Aku terbangun dari posisi. Kulirik sebuah jam yang tertancap di dinding ruang ini. Jam 01.15 AM. Masih terlalu pagi untuk melaksanakan sebuah ibadah tambahan. karena rutinitas disini, mayoritas seluruh santri melaksanakan tahajud di jam setengah tiga pagi.
Kulirik seluruh teman-teman, tampaknya mereka begitu pulas dalam tidurnya. Namun untuk diriku, kenapa sejak tadi tidak bisa terlelap seperti mereka? Aku gelisah, gundah, dan entahlah... pikiranku bercabang kemana-mana.
Tiba-tiba, air mataku berdenting. Sekelebat bayangan mengenai tempo hari-- sejak tadi mengusikku. Saat dimana Ayah datang ke pesantren menjengukku. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Tak biasanya Ayah datang seorang diri. Biasanya ia selalu bersama Ibu. Tetapi untuk kali itu, tidak. Ia bilang bahwa ia tidak bisa bersama Ibu mengingat Ibu sedang kurang sehat. Aku tak apa. Berharap bahwa Ibu cepat sembuh.
Saat itu, Ayah memberikan sejumlah uang diluar perkiraanku. Ia memberiku uang sebagai biaya hidupku di pesantren ini sampai 5 bulan mendatang. Tak biasanya Ayah memberikan uang sebanyak itu secara tiba-tiba. Kutanyakan mengapa alasannya. Ia bilang kalau untuk beberapa bulan mendatang tak sanggup untuk datang kemari lagi mengingat banyaknya jadwal yang harus dikerjakan. Ia juga bilang kalau Ayah tak bisa lagi datang bersama Ibu karena padatnya jadwal yang Ayah miliki.Aku tak apa, selama hubungan mereka masih normal dan biasa, bukan menjadi suatu masalah untukku.
Tetapi, keesokan harinya Ibu tiba-tiba datang sendiri. Ibu melempar senyum hangatnya. Senyum yang begitu lembut dan tulus. Seakan senyuman itu adalah suatu wujud kerinduan sang Ibu pada anaknya. Kupeluk Ibu setelah mengecup tangannya.
"Ibu, apa kabar?" Tanyaku waktu itu. Aku begitu mengkhawatirkan keadaannya.
"Alhamdulillah... Ibu baik. Kamu bagaimana, Nak?"
"Azkiya baik. katanya Ibu sedang sakit?"
Ibu tersenyum. "Kata siapa? Ibu sehat kok."
"Ayah kemarin datang. Katanya Ibu sakit."
Sejenak, Ibu terdiam. Ada gurat aneh yang tidak bisa kuterka. "Ah... Jadi kemarin ayahmu datang kemari?" Tanyanya yang sontak membuatku bingung seketika. Jadi Ibu belum tahu kalau kemarin Ayah kemari?
"Loh, Ayah tidak bilang sama Ibu, kalau Ayah datang kemari?" Tanyaku retoris. Sungguh, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres waktu itu.
Tiba-tiba ada guratan aneh yang menyembul dari wajahnya. Seakan ada suatu hal tragis yang Ibu alami. Aku tak tahu perasaan macam apa yang tengah Ibu rasakan. Namun seketika itu, Ibu langsung menarik tubuhku, merengkuhku dan tergugu di atas bahuku."Ibu bercerai dengan Ayahmu, Nak." Ungkapnya dalam pelukanku
DEG!
Aku mematung. Tubuhku beku seakan tak mampu lagi bergerak. Kilat halilintar terasa menyengatku begitu kasarnya setelah mendengar pernyataan Ibu.
Allah... Kenyataan macam apa ini yang aku dengar? Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Bukankah mereka telah berjanji kepadaku bahwa mereka tidak akan melakukan hal itu andai aku mau menuruti keinginan mereka?
Ya, aku ingat betul. Sebuah perjanjian yang dulu sempat kami lakukan sebelum keberangkatanku ke pesantren ini. 2 tahun yang lalu saat dimana keadaan keluargaku yang begitu genting hingga mengakibatkan aku harus menuruti keinginan mereka agar mereka tak berpisah. Aku diharuskan pergi ke pesantren untuk menghafal Al-Qur'an. Namun nyatanya, disaat aku telah memperjuangkan semuanya demi mempertahankan janji itu, justru mereka mengingkari. Aku telah berhasil mewujudkan mimpi mereka. Aku telah menjadi seorang Khotmil Qur'an sekarang. Dan lihatlah! sekarang apa yang terjadi? Perjanjian itu tak berlaku sama sekali. 30 Juz yang selama ini kuperjuangkan rupanya tak ada gunanya.
Memang, sejak dulu tak jarang Ayah dan Ibu saling beradu argumen. Mereka kerap berdebat mengenai hubungan mereka saat itu. Awalnya, aku tak tahu apa yang menyebabkan mereka mendadak menjadi seperti itu. Semenjak kepulangan Ayah dari luar kota, mereka selalu ribut, berdebat dan bertengkar. Tak cukup kata bercerai muncul sekali, dua kali, atau tiga kali. Aku yang mejadi peran diantara mereka tentu lama-lama merasa terganggu. Aku lelah yang setiap hari menyaksikan keributan mereka. aku memberontak. Aku tak akan menginginkan mereka bercerai hanya sebuah keributan yang selalu mereka perdebatkan.
Ya, mereka ribut dan berdebat karena semenjak Ayah pulang dari tugasnya di luar kota itu, Ayah mengajak kami ke sebuah aliran Islam yang berbeda dari sebelumnya. Namun waktu itu, Ibu tak menyetujuinya, akupun demikian. Dari itulah, atas dasar perbedaan sebuah kepemahaman di tengah-tengah keluarga kami, mereka terus saja beradu. Aku menangis sejadinya waktu itu. Kehangatan rumah tangga kami yang dulu selalu kami rasakan berakhir sampai disini. Aku berlari menuju kamar. Menangis seorang diri lantaran hal buruk yang kuterima saat itu.
Ayah dan Ibu waktu itu datang. Mereka menghampiriku ke kamar. Aku tahu, mereka sangat menyayangiku. Ya, tentu saja sebagai seorang anak satu-satunya yang mereka miliki, tidak ingin melihat anaknya menangis. Aku mengatakan bahwa aku menginginkan mereka untuk tidak berpisah. Apapun akan ku lakukan demi keutuhan mereka. Hingga akhirnya, mereka menuruti keinginanku asalkan aku juga mau mengikuti keinginan mereka. Mereka menginginkan aku untuk menjadi seorang Tahfidzul Qur'an. Dan dengan mudahnya akupun menyatujuinya. Perjanjian waktu itu sempat kami pertahankan hingga akhirnya aku mampu meraih 30 Juz itu.
Namun untuk sekarang, di mana perjanjian dua tahun itu, ya Allah? Kenapa dengan mudahnya mereka mengingkarinya? Mereka menghancurkan perjanjian itu. Ya, mereka berhasil menghancurkan aku. Mereka memutuskan untuk berpisah, maka mereka pun juga menginginkan aku untuk berpisah dengan mereka.
____________________________________________________
Baca juga karya author yang berjudul "Azzam dan Aqila" Insya Allah nggak kalah serunya... 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Juz dalam Cahaya Cinta [ SUDAH TERBIT ] ✔️
Spiritual30 juz itu, entahlah... Disaat semua orang bisa memilikinya, seakan mereka merasakan hidup penuh makna, indah,dan membahagiakan. Namun bagiku, 30 juz itu malah menggelapkanku. menjebak hidupku hingga aku tak dapat menemukan sebuah penerang hidup. ak...