipertemukan secara kebetulan. Tidak mungkin aku diberikan kepada Leeteuk jika kau yang lebih membutuhkanku,"
    "Buktinya sekarang sudah seperti ini," balasnya. "Berarti dunia ini memang tidak adil, dari awal juga memang sudah begitu,"lanjutnya

Dia memang benar.
Kau memang benar, Jonghyun. Dunia ini tak adil.
Jika saja dunia ini adil...

    "Jika dunia ini adil, aku pasti sudah berpacaran denganmu atau Donghae," ucapku. "Tapi kenyataannya aku malah berhubungan baik dengan Leeteuk, tidak berteman baik denganmu, bahkan aku sama sekali tidak mengenal Donghae," aku menghela kencang nafasku, mencampurkan hembusanku dengan seluruh oksigen disekitar. "Mungkin saja ketidakadilan itu sendiri adalah sebuah tantangan bagi kita untuk mencapai keadilan," lanjutku lagi.
    "Atau mungkin sudah takdirnya begitu." Kata Jonghyun sambil membuang pandangannya dariku. Sedetik kemudian, ia menatapku lagi, "Jujur padaku, kau juga mencintai Leeteuk kan?" Tanyanya.
    "Aku tidak tahu," jawabku menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi yang jelas, aku tidak mau kehilangannya," kataku lagi.
    "Kalau begitu, jangan menghilangkannya." Balas Jonghyun.
    Perkataannya yang masuk dari telingaku suaranya terbagi langsung ke arah kepala dan tubuhku, menggetarkan kedua jantungku, melemaskan otot tubuhku, bahkan perkataan itu juga berhasil melumpuhkan seluruh saraf yang bekerja di otakku. Otakku berhenti bekerja sekarang—tak dapat memproses percakapan yang seharusnya bisa dijawab.
    "Di dunia ini, ada banyak orang yang ingin menjadi sepertimu," ucap Jonghyun yang membuka kembali percakapan. "Bisa berhubungan langsung dengan idolanya, namun mereka tidak mendapatkan itu," lanjutnya. "Lalu, ada yang ingin memilikimu seperti Leeteuk, namun tak pernah mendapatkannya. Salah satunya adalah aku."
    "Di dunia ini memang banyak yang ingin sepertiku, tapi apakah mereka benar-benar bisa sepertiku? Tidak semua orang bisa membatasi antara kekaguman dengan pertemanan, Jonghyun" jawabku.
    "Aku juga tidak bisa seperti Leeteuk,"
    "Tapi kau tak perlu menjadi seperti Leeteuk," ujarku. "Aku sudah mencintaimu, Jonghyun, kau sudah mendapatkan hatiku sejak dulu, bahkan sebelum kita bertemu,"
    "Lamberty, dengarkan aku baik-baik," Jonghyun memandangku serius dengan tatapan matanya. "Kita tidak bisa mengembalikan waktu yang sudah lewat. Kita juga tidak bisa mengubah masa lalu," katanya. "Tapi dengan masa lalu, kita bisa belajar untuk memperbaiki masa depan,"
    "Ya, aku tahu," jawabku.
    "Kalau begitu, kau harus jaga Leeteuk dengan baik, jangan sampai dia juga berakhir sepertiku,"
    "Jonghyun..."
    "Kau harus coba untuk menerima segala yang telah terjadi, Lamberty," Jonghyun menekankan nadanya, membuat tubuhku merinding mendengarnya karena ketakutan.

A Little GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang