Prolog 2 " Aku Akan Pergi "

3.6K 234 8
                                    

Ya, aku juga akan berpisah karena kalian. Keputusanku disini sejak dua tahun yang lalu karena mereka. Bahkan betapa buruknya hatiku yang menghafalkan ayat-ayat suci itu hanya karena mereka. Bukan karena Allah, sejatinya aku tengah berjuang besar-besaran untuk meraih keikhlasan karena ridho Allah. Tetapi rasanya begitu sulit. Sampai sekarang, sampai hafalanku telah khatam, masih terasa jelas bahwa semua hanya demi mereka. Namun kenapa? Ketika mereka yang telah kuperjuangkan malah berupaya menghancurkanku?

Sungguh aku menghafalkan karena kalian.

Dan sekarang, aku pergi berpisah juga karena kalian.

Aku menghela napas. Bayangan itu kucoba untuk ditepis. Aku lelah. Aku memutuskan untuk bangkit. Mengikuti kata hatiku yang sejak tadi berkontradiksi dengan akal sehatku. Mungkin pergi dari sini adalah keputusaan terbaik. Toh, untuk apa pula jika aku dapat bertahan andaikan semuanya telah hancur?

Dengan tapak kaki yang mendekati arah lemari, aku mengambil beberapa bajuku. Memasukkannya ke dalam tas, serta mengambil sejumlah uang yang dua hari lalu Ayah kirimkan padaku. Terakhir, aku melihat mushaf-mushaf itu yang tertata diatas rak. Hatiku tiba-tiba bergetar. Membisikkan sebuah kalimat, apakah aku masih bisa memperjuangkan hafalanku? Melancarkan hafalanku? Sedangkan setelah aku memperjuangkannya aku malah justru mendapatkan sebuah kejutan terburuk?

Air mata menetes saat itu juga. Kuraih sebuah Al-Qur'an terjemah, siap atau tidak siap, aku harus menghadapinya. Aku memasukkanya kedalam tasku, kemudian menggendongnya dan segera berjalan keluar dari kamar. Kamar kami yang didiami oleh 9 orang.

Sekarang, aku benar-benar meninggalkannya. Meninggalkan kalian semua dan seluruh teman-teman Ponpes putra ataupun putri yang tengah berjuang disini.

Endap-endap langkahku ku buat sepelan mungkin. Berjalan melintasi panjangnya aula. Butuh perjuangan besar untuk mencapai pintu utama. Karena biasanya, ada salah satu santri yang kerap bermuroja'ah disudut aula ini. Dia selalu saja membenarkan muroja'ahnya disaat semua santri telah tertidur. Dan benar dugaanku, aku melihat dia sedang duduk bersilah seraya membawa mushaf yang ia jadikan sebagai hafalannya. Ia begitu serius dan seolah begitu menikmati setiap hafalannya. Terkadang aku selalu berpikir, kapan aku bisa seperti dia?

"Ukhti Azkiyya.." panggilnya saat ia melihatku. Aku gugup seketika, " Ila aina anti? " tentu saja dia menanyakan hal itu. Dia melihatku membawa tas yang sedikit besar.

"Ah, Ukhti... " aku mendekatinya. Berjongkok dihadapannya dan meraih tangannya, " Ukhti, sa'iduni... Aku sedang butuh bantuan. " kataku sedikit mendesak. Memohon padanya mungkin saja ia bisa membantuku. Masalahnya, Ukhti yang satu ini, yang memiliki nama Salma, ia adalah santri yang sudah mengabdi cukup lama disini. Tetapi statusnya bukan menjadi lurah ataupun pengurus. Hanya sekedar santri biasa yang tengah mengabdi.

"Kaifa ukhti?" tanyanya.

"Aku tengah bermasalah, masalah keluarga, aku mau pulang. Dan itu harus sekarang. Tidak bisa menunggu satu jam kemudian apalagi esok. Maafkan aku, Ukhti, jika perbuatanku sangatlah buruk. Tolong jangan katakan pada siapa pun kalau aku kabur. Aku mohon ukhti... " jelasku memohon. Aku berupaya penuh merayunya."

"Tapi ini sungguh pelanggaran besar, Ukhti Azkiyya. Ukhti bisa ditakzir"

"Afhimni... tapi ini benar-benar genting. Aku mohon, ukhti. " raungku . Ia kentara menimbang. " Hanya untuk sekarang saja. Jika aku sudah berhasil pergi, Ukhti terserah mau bilang apa sama seluruh santri.

Diam sesaat. "Insya Allah perbuatanmu akan ditindak lanjutkan, ukhti Azkiyya. "

Aku mengangguk setuju. Karena memang begitulah peraturannya. Aku yang bertindak, aku pula yang harus siap pada konsekuensinya. "Na'am, syukron katsiron, ukhti. " Ucapku.

Aku bangun dan hendak pergi. Namun tiba-tiba aku teringat suatu hal yang membuatku menghadapnya kembali.

"Ukhti, aku mau nitip sesuatu boleh?"

"Madza?"

Aku mengeluarkan lipatan kertas. Sebuah surat yang kutunjukkan untuk seseorang. Seseorang yang selama ini telah bersabar membimbingku dan mengajakku untuk terus betah dan sabar disini. Mas Zidan, santri putra yang tengah menghafal Al-Qur'an semenjak empat tahun silam. Ia masih dalam masa pengabdian disini. Ia pula yang dipasrahkan oleh orang tuaku untuk membimbingku disini. Dia adalah tetanggaku yang dulu semasa kecil kerap bermain denganku.

"Surat untuk Kang Zidan." kataku seraya menyerahkan surat itu.

"Kang Zidan? Insya Allah... "

Aku lega mendengarnya. Akhirnya, niatku kali ini berjalan lancar. Begitu aku keluar dari area pondok pesantren, sesaat aku membalikkan badan. Melihat sebuah bangunan itu dengan hati yang teramat berat. Ya Tuhan, rasanya aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Tapi bagaimana lagi? Takdir Tuhan telah menetapkanku untuk berpisah. Baik dengan orang tua maupun dengan kalian semua, teman-teman... Termasuk juga Mas Zidan.

Sungguh maafkan aku, Mas Zidan aku mengecewakanmu. Insya Allah, jika Tuhan masih mengizinkan aku untuk bertemu denganmu, kita akan bertemu diwaktu yang paling tepat.

Setetes air mata, kini menjatuh. Buru-buru kuseka sebelum akhirnya akan terlanjur parah. Ku putuskan untuk segera pergi dan meninggalkan kota ini. Kota dimana aku memulai mimpi bersama para pejuang yang Insya Allah akan mendapat ridho-Nya.

Selamat tinggal pondok pesantren...

Selamat tinggal pondok pesantren

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat tinggal kota Kudus...

Dan selamat tinggal buat kalian semua yang masih berjuang. Kita harus berjuang di jalan yang berbeda.

Ingat! Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama... :)

____________________________________________________

Salam, readers... 🙏 😊
Semoga suka ta sama cerita author walau masih abal abal gini.

Oiya... mampir juga ya ke cerita author yang lain, yang berjudul "Azzam dan Aqila" Insya Allah nggak kalah serunya... 😘

30 Juz dalam Cahaya Cinta [ SUDAH TERBIT ] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang