Chapter 15 "Perasaan yang Ambigu"

1.9K 165 2
                                    

"Terkadang sesuatu yang dibutuhkan sebagai penjelas, tak mudah untuk diungkapkan. Ada kalanya memilih diam itu adalah keputusan terbaik ketimbang menimbulkan kecewa banyak orang. Sedangkan mereka semua belum tentu tahu apa yang dirasakan."

***

Hari jum'at. Adalah hari yang kutunggu-tunggu sejak kemarin. Mengenai surat yang kukirim pada Mas Zidan, rupanya Mas Zidan membalasnya. Aku sudah menerimanya sejak 3 hari yang lalu. Dalam suratnya ia mengatakan bahwa ia akan datang langsung kesini  hari jum'at. Dan inilah hari Jum'at. Hari yang menjadi penentu pertemuan aku dan Mas Zidan.

Tak ada lagi seseorang yang paling mengerti hidupku kecuali Mas Zidan. Ia sosok yang sangat baik, peduli, bahkan seseorang yang menjadi kebergantunganku. Pada siapa lagi aku harus  bergantung bila bukan pada Mas Zidan? Sementara Ayah, Ibu, mereka semua sudah meninggalkan aku. Meski kutahu, sejak dulu Mas Zidan memang tak pernah menganggapku lebih dari sekedar seorang adik, namun segala kebaikannya mampu menutupi rasa sakit hatiku yang tak terbalas cintanya.
Allah, akankah perasàan ini terus mengharapkannya? Tidakkah engkau cabut saja perasaan ini untuk kupersembahkan pada seseorang yang lebih berhak?

Aku mengembus napas agak keras menyadari semuanya. Tak perlulah aku mengingat bila tak ingin adanya luka. Biarlah semua berlalu. Toh hidup bukan hanya untuk mengingat-ingat masa lalu. Hidup harus punya skala prioritas. Agar hidup bisa jelas dan terarah. Seperti aku yang ingin memprioritaskan Al-Qur'an untuk hidupku.

Aku memulai muroja'ah-ku. Mengulang-ulang hafalanku agar ayat-ayat ini tak mudah hilang dalam ingatan. Semakin kuat seseorang menali peliaraannya, maka semakin sulit pula peliaraan itu akan pergi. Begitulah peeumpamaannya.

Di bawah pohon yang agak besar ini, aku masih terus menikmati hafalanku. Duduk diatas bangku dari sebuah taman yang ada di pesantren. Sesekali belaian udara terasa menyapu wajahku. Semilir. Menambah kenikmatan bagiku saat ber-muroja'ah.

Namun tiba-tiba kehadiran seseorang membuatku terhenyak. Menghentikan muroja'ah-ku dan menoleh pada seseorang yang tiba-tiba duduk disisiku.

Aku terkejut melihatnya. "Neng Afwa..." suaraku ragu-ragu memanggilnya.

Ia tersenyum. Sangat manis dan cantik. "Sedang murojaah, ya?" Tanyanya. Aku spontan menunduk. Menutup mushaf dan menciumnya. "Maaf mengganggu..." lanjutnya.

Aku balas tersenyum. Meski sambil membingungkan kenapa tiba-tiba ia datang menghampiriku. "Ada apa?"

Ia diam sejenak. Menghadap ke depan. Membiarkan udara menyapu wajah cantiknya. "Hidup itu perlu bahagia, bukan?" Ucapnya tiba-tiba. Kali ini ia menatapku.

Aku mengernyit bingung akan maksudnya.

"Menurutmu, bahagia tidak- bila masih ada perasaan kehilangan?" Imbuhnya.

Aku semakin dibuat pusing. Apa maksudnya?

"Tentang Baihaqi, Az... aku bingung. Aku seperti merasa kehilangan dirinya. Aku memang hanya sebatas kakak perempuan yang tak begitu berharga baginya. Sudah hampir 2 minggu ini ia pergi. Tanpa meninggalkan keterangan. Dan tanpa memberikan kabar. Wajar bukan bila seorang kakak perempuannya meridukan adik sendiri?" Kali ini matanya pias. Terlihat berkaca-kaca.
Ia mengadukannya kepadaku. Lantas apa kaitannya aku dengan hubungan mereka?

"Setiap kali aku menghubunginya, ia pasti menolak. Selalu me-reject panggilan, mengabaikan pesan. Apalagi setiap diajak bertemu." Tiba-tiba ia menggenggam tanganku. Menapaku seperti hendak memohon. "Azkiya, kaulah satu-satunya perempuan yang Baihaqi cintai. Kaulah sumber kepercayaan baginya.
Tidakkah engkau mau membantuku? Membantuku untuk bertemu dengannya. Aku perlu bicara banyak kepadanya."

30 Juz dalam Cahaya Cinta [ SUDAH TERBIT ] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang