"Sebaik-baik manusia adalah dia yang mau berusaha memperbaiki diri sendiri. Memperbaiki untuk menjadi yang lebih baik dari sebelumnya."
Seperti kesibukan yang rutin kulakukan, seusai sholat Isya berjamaah, aku selalu mengisi kegiatan mengajar para santri di aula. Tafsir Jalalen yang selama ini kupelajari melalui Abah membuatku paham mengenai apa maksud yang terkandung dalam Al-Qur'an. Aku diterjunkan langsung oleh Abah untuk mengajar santri-santri. Setidaknya inilah caraku untuk berpikir bahwa ilmu yang telah kudapatkan menjadi bermanfaat.Seusai mengajar, aku selalu menyibukkan diri, mengurung di dalam kamar, berkutat dengan sebuah mushaf yang telah kuperjuangkan selama ini. Meneruskan perjuangan Ummi dan Abah. berharap semuanya akan diridhai oleh sang maha Kuasa. Inilah perjalananku setelah sekian lama menyantri dan mencari Ilmu Agama ataupun Ilmu Umum di Gontor.
Aku memulai murojaahku. Huruf demi huruf kulafalkan dengan segenap jiwa raga. Bahwa inilah suatu tanda-tanda kuasa Tuhan yang telah kuraih dalam hidup. Sebuah kenikmatan yang begitu indah dapat kurasakan sepanjang hidup. Bersyukur benar karena dengan Al-Qur'an aku mampu mengerti akan arti sebuah kehidupan. Karena Al-Qur'an pula, hidup ini terlihat begitu terang dan terarah.
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Manusia semestinya menyadari akan karunia Tuhan yang telah diturunkan langsung olehNya. Manusia tinggal menikmati setitik demi setitik bahkan sampai bergunung-gunung kenikmatan yang telah diberikan Allah. Namun terkadang naluri manusia enggan atau sulit untuk menyadarinya. Manusia terlalu disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Padahla di sekelilingnya manusia dikelilingi oleh berjuta-juta kenikmatan yang jelas tentu tak bisa dihitung apapun. Kebanyakan manusia hanya mampu perduli dan mengukur seberapa hal buruk yang ia rasakan jika takdir hidup tengah datang.
Ya, disaat senang, kebanyakan manusia lupa akan kekuasaan Tuhan. dan disaat hal buruk datang, manusia baru mengingatNya.
Itu manusiawi! Ya, itu memang manusiawi. Namun bukankah sebaik-baik manusia adalah dia yang mau berusaha memperbaiki diri sendiri? Memperbaiki untuk menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Manusia seharusnya terus mengingat Allah dimanapun, kapanpun dan dalam hal apapun. Ya, seharusnya begitu.
"Baihaqi..."
Aku terkejut mendengar suara Kak Afwa memanggilku. aku menoleh. Wajah Kak Afwa menyembul dari pintu kamar. Ia tersenyum. Aku segera menutup mushaf dan menciumnya. Meletakkan diantara rak-rak yang berisi beberapa kitab klasik yang dulu pernah kupelajari sewaktu belajar di Gontor.
"Ada apa?" aku menghampiri Kak Afwa di dekat pintu.
"Kau habis mengaji?" tanyanya. Aku mengangguk. "sudah selesai?" aku manggut-manggut kembali. "Habis ini kau ke ruang keluarga, ya. Abah sama Ummi menunggumu."
Aku mengernyit. Menciptakan sebuah rasa keingintahuan. Ada apakah gerangan sampai Ummi dan Abah menungguku di ruang keluarga? Tak biasanya mereka menginginkan aku untuk berkumpul di ruang keluarga. Paling tidak jika mereka ingin bicara penting, salah satu diantara Abah atau Ummi pasti datang langsung ke kamarku.
"Iya, Insya Allah."
Kak Afwa melempar senyum lagi. Ia paling suka melempar senyum padaku. Entah karena ingin menggoda dengan kejahilannya pada sang adik atau memang dia tercipta dengan bibir yang mudah merekah. Aku tak tahu. Sangat berbeda denganku yang biasanya selalu menggambarkannya dan enggan untuk tersenyum. Bukan berarti tidak menyukai atau terlalu sulit untuk melakukannya pada siapapun. Hanya saja terlalu naif pada diri sendiri. Aku terlalu tertutup pada siapapun hingga hatiku pun rasanya begitu tertutup.
"Baiklah, kami tunggu disana..." ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aneh. Perempuan unik. Tebar pesona kenapa harus dengan adik sendiri yang jelas tentu tidak akan mengundang rasa tertarik sama sekali? Yang ada hanyalah rasa risih. Tetapi aku malah menyukai sikapnya yang seperti itu. Terkadang, ketika kami terpisahkan dengan jarak dan waktu aku selalu merindukan keusilannya.
Luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Juz dalam Cahaya Cinta [ SUDAH TERBIT ] ✔️
Spiritual30 juz itu, entahlah... Disaat semua orang bisa memilikinya, seakan mereka merasakan hidup penuh makna, indah,dan membahagiakan. Namun bagiku, 30 juz itu malah menggelapkanku. menjebak hidupku hingga aku tak dapat menemukan sebuah penerang hidup. ak...